ANTARA HATI DAN PERASAAN

Matahari bersinar cerah siang itu ketika Siska duduk santai diatas ayunan halaman rumahnya. Pandangannya mengembara jauh tak tentu arah. Pikirannya mencoba mengendalikan dimensi ruang dan waktu. Sekilas ia teringat suara ayahnya berbicara melalui telepon tadi pagi.

“Siska, teman ayah punya anak seorang polisi. Ayah tidak bermaksud untuk menjodohkanmu dengan anak teman ayah itu. Tapi ayah hanya ingin kamu berkenalan dengannya. Jika memang kalian cocok, ayah akan sangat senang sekali. Jika tidak, yaa itu terserah kalian” Ujar ayahnya

“Huuuuhhh. Kenapa jadi begini sih. Belum selesai masalahku dengan Rio, sudah datang masalah baru. Sudah tahun 2011 kok masih ada perjodohan-perjodohan seperti ini” Gerutu Siska.

“Apalagi ayah bilang kalo dia akan datang malam ini” Siska bertambah kesal.

Gerutuan Siska ternyata tak banyak membantunya untuk mengurungkan niat ayahnya itu. Dan ia harus mau untuk berkenalan dengan polisi lulusan Akademi Kepolisian itu.

Siska, seorang cantik kembang desa yang tengah menuntut ilmu di perguruan tinggi swasta kota Palembang. Kekasihnya bernama Rio Pratama Putra, pria yang berhasil menambatkan hatinya sejak keduanya masih SMA. Namun kisah kasih itu harus terbatasi oleh jarak antara pulau Sumatera dan pulau Jawa.

Sayangnya kisah cinta Siska tak sesederhana yang ia bayangkan. Selain harus memilih antara Rio dan polisi bernama Raka yang akan dijodohkan padanya, ia pun telah menaruh simpati pada teman yang ia kenal sejak masuk dunia perkuliahan. Ialah Alif, seseorang yang begitu perhatian dan mengisi ruang hatinya sejak ditinggalkan Rio.

Matahari beranjak dari tingginya. Senja sampaikan jingganya pada birunya bumi. Siska bersiap-siap menyambut tamu istimewanya malam ini. Tak banyak hal spesial yang akan ia tunjukkan pada tamunya itu. Setidaknya ia tak akan tampil lebih cantik daripada yang ia tunjukkan pada Rio ataupun Alif.

Belum usai ia menata rambutnya ketika suara pintu terketuk mengagetkannya.

“Pasti orang itu” Duganya.

Ia beranjak membuka pintu. Dibukanya pintu dan tampaklah seorang dengan tubuh berdiri tegap berambut cepak. Tak diragukan lagi itulah tampilan seorang polisi muda yang memiliki prospek karir yang cemerlang. Senyumnya menyapa dengan manis, bersambut seuntai senyum Siska yang terperangah.

Siska tak mengajak tamunya itu masuk. Menjadi hal tabu baginya jika mengajak orang yang baru ia kenal masuk kedalam rumah. Akhirnya kedua duduk santai di kursi yang tertata rapi diteras rumah bertemankan rembulan yang siap mengawasi mereka hingga larut menjelang.

“Hai. Aku Raka. mungkin ayahmu sudah sedikit memperkenalkanku padamu” Sapa Raka.

“Ia. Ayah bilang kau baru dua tahun lulus dari akademi kepolisian” Ujar Siska.

Obrolan berawal hangat. Namun kehangatan itu tak dinikmati oleh Siska. Ia tak merasa nyaman dengan sikap Raka yang terkesan tidak sopan dimata Siska. Raka selalu mencoba duduk dekat dengan Siska. Dan hal itu membuat Siska merasa tak nyaman.

Ditambah lagi dengan sikap Raka yang sedari awal hanya membicarakan tentang dirinya sendiri. Harusnya hal itu dapat dimaklumi karena bukan hal mudah untuk diterima dan lulus dari akademi kepolisian. Namun itu membuat Siska merasa tak dihargai.

“Raka. Terima kasih atas kesediaanmu mengenalku. Aku menghargai itu. Namun ada hal yang perlu kau tahu. Aku sudah punya pacar. Sekarang ia sedang kuliah di Bandung. Dan aku sangat menyayanginya” Ujar Siska.

“Lalu bagaimana dengan niat kedua orang tua kita yang akan menjodohkan kita? Tidakkah kau menghargai keputusan mereka?” Tanya Raka.

“Aku memahami hal itu, dan bukan satu kali ini orang tuaku memperkenalakn anak temannya padaku. Begini saja, seandainya kau tak berniat mempermainkanku, cobalah kau curi hatiku, mungkin dengan begitu kita bias meneruskannya. Namun jika tidak, lebih baik kau lepaskan aku dari sekarang” Tawar Siska.

“Ternyata kau wanita yang cukup berkarakter. Aku suka dengan hal itu. Entah hal yang kebetulan atau tidak, aku juga mempunyai seseorang yang sedang menungguku. Dengan begitu sepertinya kita sepakat untuk tidak melanjutkan perjodohan ini. Aku akan jelaskan dengan baik-baik kepada orang tuaku dan orang tuamu” Jelas Raka.

“Terima kasih, Raka. Kau pria yang baik. dan wanita yang jauh lebih baik berhak mendampingimu” Ucap Siska mengakhiri perbincangan malam itu.

Malam kian larut. Rembulan kian menerangi malam yang dingin itu. Bintang-bintang pun berkerlipan. Rakapun pamit untuk pulang. Dan hal itu membuat Siska merasa senang. Helaan nafasnya menghantarkan Raka mengayunkan langkah demi langkah kaki.

“Huh. Akhirnya usai sudah untuk malam ini. Semoga tak ada hari esok seperti hari ini” Gumam Siska.

“Orangnya sih tampan. Andai aku tidak bersama Rio saat ini, mungkin saja hal yang berbeda akan terjadi. Tapi ya sudahlah. Aku mengistirahatkan tubuhku dulu untuk kuliah esok” Tambah Siska.

Sekecup sayang pada foto Rio melelapkan matanya. Seurai dongeng cintanya dengan Rio senantiasa membayangi tidurnya. Kerinduan yang mendalam pasca berpisahnya kedua insan ini menyisakan rindu yang teramat sangat. Setidaknya rindu itu akan menyesakkan jiwanya hingga ia bertemu dengan Alif esok hari.

***

Matahari menyapa pagi dengan sinar khasnya. Kehangatan menghapuskan dinginnya malam yang membekukan hati tiap insan. Kicau burung bersambut kokok ayam pecahkan heningnya bunga yang bermekaran. Di ujung jalan aktifitas manusia awali hari ini. Sementara itu, di sebuah rumah yang tak layak dibilang megah, sesosok wanita beranjak melangkahkan kakinya. Rambutnya terurai melambangkan kemuliaan kecantikan seorang wanita. Pesona anggun wajah khas wanita Indonesia menggambarkan kesetiaan, keramahan dan kesantunan menyerasikan busana yang kian menawan hati.

Ditepian jalan seorang pria duduk diatas motor menatap jam yang membalut lengan kirinya. Wajah gelisah menutupi kearifannya. Sesaat seorang wanita dengan tergesa-gesa menghampirinya.

“Hei. Sudah lama nunggu ya?” Tanya Siska.

“Cukup lama untuk menunggu tuan putri bersolek” Sindir Alif.

“Maaf, semalam aku tidur larut malam. Ada tamu menyebalkan yang datang kerumahku malam tadi” Jelas Siska.

“Echm. Ada tidak ada tamu bukannya kau selalu terlambat” Cela Alif.

“Hei. Kita mau berangkat atau menunggu sampai kau puas mengejekku” Ujar Siska.

Seperti biasanya Alif menjemput Siska sebelum berangkat ke kampus. Dan seperti biasanya pula, Siska membuat Alif menunggu hingga tak jarang keduanya tidak diperkenankan masuk kelas karena terlambat.

Kini keduanya melaju melintasi tiap meter kota kecil itu. Deru kendaraan bersambut deru kendaraan lainnya. Bumi kian panas karena menumpuknya karbon di ozon yang kian menipis. Udara segar tak menjadi asa yang pasti bagi masyarakat yang kian maju.

Siska melepaskan tangannya yang sedari tadi melingkari pinggang Alif. Keduanya turun dan bergegas menuju ruang kelasnya di lantai dua. Namun, sesampainya mereka dikelas, mereka tak mendapati teman-temannya yang sedang belajar. Hanya beberapa anak yang berkumpul dan berbincang ringan diselangkan dengan gelak tawa para pemuda-pemudi penerus bangsa itu.

“Hei. Tuh Raja dan Ratu telat sudah datang” celetuk salah seorang teman Siska.

“Tapi kalian beruntung. Si dosen killer gak masuk. Anaknya sedang sakit” Ujar yang lainnya.

“Huh, Untung saja. Bisa-bisa tepat tujuh kali aku dilarang masuk mata kuliahnya” ujar Alif menghela nafas sambil meletakkan tasnya diatas kursi.

“Alif, aku mau ngobrol sesuatu nih sama kamu” bisik Siska pada Alif sambil menarik tangannya.

Keduanya berbincang didepan kelas berpagar tinggi tak kurang dari satu meter itu. Sambil menatap para mahasiswa yang lalu lalang dilapangan basket di tengah kampus itu, Siska menceritakan tentang apa yang sedang melanda hatinya saat ini.

“Alif, malam tadi ada tamu datang kerumahku. Dia seorang polisi anak teman ayahku. Seperti pria-pria sebelumnya. Dia adalah orang yang ayah perkenalkan padaku untuk dijodohkan padaku” Ungkap Siska

“Lalu, kamu kembali mengusirnya?” Tanya Alif.

“Awalnya dia memang tidak menyenangkan. Tapi setidaknya dia cukup sopan daripada orang-orang yang sebelumnya” Terang Siska.

“Lalu, kau terima utnuk dijodohkan dengannya?” Tanya Alif lagi.

“Aku masih menunggu Rio. Kau tahu itu kan” Jawab Siska

“Jadi sampai sekarang kau belum bisa menerima bahwa Rio sudah tidak lagi di sisimu” Ujar Alif.

“Rio berkata bahwa ia pasti kembali. Dan aku telah berjanji untuk menunggunya. Kau tidak mau kan melihatku menjadi seorang yang ingkar janji. Lagipula………” ungkap Siska.

Belum sempat Siska menyelesaikan kalimatnya, handphone Alif bordering menyela pembicaraan mereka. Alif menerima telpon itu dan sedikit menjauh dari Siska. Senyum Alif menggambarkan rasa bahagianya berbincang dengan lawan bicaranya di telpon itu. Dan hal itu membuat Siska merasa diacuhkan. Telah seringkali Siska merasa cemburu dengan sikap Alif itu. Meskipun saat ini ia masih mengharapkan Rio kembali ke sisinya.

“Lagipula, dalam sepiku engkau selalu datang member aku kekuatan untuk tetap bertahan, Alif” Siska bergumam menyambung kalimatnya.

“Alif, ketulusanmu itu telah memaksaku. Memakuku pada tembok kebimbangan. Senyum itu memenjarakanku. Terperangkap pada keseimbangan hati dan perasaan. Membekukan eritrisot pada tiap bilik jantungku. Melipat arteri dan jalur vena. Namamu mengukir abadi pada otak kiriku. Hambatkan kaki untuk melangkah. Batasi hati untuk memilih. Ditiap cinta itu aku menanti sebuah tulus kemesraan. Sebutir oksigen untuk bernafas, berikan kesejukan pada kelenjar air mata. Diantara hangat ini ingin kutitipkan kepingan hatiku. Ku harap akan kau simpan atau justru akan kau rekatkan” Ujar Siska yang teru menata kearah Alif.

“Atas kecemburun ini aku hanya bisa mengatakan bahwa aku benci kamu, Alif” sambung Siska.

“Dan untuk Rio, aku tetap menunggumu meskipun aku tak yakin apakah aku satu-satunya cintamu” tambah Siska.

Siska masuk ke ruang kelas dengan perasaan yang tak tentu. Ia bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Ia ragu dengan keputusan yang harus ia tentukan. Seorang yang jauh disana ia nantikan dengan penuh harap setelah ikatan yang mereka sebut pacaran mengikat keduanya untuk tidak mencintai pria ataupun wanita yang lain. Dan disini, Ia telah mengagumi pria yang lain. Ialah sosok pria yang berhasil mengobati luka hati Siska. Sehingga Siska punya alasan untuk terus bertahan. Namun orang yang sama telah membuatnya terpukul dengan menyaksikannya riang berbincang dengan lawan bicara ditelpon yang pernah dijelaskan Alif sebagai mantan pacarnya.

“Aku terjebak untuk memilih antara hati dan perasaan. Rio yang telah membawa pergi hatiku hingga ku luluh dan tidak ada alasan untuk berhenti mengharapkannya. Dan Alif telah menawanku dengan kearifan dan kebijaksanaannya. Dan dialah yang mengobati luka perasaanku hingga akupun tak punya alas an kuat untuk tak mengaguminya bahkan mencintainya. Namun pada akhirnya keduanya telah membuatku luka. Aku hanya mampu mengharapkan kisahku abadi. Memimpikan anganku sejati. Aku terperangkap dalam rasa yang tak tentu, terusir dari singgasana bahagia. Ketika jeritanku riada terdengar, ungkapan hatipun hanya deruan. Aku terhempas dalam logika tak tentu, terjerumus pada lubang ketidakpastian. Mampukah aku menanti jawaban tak pasti, menunggu seribu lagu dalam sembilu, khayalkan kasta itu berpangku rindu dan peluk hanyat terhanyut dalam kasih” Pikir Siska.

“Hei. Maaf aku harus menerima telpon dulu” Alif membangunkan Siska dari lamunannya.

“Oh. Bukan masalah” Jawab Siska.

“Dosen tidak masuk, kita keluar saja, yuk. Aku mau membicarakan sesuatu” ujar Alif.

“Tentang apa?” Tanya Siska.

“Kau hanya cukup ikut aku saja” Ujar Alif.

Alif mengajak Siska pergi meninggalkan kampus. Mereka pergi menuju taman kota.

Alif menggenggam tangan Siska dengan lembut. Jemari-jemarinya membuat aliran darah Siska semakin cepat. Beribu pertanyaan muncul dibenaknya tentang apa yang akan diutarakan oleh Alif di siang itu. Hijaunya pepohonan dan gemericik bunyi air mancur menjadi saksi atas apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian.

“Siska, hampir satu tahun aku mengenalmu. Dan ada setitik denyutan asing pada jantungku. Aku coba mengabaikannya. Namun setiap menatap matamu, denyutan itu menghambat jalur pernafasanku. Aku coba mempelajari denyutan itu, dan akhirnya aku menyedari bahwa mungkin kaupun mengalami hal yang sama” Ucap Alif.

Hal itu membuat denyut jantung Siska makin tak beraturan. Ia hanya mampu terperangkap dalam retina mata Alif yang terus memandangnya.

“Namun, aku menyadari kau dan aku tak sama. Kau telah bersama Rio, dan aku tak ingin berada diantara kalian. Orang yang menelponku tadi adalah Rio. Aku memintanya pulang untukmu. Dan tidak lama lagi ia akan datang kemari” sambung Alif.

Hal itu membuat Siska tersentak. Membuatnya bertambah kagum pada Alif karena ketulusannya. Kakinya seolah tak sanggup menahan berat tubuhnya. Ia tak berdaya dengan apa yang telah dilakukan Alif. Entah ia harus senang atau justru menangis dengan kembalinya Rio kesisinya.

Deru suara mobil menghampiri mereka. Seorang pria tinggi 180 berkulit putih turun dari mobil itu. Sedikit senyumnya mencoba menyapa Alif dan Siska yang tak melepas genggaman tangannya.

“Itu pangeranmu sudah datang. Sekarang kau tidak akan lagi dipanggil Ratu Telat. Sekarang kau akan dipanggil Ratu Bahagia karena pangeran yang kau nantikan telah kembali dari perang panjangnya” ujar Alif pada Siska.

“Aku tak mengerti apa yang ada dipikiranmu. Tapi terima kasih ata semua yang telah kau lakukan” jawab Siska.

“Selamat datang kembali di kerajaanmu, Rio” ujar Alif pada Rio sambil mengulurkan tangannya. Dan itu membuat genggaman tangannya pada Siska terlepas.

Siska merasa tak kuasa menahan genggaman itu untuk tetap berada pada jemarinya. Kehadiran Rio tak membawanya untuk merasakan kembali cinta yang dulu pernah ia rasakan.

“Terima kasih, Alif. Kau telah menjaga permaisuriku. Entah apa yang harus kulakukan untuk membalasnya” ujar Rio pada Alif.

“Cukup dengan kau menjaga permata ini agar tidak kusam apalagi dicuri orang” balas Alif.

“Kau selalu bisa membalik kata-kataku dengan kata-kata yang lebih manis, Alif. Baiklah sekarang aku akan mengajak Siska pergi dulu. Kau tidak apa-apa kan?” Kata Rio.

“Tentu saja. Kau tau apa yang akan aku lakukan. Semoga kalian bahagia” Kata Alif.

Alif menyerahkan tangan Siska kepada Rio. Siska sedari tadi hanya berdiam diri tak tahu apa yang dilakukannya. Ia bagaikan putri salju tertidur yang belum mendapati pangeran menyadarkannya dari tidur panjang. Rio menerima tangan itu dan menggandengnya ke mobil berwarna biru itu.

Rio membukakan pintu dan mempersilahkan Siska masuk. Setelah Riopun masuk barulah Siska mengetahui bahwa kini Alifpun akan pergi meninggalkannya.

“Tidakkah kau mengucapkan selamat jalan pada Alif?” Tanya Rio.

Siska terkejut mendengarnya. Ia bingung tentang apa yang dimaksudkan oleh Rio. Ia segera turun dari mobil dan berlari kearah Alif yang berdiri menatap mobil itu.

Ayunan tangan Siska mendarat telak pada pipi kiri Alif. Alif tak kuasa menahan tamparan itu. Ia hanya tersenyum melihat Siska yang mulai menitikkan air mata. Tangan Alif menghampiri wajah Siska dan menahan air matanya agar tidak jatuh tepat dibawah dagu Siska.

“Kau mau pergi kemana?” Tanya Siska sambil terisak.

“Aku mendapat beasiswa di luar kota. Ayahku pun mendapat promosi jabatan pada kota yang sama” jawab Alif.

“Jadi kau tak akan kembali lagi. Lalu untuk apa kau meminta Rio pulang jika akhirnya kau harus pergi. Untuk apa kau ucapkan kata-kata manis itu yang telah membuat seluruh tubuhku bergetar. Untuk apa ketulusan yang kau berikan selama ini jika pada akhirnya harus engkau jadikan gunting untuk melukaiku. Untuk apa kau hadir dalam hidupku jika hanya sesaat lalu kau pergi lagi” Suara Siska meninggi.

Alif tak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ia menggerakkan tangannya pada bahu Siska dan menariknya kepangkuannya.

“Buat ku selalu tersenyum dengan canda tawamu. Biarkanku buka semua cinta yang lama terpendam. Maafkan bila ku tak bisa menjaga dekapan hangat ini. Maafkan jika ku tak sanggup berikan cinta selamanya. Ingin ku selalu bersamamu dengan sejuta cintaku. Berharap adanya dirimu untuk bisa mencintaiku. Namun maafkan aku jika tak selamanya bersamamu. Dan maafkan aku jika hal ini menjadi yang terakhir yang mampu kuberikan. Maka maafkan aku yang tak mampu menjadi kebaikan terabadi. Hingga maaf ini terpatri pada visualisasi, dan hilang oleh kristalisasi, hingga terlahir kembali bersama reinkarnasi, maka ketahuilah selama itu aku menyayangimu” Kata Alif.

Seiring itu, dilepaskan dekapannya pada tubuh Siska. Ia berjalan menuju motornya yang terparkir pada sisi taman itu. Ditinggalkannya Siska tetap berdiri ditempat ia melepaskan pelukannya. Tubuh Siska kian melemah. Gravitasi bumi kian menarik tubuhnya untuk terjatuh. Namun Rio yang sedari tadi berada didalam mobil menahan tubuhnya untuk tetap berdiri. Keduanya menatap kepergian Alif dari tempat itu. Kian jauh tubuh Alif dari pandangan mereka, kian meneteslah airmata Siska menyirami rerumputan yang ia injak.

Malam harinya Alif berangkat menuju bandara. Kepergiannya diantarkan oleh beberapa teman kuliahnya dan tak ketinggalan Rio. Kini ia akan pergi beberapa ribu kilometer dari kota yang telah membesarkannya. Dan kepergiannya yang lama menyisakan seorang gadis dengan luka yang kembali terkoyak.

Siska tak ikut mengantarkan kepergian Alif. Luka yang ia derita tak ingin dibuatnya bertambah parah dengan melepas kepergian orang yang ia sayang. Siska hanya mampu terbaring lemah didalam kamarnya. Ia tetap tak mendapati jawaban atas keraguannya untuk memilih hati dan perasaan. Pada akhirnya perasaannya kepada seseorang telah menjadi bumerang dan melukai hatinya. Namun Rio telah kembali untuk membalut luka itu. Akankah Rio mampu merekatkan kepingan hati itu, atau justru menghanyutkan hati itu, waktu yang akan menjawabnya.

BIDADARI DI MOBIL MERCY

Siang itu terik begitu menyengat. Matahari seolah marah besar pada bumi yang kotor ini. Sengaja dibakarnya bumi ini untuk digantikan dengan planet lainnya. Entah dendam apa yang ada dibenak matahari siang itu.

Aku seorang anak muda kreatif putra kebanggaan bangsa Indonesia, setidaknya begitu kata Ibuku. Aku punya prinsip tak akan pernah bekerja pada orang lain. Bagiku bekerja pada orang lain tak lebih baik dari seorang pesuruh. Dan akupun tak mau bekerja sebagai abdi negara seperti menjadi Pegawai Negeri Sipil. Karena buatku PNS sekarang ini hanya sekedar mementingkan dirinya sendiri. Tak ada PNS yang begitu tulus bekerja sebagai abdi negara.

Tak itu saja, Akupun tak menamatkan sekolahku yang telah berada pada kelas 2 sekolah menengah atas. Jika kita bisa mendapatkan ilmu tanpa bersekolah, kenapa kita harus menghabiskan banyak waktu untuk bersekolah selama belasan tahun. Karena prinsip hidup itulah aku hampir mendapat julukan sebagai pengangguran teladan.

Namun kreatifitasku tak membiarkan hal itu berlalu dengan sia-sia. Kini aku menjadi seorang wiraswastawan sukses. Pengusaha yang memiliki banyak bidang usaha. Di pagi hari aku berjualan koran harian, di siang hari aku berjualan minuman dingin, dan kala malam tiba aku mendorong gerobak kacang rebusku dari keramaian yang satu ke keramaian yang lainnya.

Meski menjalani hidup yang tak bisa dijalani oleh semua orang, namun aku tetap menikmati kehidupanku ini. Karena aku tak pernah mau mengubah prinsip hidupku. Bagiku, dunia pasti berputar. Nasib manusia dari waktu ke waktu pasti akan berubah. Walaupun pada kenyataannya setelah tiga tahun aku menjalani kehidupan seperti ini, tak ada sedikitpun tanda-tanda nasibku akan berubah.

Optimistis menjadi modal utamaku dalam menjalani hidup. Namun ada juga orang yang menganggapnya sebagai kepedean. Terserah orang mau bilang apa. Toh, yang menikmati hidupku ya aku sendiri.

Kini aku tengah menjajakkan asonganku di bawah pohon berringin di tepi jalan. Aku tak ingin membakar kulit halusku di bawah terik matahari itu. Ditambah lagi Asap knalpot yang akan menyesakkan dadaku. Tak pernah terbayangkan olehku jika harus hidup dengan kulit yang terbakar dan sakit asma yang membalut tubuhku.

Disaat aku tengah terbaring bersandar dibatang pohon yang kokoh itu, aku melihat sebuah mobil mercy berhenti tepat beberapa meter di depanku. Aku coba tak memperdulikannya, toh setiap harinya aku melihat banyak sekali mobil mewah yang lalu lalang dijalanan.

Namun mataku terperangah kearah mobil itu ketika kaki mulus keluar dari mobil. Sepasang kaki kini telah berdiri disamping mobil berwarna merah itu. Kuangkat pandanganku dari ujung kakinya hingga ke ujung kepala. Kian terpanahlah aku ketika dapat melihat wajah gadis berbaju merah itu.

“Pakaiannya begitu matching dengan mobilnya” hanya itu yang dapat aku gumamkan.

“Perlahan gadis itu mengayunkan kaki kanannya. Ia berjalan lurus dengan rambut terurai tertiup angin bagai iklan shampo yang biasanya kulihat ditelevisi yang dipajang ditoko. Semerbak keharuman terhanyut oleh terpaan angin yang seolah bermaksud memamerkan keharuman wanita itu. Make up yang aku tahu bernilai sangat mahal terpoles diwajahnya. Nilai mahal itu terpancar melalui tebalnya make up yang ia pakai.

“Bang. Abang. Air mineralnya, satu” Suara lembut membangunkanku dari lamunan.

Hatiku berbunga ketika mengetahui bahwa yang menyapaku adalah gadis yang turun dari mobil mercy itu. Aku mencubit tanganku untuk memastikan bahwa aku tidak bermimpi. Kemudian aku melihat disekelilingku untuk memastikan bahwa aku sedang tidak berada disurga bertemu dengan bidadari yang begitu cantik. Namun yang begitu mengejutkan ternyata semua orang juga terperangah melihat gadis cantik itu. Beberapa orang diantaranya tanpa disadari meneteskan air liur yang hampir membanjiri jalanan itu.

“Abang, air mineralnya dijual nggak” tanyanya lagi.

“Och iya, mbak. Tentu saja dijual” jawabku sedikit terkejut sambil tergesa-gesa memberikan sebotol air mineral.

“Harganya berapa, bang” tanyanya lagi.

“Lima ribu saja, bu” jawabku.

“Waduh, Bang. Jangan panggil Ibu dong. Kayaknya udah tua banget. Panggil saja Rindu” ujarnya sambil merogoh tas.

“Kalo gitu kamu juga jangan panggil aku Abang. Panggil saja aku Reno” Ucapku.

“Kebetulan sekali. Namaku Rindu, dan kamu Reno. Kayaknya adea sesuatu dibalik kebetulan ini” Ucapnya sambil memberikan uang seratus ribu.

Aku terkejut mendengarnya. Tiba-tiba dadaku terasa sesak karena dipenuhi oleh bunga-bunga. Jantungku kempas-kempis tak beraturan. Dan Paru-paruku seolah copot tak sanggup menahan ucapan penuh misteri itu.

“Benarkah ada sesuatu dibalik Kebetuan yang ku buat ini. Jika memang benar, maka aku tak akan beritahu bahwa sebenarnya namaku adalah Joko Subandi Bin Sutedjo (maaf jika ada kesamaan). Biarlah nanti aku akan minta kedua orang tuaku untuk motong kambing lagi biar namaku bisa dipermanenkan jadi Reno” begitu pikirku.

“Abang, kok ngelamun lagi, sih” Ucapnya.

“Wah, Mbak. Uang segitu nggak ada kembaliannya. Uang pas sajalah” Ucapku.

“Saya nggak punya uang kecil. Begini saja dech. Kamu simpan nomor telpon saya. Nanti kalau kamu sudah punya kembaliannya, kamu telpon saya” tawarnya.

Aku makin terdiam. Bagaimana mungkin aku menghubunginya, sedangkan Aku tak punya handphone.

“Echm. Gimana yaa. HP ku sedang dibengkel” Jawabku.

Ia tersenyum mendengarnya. Toh, sejak kapan bengkel bisa servis HP.

“Ya sudah. Kamu pegang HP ini saja. Nanti aku akan hubungi kamu” Ia memberikan Blackberrynya padaku.

“Sekarang aku pergi dulu ya, RenoHPHH. Nanti malam aku hubungin kamu ya. Tambahnya.

“I.. I.. Iy.. Iya” Jawabku terbata-bata.

Bagaimana mungkin aku tidak bicara terbata-bata. Seorang wanita cantik yang turun dari mercy tiba-tiba datang menghampiriku dan membeli barang asonganku. Dan dengan manisnya ia memberikan Hpnya padaku.

Eits. Baru sadar kalo aku tak bisa menggunakan Blackberry. Jangankan handphone berkelas itu, handphone yang biasa dijadikan ganjalan pintu saja aku tak bisa menggunakannya. Aku bergegas ke kiosnya Pak Mardi dia pasti bisa mengajariku menggunakan handphone ini.

Dan benar saja, akhirnya aku bisa juga menggunakan handphone itu. Tentunya dengan perjuangan yang tak mudah. Hanya sekedar untuk nelpon dan sms saja, Pak Mardi harus mengajariku selama empat jam. Bahkan Pak Mardi hampir putus asa. Namun setelah kuberikan tiga bungkus rokok daganganku, Pak Mardi kembali mau mengajariku. Dan akupun pulang dengan hati yang bergembira. Seperti gembiranya Dora yang berhasil menyelesaikan misinya.

Malamnya, aku duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon rambutan depan rumahku. Jari-jariku sibuk menekan tombol-tombol handphone yang baru tadi siang kudapatkan. Tiba-tiba aku terkejut ketika handphone itu berdering. Bahkan hampir saja aku lempar handphone itu ke kolam ikan yang berada disampingku. Itu tak kulakukan ketika aku membaca nama seorang gadis yang muncul dilayar handphone itu.

“Ini handphone bikin kaget. Gimana nih cara nerima telpon” Ujarku.

Aku kebingungan memperhatikan handphone itu. Ku tekan beberapa tombol yang ada.

“Tombol berwarna hijau ini sangat mencurigakan” Ujarku sambil menekan tombol hijau itu.

Sesaat kemudian kudengarkan suara seorang wanita menyapaku dari handphone itu.

“Hello….” Ucapnya.

“Hello….” Ucapku mengikuti kata-katanya.

“Lagi ngapain?” tanyanya.

“Sedang nunggu telpon dari kamu” jawab ku merayu dengan bahasa terbata-bata.

“Besok aku mau ajak kamu jalan-jalan, mau nggak?” Tanyannya.

Sejenak aku berfikir benarkah wanita ini mengajakku jalan-jalan esok hari.

“sebenarnya sih aku ada kegiatan, tapi untuk kamu aku rela batalkan janjiku itu” jawabku. Padahal seisi duniapun tahu bahwa kegiatanku esok hari tak lain hanyalah berjualan asongan seperti biasanya. Dan janji yang aku maksudkan adalah janji bayar hutang diwarung makannya Mak Udah.

“Ya sudah. Besok aku jemput ditempat kita bertemu kemarin jam 9 pagi ya” ujarnya.

“Baiklah. Aku akan ada disana pukul 4 pagi” candaku.

“Ya sudah, sekarang kamu istirahat ya. Selamat malam, sayang. Emmmuuuaaahhh” Dia memberikan sekecup ciuman yang membuat jantungku cenat-cenut.

Suara ditelpon menghilang seiring nada “bip..bip..bip”. Namun aku tetap tertegun tak kuasa menahan gravitasi bumi yang kian berat menarik kakiku. Aku terbaring diatas bangku panjang dibawah pohon itu. Kecupan dari Rindu terus terngiang ditelingaku. Hingga akhirnya ku terlelap diantara nyamuk-nyamuk nakal yang tanpa izin menyedot tiap mililiter darahku.

Kicau burung meriahkan pagi. Suara kokok ayam membangunkanku. Semerbak wangi bunga-bunga menyambutku dipagi itu. Seolah semerbaknya hatiku yang dipenuhi bunga-bunga indah.

Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Aku bergegas menuju kamar mandi. Namun, aku mendapati Yanti yang tak lain adalah kakak iparku sedang mencuci. Akhirnya aku pergi menuju kali. Dengan tanpa alas kaki, akupun mandi dan tak lupa menggosok gigi. Suara siul bibirku bersambut dengan seraknya suaraku bernyanyi. Dan aku selesai mandi tepat tiga puluh menit sebelum waktu kami berjanji.

Aku bergegas menuju rumah dan segera mengenakan baju. Wangi parfum serentak membasahi tubuhku. Tak lupa aku mengenakan celana baru. Semuanya kulakukan hanya untuk bertemu Rindu.

Jam Sembilan berdentang ditelinga. Aku segera menuju ketempat biasa. Dan Rindu telah menunggu disana dengan mobil Mercy warna merahnya. Senyumnya dari jauh telah menyapa. Tak pernah ku rasakan degup jantung yang begitu membara. Bagaimana mungkin seorang loper Koran bisa berkenalan dengan seorang putri orang kaya.

“Wah. Maaf, sudah lama menunggu ya?” Kataku.

“Tidak kok. Masih sepuluh menit lagi dari waktu kita janjian. Aku sengaja datang lebih awal karena aku tak mau membuatmu menunggu” Ujar Rindu.

“Terima kasih untuk hal itu. Kamu terlihat cantik hari ini” Rayuku.

“Kau terlalu memuji” Ujar Rindu lagi.

“Jadi kau mau mengajakku kemana hari ini?” Tanyaku.

“Kamu ikut aku saja. Nanti kamu jua akan tahu” Rindu membuatku penasaran.

Rindu segera mengajakku masuk kedalam mobil mewahnya. Menyisakan orang-orang yang sedari tadi menatap kearah kami. Pesona kecantikan Rindu telah menyihir orang-orang sehingga berdiri mematung bagaikan anak idiot. Dan baru kusadari setalah masuk kedalam mobil, ternyata ada kecelakaan beruntun di dekat kami karena pengendaranya tak berkonsentrasi berkendara menatap kearah Rindu.

Kecantikan itu harusnya hanyalah dimiliki oleh bidadari-bidadari surga. Entah bagaimana kecantikan itu bisa diwarisi oleh seorang anak manusia. Atau justru Rindu adalah anak dari seorang bidadari. Atau justru Rindu adalah bidadari itu sendiri.

Deru mobil meninggalkan keramaian perempatan itu. Rindu mengajakku kesuatu tempat otomotif. Ia bermaksud membelikanku sebuah mobil.

“Bagaimana, adakah mobil yang kamu sukai di sini?” Ujar Rindu.

“Maksudmu?” Tanyaku bingung.

“Aku kasihan melihatmu berjualan ditempat panas. Jadi aku ingin membelikanmu mobil”Ujar Rindu.

Aku hanya menggeleng sambil terperangah. Bagaimana mungkin seorang loper Koran berjualan menggunakan mobil Avanza, Xenia atau Innova. Lagipula aku sedari tadi tak mengaku bahwa sebenarnya aku tak bisa mengendarai mobil. Karena itu sedari tadi aku tak menawarkan diri untuk mengendarai mobilnya.

“Ya sudah. Kamu temani aku ketempat wisata saja ya. Sudah lama aku tak bermain disana” Ujar Rindu.

Akupun hanya menganggukkan kehendaknya. Disana aku melihat Rindu yang begitu ceria menikmati berbagai wahana permainan. Berbeda denganku yang sedari kecil hanya bermain kejar-kejaran disungai atau bermain petak umpet dibalai desa. Terakhir aku bermain permainan semacam itu di pasar malam dekat rumahku. Dan aku langsung demam tiga hari dan muntah-muntah. Karena itu aku menolak menemani Rindu menikmati wahana permainan.

Hari beranjak sore aku bermaksud mengajak Rindu untuk pulang. Meski kulihat ia masih sangat menikmati hari itu, namun aku tak menginginkan ia dimarahi kedua orang tuanya jika pulang malam. Maklum saja, aku selalu dimarahi jika pulang malam, apalagi tak membawa uang setoran.

“Rindu, kita pulang ya. Hari sudah cukup sore” Ucapku.

“Padahal aku sedang menikmati hari ini. Tetapi lain kali kamu harus menemaniku lagi ya.” Pintanya.

“Pasti. Tak mungkin aku menolak permintaan gadis secantik kamu” Aku kembali merayunya.

“Kamu serius tidak mau ku belikan sesuatu” Katanya.

“Tidak perlu. Aku tak mau merepotkanmu. Akukan seorang pria, mana mungkin seorang pria mau menerima pemberian seorang gadis. Suatu saat aku pasti bisa mendapatkannya dengan perjuanganku sendiri” Ucapku.

Ucapanku seolah menunjukkan karakter seorang pria sejati. Namun dalam hatiku merasa sangat sedih. Karena sedari tadi Rindu menawarkan hal-hal yang tak bisa aku gunakan. Bagaimana mungkin ia menawarkan mobil kepada loper Koran. Selain itu ia juga menawarkan aku laptop, jas, handphone blackberry, hingga mengajakku liburan keluar negeri. Jika aku pergi keluar negeri, bagaimana nasib daganganku. Aku pernah satu kali tidak bekerja, dan bosku langsung ingin memecatku. Andai saja Ia menawarkanku rumah atau menawarkanku menjadi suaminya. Tanpa pikir panjang, tentu aku akan menerimanya.

Kami melesat menuju gubukku. Bukan kata kiasan, karena rumahku memang tak ubahnya sebagai gubuk berdinding papan dan kardus. Sepanjang perjalanan ku tatap wajah Rindu yang begitu memancarkan kecantikannya. Kecantikan itu tak luntur sejak kami bertemu di pagi hari tadi. Bahkan selama kami bersama, tak sekalipun aku lihat ia bersolek untuk memperbaiki make upnya. Entah make up apa yang ia gunakan hingga tak sedikitpun debu yang menempel diwajahnya.

Senyum dibibirnyapun tak pernah hilang. Membuatku senantiasa merasa bahagia bila didekatnya. Bagaimana tidak, aku yang selama ini berada dipinggir jalan, sekarang berada didalam mobil mewah bersama gadis tercantik didunia.

Rambutnya terurai indah. Panjang rambutnya seolah menghubungkan pulau jawa dan sumatera. Hitamnya mengambarkan sehatnya rambut yang ia miliki. Bagaikan iklan shampoo yang biasa kulihat di televisi. Bahkan hitamnya mengalahkan hitamnya knalpot yang senantiasa menemaniku dikala berjualan.

Tak lama kemudian mobil berhenti. Aku menyadari bahwa itu bukanlah lorong kearah rumahku. Rindu bermaksud mengajakku makan malam. Ya, setelah makan siang seadanya di tempat wisata tadi, perutku sangat kelaparan. Cacing-cacing diperutku seolah menabuh gendering perang yang memancing cacing-cacing lainnya bangun dari tidur panjang.

“Kita makan maam dulu ya. Aku mau memperkenalkanmu paa kedua orang tuaku” Kata Rindu.

“Apa??? Ta..ta..tapi dengan penampilanku seperti ini…” aku kaget bukan kepalang mendengarnya.

“Tenang saja, orang tuaku datang tiga puluh menit lagi. Dan aku telah menyiapkan busana untuk kita berdua. Jadi kita bisa bersiap-siap terlebih dahulu”. Ujarnya sambil tersenyum menenangkanku.

Ya. Senyumnya benar-benar menenangkan dan menyenangkanku. Tak pernah aku dijamu sedemikian rupa, apalagi oleh gadis secantik dia. Apalagi dia ingin memperkenalkanku kepada orang tuanya. Meski aku tak tau apa maksudnya, namun bisa seperti ini saja aku sudah sangat senang.

Aku selesai membersihkan diri dan mengganti pakaianku. Aku mengenakan jas hitam dengan dasi yang begitu mengikat dileher membuatku merasa tak nyaman. Namun hal itu membuat bahuku bertambah tinggi kurang lebih sepuluh senti. Aku merasa menjadi seorang pejabat sebuah perusahaan ternama seperti yang aku baca dikoran bekas yang menjadi alas dudukku ketika beristirahat berjualan Koran.

Dikamar yang berbeda, aku melihat seorang gadis keluar dari kamar itu. Gadis dengan dress putih, rambut yang bergelombang dan sepatu kaca yang menghias kakinya. Ia bagaikan cinderela yang terbangun dari tidur panjangnya setelah dicium oleh seorang pangeran. Entah yang dicium itu cinderela atau putri salju, aku sudah lupa. Yang pasti kecantikannya kian terpancar dengan bertaburkan kerlip lampu restoran yang syahdu.

Kami berdampingan menuju meja makan. Disana telah menunggu beberapa orang yang tak lain adalah keluarga Rindu. Dari kejauhan tampak senyum menghias bibir mereka yang menatap kearah kami.

Begitu kami mendekat, mereka langsung berdiri untuk memberikan penghormatan kepada kami. Di ujung meja, dua buah kursi telah menanti kami. Pelayan yang berada dibelakang kursi itu menariknya untuk mempersilahkan kami duduk. Kami duduk bersanding bagaikan Raja dan Permaisuri.

Rindu memperkenalkan aku kepada orang-orang yang ada disana. Sambutan merekapun cukup ramah. Kedua orang tuanya menunjukkan wajah yang begitu menyukaiku. Entah apa yang ada dipikiran mereka. Pertanyaan besar menggeayut dipikiranku. Apa reaksi mereka ketika mengetahui aku hanyalah seorang loper Koran.

“Ayah. Ia adalah seorang loper Koran. Aku berkenalan dengannya kemarin” Ujar Rindu.

Hal itu membuatku tersentak. Degup jantungku bagaikan perang dunia ketiga.

“Tentu kamu seorang pekerja keras. Yang aku tahu persaingan dalam penjualan Koran sangat ketat. Ada puluhan bahkan ratusan penjual Koran dijalanan. Butuh strategi pemasaran yang sangat tinggi untuk memenangkan persaingan itu. Saya yakin kamu pasti bisa mempraktekkan strategi pemasaranmu pada perusahaan kita kelak” Ujar ayahnya padaku.

Hal itu membuatku bertambah bingung. Apa benar ayahnya akan menyerahkan jabatan itu kepadaku. Aku sedikitpun tak mengerti tentang pemasaran. Yang aku tahu, jika lampu merah menyala aku menghampiri mobil-mobil itu dan menawarkan koranku. Jika tak ada yang membeli, mungkin aku hanya bisa menggerutu saja. Atau aku ambil batu dan kulempar kaca mobil itu. Setidaknya itu yang akan aku lakukan pada perusahaan lain yang mengalahkan kami ditender.

“Baiklah. Kita mulai saja makan malamnya” Ucap ayah Rindu mempersilahkan.

Kebetulan sekali perutku sudah sangat keroncongan. Ditambah lagi aroma makanan yang sepertinya begitu lezat seolah menarik lidahku untuk segera mencicipinya. Entah telah berapa liter air ludah yang ku telan untuk menahan dahaga ini. Hingga akhirnya Rindu mengambilkan makanan untukku. Kamipun makan dengan teliti, seksama dan bersahaja diiringi gesekan biola yang asing ditelingaku.

Acara makan malam selesai. Sesaat kemudian salah seorang diantara kami berdiri. Tampak bahwa ia akan memandu acara pada malam itu.

“Baiklah, setelah makan malam usai. Sekaranglah saat yang kita nanti-nantikan. Yaitu acara pertunangan. Kepada keduanya kami persilahkan maju kedepan” Ucap orang itu.

Aku hanya duduk terdiam menanti siapakah orang yang akan maju kedepan untuk bertukaran cincin diacara pertunagan ini. Tentu sangatlah menyenangkan andai saja aku bisa mengadakan acara pertunagan seperti itu.

Lamunanku terpecah ketika Rindu menarik tanganku. Ia mengajakku tampil dihadapan orang-orang itu. Aku bingung apa tujuan Rindu menarik tanganku. Setelah aku berdiri, barulah Rindu membisikkan sesuatu padaku.

“Yang akan bertunagan adalah aku dank au” Bisiknya.

Aku hanya bengong. Jiwaku sesaat melesat jau menggapai bulan lalu kembali jatuh kebumi dan melesat lagi ke bintang dan sesaat kembali lagi kebumi. Bingung, bahagia dan berjuta rasa lainnya bercampur dihatiku. Bagaimana mungkin seorang loper Koran bertunangan dengan Bidadari secantik Rindu. Entah apa yang akan diberitakan di Koran esok pagi.

Aku memegang tangan Rindu dan memasukkan cincin emas murni bertahtahkan berlian asli ketangannya. Tepuk tangan dan iringan musik meng hempas kesunyian restoran yang memang disewakan untuk acara malam itu. Setelah itu gantian Rindu yang memasukkan cincin ditanganku. Kembali tepuk tangan dan iringan music menghempas jantungku. Dan suara terompet musik itu begitu dominan memekakkan telingaku.

Pikiranku masih melayang jauh menikmati masa-masa itu. Hingga sekali lagi buny I terompet itu terdengar keras ditelingaku. Allu aku melihat Rindu yang sedari tadi berdiri dihadapanku. Namun aku tak mendapatinya. Aku menoleh kesamping melihat kearah meja makan yang duduk keluarga besar Rindu, dan kupikir Rindu juga telah duduk disana. Namun aku tak mendapatinya. Yang aku lihat justru beretan mobil yang sedari tadi membunyikan klakson dengan kencangnya.

Barulah aku sadari bahwa aku berdiri tepat ditengah-tengah jalan. Dan terompet dari band itu tak lain adalah klakson mobil yang terjebak macet cukup panjang.

“Hei. Mau sampai kapan kau berdiri disana? Sudah tiga kali lampu hijau dan kau sedikitpun belum beranjak satu incipun dari sana. Apa mau menunggu kemacetan ini mengekor sampai ke Bandung?” Ujar salah seorang berteriak dengan lantangnya.

Sorot mata mereka begitu tajam menatapku. Klakson dari mobil-mobil mereka tak henti berbunyi. Barulah kusadari ternyata semua itu hanyalah mimpiku disiang bolong. Aku melangkahkan kakiku kepinggir jalan. Memberikan ruang bagi mobil-mobil itu untuk melaju. Umpatan, cacian dan makian menghujaniku yang berdiri dengan penuh kebingungan, kekecewaan dan penuh rasa bersalah. Hingga seorang temanku sesame loper Koran menghampiriku.

“Menghayal bertemu gadis cantik dan menikah dengannya lagi?” ujarnya.

“Ini yang ketiga kalinya kau menghayalkan hal itu dalam hari ini. Hiduplah bersama kenyataan. Loper Koran seperti kita paling hebat menikah dengan pembantu” Sambungnya.

Yaa. Sepertinya mimpi tetap akan berlalu menjadi mimpi. Namun, aku tetap tak menyerah. Bagiku hidup berawal dari mimpi. Meski karena mimpi itulah aku diusir oleh ibuku karena malas bekerja. Meskipun aku tak dapat menggapai mimpi-mimpi itu, setidaknya aku telah merasakan kebahagiaannya didalam mimpiku.

Designed by Animart Powered by Blogger