BAB VIII

N

iat hati memetik bintang, apa daya tangan tak sampai. Mungkin ungkapan itulah yang sesuai dengan keadaan Afiksi saat ini. Disaat ia tengah bahagia mendapatkan kabar akan melakukan cangkok mata, namun harus dibatalkan karena orang yang dimaksud telah terlebih dahulu meninggal dunia.

Meski tak ditunjukkannya raut wajah kesedihannya, namun orang-orang terdekatnya mengerti rasa kekecewaan di hati Afiksi.

“Afiksi, Maafkan kami karena tak memastikan terlebih dahulu keberadaan pendonor tersebut” Kata salah satu keluarga Afiksi.

“Kalian tidak perlu bersedih. Aku yakin suatu ketika aku akan bisa meihat lagi. Hanya saja tidak sekarang” Ucap Afiksi berusaha menenangkan.

“Kami akan kembali mencari informasi tentang pendonor lainya” Ucap Rama.

“Kalian tidak perlu memaksakan diri” Kata Afiksi.

Kesedihan sedikit terobati melihat Afiksi yang begitu tabah menjalani semua ujian ini. Bagi wanita lain, kecantikan yang tertutup oleh kebutaan tentulah menjadi ujian terberat dalam hidup. Namun, semua hal itu tidak berlaku untuk Afiksi. Sungguh kemulian hati sang bidadari yang terpancar pada diri Afiksi

Siang berlalu tanpa hasil positif. Pulang ke Musi Rawaspun tak akan mungkin. Akhirnya mereka semua memutuskan untuk menginap di sebuah hotel di kota itu.

Gara menemani Afiksi makan malam. Setelah itu keduanya duduk di taman hotel menikmati dinginnya malam sebuah ibukota provinsi. Deru hilir mudik kendaraan memekik ditelinga. Asap-asap kendaraan mendekorasi setiap sudut jalan kota.

“Afiksi, apa kau tidak apa-apa?” Tanya Gara.

“Aku baik-baik saja” Jawab Afiksi.

“Meski kau berusaha menutupi itu semua, namun aku merasakan kekecewaan dalam hatimu itu” Tambah Gara.

“Manusia merasakan kekecewaan itu adalah hal yang normal sebagai mahluk sempurna. Namun, aku tetap yakin akan ada hikmah besar dari ini semua” Ucap Afiksi.

“Aku bersumpah, kau akan bisa kembali melihat gemerlapnya dunia” Ucap Gara dalam hatinya.

Sebuah janji yang diucapkan laki-laki adalah harga diri. Bagi laki-laki, tak ada hal membanggakan selain menepati janji yang telah terucap. Entah cara apa yang terpikirkan oleh Gara hingga ia dapat berjanji bahkan bersumpah memberikan cahaya pada mata Afiksi.

Esok harinya mereka kembali pulang ke kota tempat tinggalnya. Membawa sebuah asa yang telah patah. terbungkus oleh sedikit deraian airmata. Berawal dari suka cita, berakhir dengan tanpa canda tawa.

****

Langit gelap menyelimuti malam yang dingin. Berseteru sepasang cicak di dinding putih memperebutkan seekor nyamuk. Suara kicau burung hantu menyemarakkan pesta bintang dilangit yang kelam.

Seorang gadis berdiri di balkon lantai dua sebuah rumah megah. Kepalanya menengadah ke langit dan bibir tipisnya berikan senyuman pada bulan sabit. Ingin membalas, rembulan sebarkan beberapa titik kehangatan hingga menerobos cela-cela ranting kecil.

Hentakan sepatu seiring derap langkah kaki seorang laki-laki yang berjalan menyusuri tangga marmer putih menuju lantai dua. Hingga akhirnya langkah kaki itu terhenti beberapa meter di dekat gadis itu. Kemudian secara perlahan langkah kaki itu kembali berayun menuju balkon berhias tirai warna merah jambu yang terikat di dinding.

Digenggamnya tangan gadis itu seiring sapan ringan.

“Afiksi. Sudah malam, kau belum tidur?” Tanya Gara.

Seolah telah menyadari kedatangan laki-laki itu. Sang gadis tak terkejut dengan genggaman dan suara sapaan itu.

“Mata hatiku yang ingin melihat rembulan membuat mataku yang selalu terpejam tak bisa terlelap” Jawab Afiksi.

“Namun kau tetap harus menjaga kesehatanmu. Hangat rembulan tak akan mampu menutupi dinginnya udara malam” Ucap Gara.

“Kau pun belum tidur” Kata Afiksi.

“Echm.... Aku ke sini untuk melihat keadaanmu sekaligus memberikan kabar bahagia untukmu” Kata Gara.

“Kabar Apa? Apakah sepenting itu hingga kau harus datang malam ini?” Tanya Afiksi.

“Tiga hari lagi matamu akan dioperasi. Dan kita tak perlu keluar kota. Karena pendonornya ada di kota ini” Jawab Gara.

“Andra, Aku bahagia dengan keadaanku seperti ini. Aku tak ingin kalian kembali kecewa seandainya cangkok mata ini kembali gagal” Kata Afiksi.

Seakan kalimat itu menghentikan waktu. Keduanya tak lagi mengucapkan kata-kata apapun. Namun tatap mata Gara tak terlepas dari perban putih yang menutupi mata Afiksi.

“Untuk kali ini aku yakinkan bahwa kau pasti akan bisa kembali melihat. Setelah itu ku harap kau bersedia menepati janjimu dahulu” Pungkas Gara.

“Aku hanyalah manusia biasa yang mempunyai kewajiban menepati janji” Afiksi meyakinkan.

Langkah kaki Gara menghantarkan Afiksi menuju tempat pembaringannya. Sebuah kecupan hangat dikening Afiksi menjadi lambang perpisahan mereka malam itu. Atau mungkin untuk selamanya.

Setelah malam itu, Gara tak lagi menemui Afiksi. Bahkan hingga hari ketiga. Hari dimana mata Afiksi harus dioperasi. Namun Afiksi tetap bersikap tenang. Ia yakin bahwa Gara yang dianggapnya sebagai Andra mempunyai alasan logis hingga tak dapat mengantarkannya menjalankan operasi pencangkokan mata.

Operasi berlangsung lancar. Beberapa teman Afiksi yang terus menunggu hingga proses operasi selesai mengucapkan syukur. Kini mereka hanya tinggal menunggu hasil akhir dari operasi itu. Hari dimana perban itu dibuka. Dan melihat sinar dari lingkaran bola mata Afiksi.

Kini hari-hari tak lagi dilewati dengan kesedihan. Namun harap-harap cemas tetap menggelayuti pikiran Afiksi dan orang-orang terdekatnya. Mereka berpikir bagaimana seandainya operasi tersebut tak membuahkan hasil yang diharapkan.

“Rama, sudah tiga hari sejak aku menjalani pencangkokan mata. Namun, sampai sekarang aku belum mengetahui siapa orang yang telah rela memberikan bola matanya untukku” Tanya Afiksi pada Rama.

Ia sudah menduga bahwa Afiksi pasti akan menanyakan hal ini. Namun, jawaban terbaik belum didapatkan olehnya. Seandainya Afiksi mengetahui siapa yang telah memberikan matanya, bagaimana jika Afiksi ingin bertemu dengan orang itu. Rama sengaja menyembunyikan jawaban atas semua pertanyaan dari Afiksi.

“Kau tak perlu memikirkan hal itu. Yang perlu kau pikirkan hanyalah kesiapan mentalmu menghadapi hari pelepasan perban dua hari lagi” Jawab Rama.

“Sudah lebih dari satu minggu Andra tak menemuiku. Bahkan pada saat aku menjalani operasi, ia pun tak datang. Apa kau tahu kemana dia pergi?” Tanya Afiksi Lagi.

Kembali Rama tersentak oleh pertanyaan Afiksi. Entah apa yang dipikirkan oleh Rama hingga ia tak ingin memberitahukan hal yang sebenarnya pada Afiksi. Apakah Rama takut seandainya Afiksi telah mampu melihat dan mengetahui bahwa Andra yang menemaninya selama ia buta adalah Gara? Dan apakah menghilangnya Gara juga terkait dengan hal itu? Hanya Rama dan Nita yang mengetahui itu semua. Bahkan keluarga Afiksi yang super sibuk tak punya waktu untuk mengetahui hal yang sebenarnya.

Dua hari berlalu terlalu cepat. Afiksi belum siap untuk kembali melihat. Belum kembalinya Andra membuat ia tak berani untuk kembali merasakan keiindahan seisi jagat. Namun, protokoler kedokteran harus tetap berjalan. Perban di mata Afiksi harus dibuka pagi itu.

“Dok, bolehkah ditunda beberapa jam lagi? Masih ada orang yang harus kutunggu” Ucap Afiksi.

“Jika terlalu siang, khawatirnya matamu tak siap untuk menangkap sinar matahari yang terlalu banyak” Jawab Dokter.

“Afiksi, yakinlah. Andra pasti akan datang” Ucap Rama menenangkan.

Satu hal yang sangat berat bagi Afiksi. Ia bingung siapa orang yang harus menjadi orang pertama yang melihat dan dilihatnya saat pertama kali ia kembali membuka mata. Ibunya tentu saja sibuk dengan pekerjaannya. Hanya perawat pribadi Afiksi yang mewakili kehadiran sang Ibunda. Sedangkan Andra, tak akan pernah kembali hadir di hadapannya. Karena yang selama ini menemaninya selama ia tak mampu melihat adalah Gara.

Perlahan, lilitan perban putih itu dilepaskan. Degupan jantung kian cepat seiring kian menipisnya lilitan perban yang mengelilingi matanya. Hingga akhirnya terlihat sepasang perban yang menutupi sepasang mata Afiksi.

“Sekarang kamu buka mata kamu secara perlahan” Ucap Dokter.

Terlihat jelas wajah gugup dari orang-orang yang hadir di ruangan itu. Mereka semua menanti reaksi apakah yang akan diperlihatkan oleh Afiksi ketika pertama kali membuka mata.

Perlahan Afiksi membuka matanya. Sinar bola mata berwarna coklat memancar dari sepasang mata itu. Kembali terlihatlah kecantikan Afiksi yang selama ini tertutup oleh kelamnya pandangan Afiksi. Bibir manisnya pun perlahan bergerak berusaha ucapkan kata.

“Aku bisa melihat” Ucap Afiksi.

Satu kalimat dari Afiksi itu membuat sumringah semua orang yang hadir. Serentak meski tak bersamaan mereka ucapkan syukur kepada Tuhan atas nikmat-Nya yang kembali diberikan kepada Afiksi.

Namun, rona bahagia hanya sedikit terpancar dari wajah Afiksi. Dia masih gundah dengan tidak hadirnya Andra di ruangan itu.

Lalu bagaimanakah cara Rama dan kawan-kawan memberitahukan hal yang sebenarnya mengenai Andra kepad Afiksi? Dan mengapakah Gara juga tak hadir pada saat yang membahagiakan itu?

Tunggu kelanjutannya ya..........

Bersambung................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed by Animart Powered by Blogger