BUKAN PINANG DIBELAH CINTA
Judul
Buku : Bukan Pinang
Dibelah Cinta
Pengarang : Elida Nurhabibah
Penerbit : Benny Institute,
Lubuklinggau
Tahun : 2013,
Cetakan ke-1
Februari 2013
Jumlah
Halaman : 112
halaman
Jenis Karangan : Fiksi
Pengarang buku
Bukan Pinang Dibelah Cinta, Elida Nurhabibah, adalah seorang gadis keturunan
melayu palembang. Ia memilih Sahifah Sirath sebagai nama pena-nya. Gadis 22
tahun ini telah memiliki berbagai prestasi sejak tingkat Sekolah Dasar. Buku Bukan
Pinang Dibelah Cinta ini adalah kumpulan cerpen tunggal perdananya. Karya-karya
sebelumnya telah dimuat dalam berbagai media massa dan beberapa buku antologi
semisal Disebuah Ruang Kuliah Seorang Guru Bercerita (2009) dan Banditku Sayang
(2010).
Buku Bukan
Pinang Dibelah Cinta memuat 10 cerpen, yaitu : Legenda Lubuklingga, Bukan
Pinang Dibelah Cinta, Sayap-sayap Pengiring, Kisah Putik yang Memintal
Purnama-purnama, Akar Cermin, Bukit Sulap, Wajah Kekasih, Jerat Napas Terpaut
Lepas, Silampari dan Hasrat Dara. Cerpen-cerpen tersebut ditulis sejak tahun
2009 hingga tahun 2013.
Pemilihan
Legenda Lubuklingga sebagai cerita pembuka menunjukkan kecerdasan dari Penulis.
Cerpen tersebut mengisahkan kasih tak sampai antara Putri Kembang Dadar dan si
Buruk Rupa yang menjadi tokoh utama dalam cerpen tersebut. Kisah yang berlatar
belakang dari cerita rakyat Lubuklinggau, Dayang Torek dan Bujang Kurap,
menggunakan alur maju dengan pemilihan diksi khas Elida Nurhabibah. Dengan
latar belakang cerita lokal tentu dapat menarik minat pembaca. Unsur sejarah
dan kearifan lokal yang dipadukan dengan romantika khas remaja membuat buku ini
menjadi karya yang lengkap untuk dibaca.
Secara
keseluruhan dapat terlihat bahwa Penulis memasukkan unsur keseharian yang ia alami
dalam ceritanya. Hal inilah yang sering dilupakan oleh kebanyakan Penulis.
Dengan kegiatan keseharian sebagai dasar Penulisan tentu dapat membuat tulisan
menjadi lebih alami dan dapat mudah dinikmati oleh pembaca.
Keseharian
tersebut dapat dilihat pada berbagai cerita dalam buku ini. Misal dalam Bukan
Pinang Dibelah Cinta Penulis secara jelas menuliskan tempat ia menuntut ilmu di
STKIP-PGRI, Lapangan Merdeka sebagai alun-alun kota yang menjadi tempat
berkumpulnya para muda-mudi, bahkan Penulis melukiskan lingkungan tempat
tinggalnya yang berada dekat dengan ikon kota tempat tinggalnya, Bukit Sulap.
Pada judul
cerita yang sama, saya sempat tak sanggup menahan senyum yang saya simpul
dibibir. Secara gamblang Elida Nurhabibah menulis “Kemarin, romantis banget, tahu nggak sih. Seperti biasa, sepulang
kampus, kan sore tuh, eh Freedy ngajak aku nongkrong di Lapangan Merdeka”.
Saya tidak habis pikir penulis memasukkan kalimat sederhana itu dalam karyanya
yang penuh dengan kalimat rumit. Kalimat tersebut menunjukkan kenyamanan
penulis dalam menikmati masa-masa ia menulis.
Terpisah dua
paragraf Elida Nurhabibah menulis “Yang
paling berkesan nih: bayangin disukuran hari ultahku, beraninya ia (Freedy)
memberikan kado khusus di depan semua tamu yang hadir”. Kata “bayangin” menunjukkan penulis secara
terang-terangan “memaksa” pembaca untuk membayangkan kejadian yang akan ia
ceritakan. Biasanya penulis membawa pembaca kedalam kejadian yang diceritakan
dengan cara yang tersembunyi. Namun cara yang dipilih oleh Elida Nurhabibah seperti
dua ulasan diatas membuat karyanya terkesan lebih jujur dan membuat pembaca lebih
akrab dengan penulisnya.
Pemilihan diksi
adalah keunggulan lain dari buku ini. Paragraf demi paragraf tersusun indah oleh
kalimat-kalimat kiasan bak puisi. Hal itu tak mengherankan mengingat Penulis
memulai langkah sastranya dari menulis puisi.
Pada kisah
Legenda Lubuklingga, saya dibuatnya berayun-ayun di antara bintang-bintang
dengan pelangi sebagai pelananya. Sungguh keindahan kalimat yang tersusun penuh
makna. Hal ini tentu menunjukkan kualitas dari seorang Penulis.
Penulis awam
biasanya banyak menggunakan majas untuk memperindah karyanya, namun hal itu
menjadi “bunuh diri” karena kalimat yang tersusun menjadi tidak mengandung
makna yang ingin disampaikan. Tentu hal tersebut berbeda dengan karya Penulis
yang satu ini. Ketika saya membaca cerpen pembuka tersebut, saya menjadi
penasaran susunan diksi apalagi yang akan disajikan Penulis pada judul-judul
berikutnya.
Sisi menarik
lainnya adalah kemampuan Penulis dalam mengembangkan kerangka cerita. Sejatinya
kisah yang disajikan penulis cukup ringkas, tapi dengan kelihaiannya bercerita,
kisah tersebut menjadi panjang dan menarik untuk dibaca.
Pada kisah
Legenda Lubuklingga diceritakan seorang putri yang secara diam-diam pergi dari
istana lalu bertemu dengan seorang pria buruk rupa yang pada akhirnya saling
jatuh cinta. Namun keberadaan keduanya dalam persembunyian diketahui oleh
ayahanda sang putri yang seorang raja. Tentu sang Raja tak menyetujui hubungan
Putri dan si Buruk Rupa. Dan akhirnya si buruk rupa tewas di tangan sang Raja
tepat di hadapan sang Putri.
Pun begitu
dengan cerpen kedua, Bukan Pinang Dibelah Cinta. Cerpen tersebut berkisah
tentang seorang pria yang mencintai gadis nan anggun. Namun ia mendapati adik
kandungnya menikahi gadis yang ia sukai. Diakhir cerita ia mendapati wanita
pujaannya berdiri berdampingan dengan adik iparnya. Wajah keduanya begitu
serupa. Barulah ia menyadari bahwa gadis impiannya memiliki saudara kembar yang
menjadi adik iparnya.
Kisah tersebut
ringan dan sederhana. Tema cerita seperti itu juga banyak ditulis dalam
berbagai versi. Namun penulis dapat mengembangkan cerita tersebut dengan cara
yang menarik.
Dari segudang
hal menarik, ada sedikit yang menggangu saya ketika membaca buku ini. Pada
kisah Bukan Pinang Dibelah Cinta semula Ria Mustika yang memerankan tokoh
“Aku”. Namun pada 23 paragraf terakhir saya mendapati tokoh Freedy yang
memerankan “Aku” pada cerita tersebut.
Pada Sayap-sayap
pengiring, penulis mengisahkan pengalaman tokohnya selama penyeleksian Pasukan
Kibar Bendera (Paskibra). Pada cerpen ini saya merasa terlalu banyak
paragraf-paragraf yang “mengambang”. Paragraf-paragraf tersebut lebih banyak
mengisahkan tentang kehidupan pribadi seorang Paskibra dan hal-hal teknis dalam
Latihan Teknik Baris-berbaris yang berada diluar alur cerita. Bagi saya yang
juga mengalami kehidupan Paskibra tentu dapat bernostalgia dengan perantara cerita
yang disajikan. Namun bagi pembaca yang ingin menikmati keindahan cerpen Elida
Nurhabibah mungkin akan merasa sedikit membosankan.
Pemilihan diksi
dan majas yang menjadi keahlian Elida Nurhabibah untuk membuat pembaca
terhanyut dengan kisahnya memang menjadi keunggulan dalam buku ini. Namun
ketika hal itu terlalu rumit dan secara terus menerus seperti pada kisah
Legenda Lubuklingga, saya mengkhawatirkan pembaca yang awam dalam dunia menulis
akan mengalami kesulitan untuk memahami alur cerita yang disampaikan. Pembaca
akan lebih mengagumi keindahan kalimatnya tanpa memedulikan alur cerita, makna
dan amanat yang disampaikan penulis dalam karyanya.
Overall,
saya sangat menikmati membaca karya Elida Nurhabibah ini. Buku yang memuat
unsur sejarah, kehidupan sosial budaya dan tak terlepas dari kehidupan
romantika remaja ini sangat cocok dibaca oleh remaja yang ingin tahu lebih
banyak tentang kearifan lokal kota Lubuklinggau. Buku ini juga layak menjadi
referensi menulis bagi pembaca yang baru menekuni dunia tulis-menulis.
Trik-trik yang digunakan Elida Nurhabiba menjadikan karyanya ini seolah genre baru dalam dunia tulis-menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar