BAB VII

R

iuh kicau burung merdu ditelinga. Suara tetes air hujan tak lagi terdengar. Hanya rintik-rintik air yang masih menetes dari daun-daun hijau.

Hari itu Afiksi masih dirawat di Rumah Sakit. Seperti biasa, Ibunya sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Andra yang selalu menemaninya, tak bisa lagi berada disisinya. Widya dan Tiara juga harus bersekolah. Karena itu ia lebih memilih untuk beristirahat di Rumah Sakit. Setidaknya, perawar di Rumah Sakit itun bisa menjadi teman berbincang yang baik bagi seorang Afiksi.

“Maukah kau, jika ku ajak jalan-jalan ditaman?”

Suara seorang laki-laki kembali mengejutkan Afiksi. Kembali ia tersentak dengan suara itu. Tanpa menunggu jawaban dari afiksi yang tengah terperanjat di kursi rodanya, Laki-laki itu langsung mendorong kursi roda menuju taman bunga di Rumah Sakit itu.

Beberapa pasien tengah menjalani terapi di taman itu. Sedangkan dokter dan perawat silih berganti melintas di antara bunga-bunga yang masih basah tersiram hujan.

“Andra, kau sudah kembali?” Tanya Afiksi.

Laki-laki yang ternyata adalah Gara itu tak langsung menjawab. Setetes Airmata jatuh membasahi rumput hijau yang diinjaknya. Dalam hatinya ia merasa sedih karena Afiksi telah melupakannya, kekasih pertamanya. Namun Ia juga merasa bahagia karena melihat senyum Afiksi kembali merekah meski yang Afiksi tunggu adalah kehadiran Andra, bukan Gara. Ia menyadari bahwa rasa cinta dan sayang Afiksi begitu besar pada Andra.

“Ya, aku kembali untukmu” Jawab Gara.

“Bagaimana kesehatanmu?” Tanya Afiksi.

“Nyawaku sekalipun tak lebih berharga daripada kesembuhanmu” Jawab Gara.

Keduanya masuk kedalam obrolan yang menghangatkan satu sama lain. Rasa sakit pada mata Afiksi tak lagi dirasanya selama Gara hadir disisinya menggantikan kehadiran Andra. Suara Andra dan Gara yang sangat mirip membuat Afiksi tak mampu membedakannya.

Dari kejauhan, Rama, Nita, Rio dan Nopri menyaksikan keduanya. Merekalah yang meminta Gara untuk menemani Afiksi dengan cara menjadi Andra. Mereka juga menyadari, bahwa kehadiran Andralah yang akan membuat Afiksi punya alasan untuk kembali melanjutkan kehidupannya. Setidaknya bisa untuk membuat Afiksi tak terpuruk karena menyalahkan dirinya sebagai penyebab kecelakaan itu.

Hari beranjak siang. Gara mengantarkan Afiksi ke ruang perawatan untuk beristirahat.

“Sekarang kau beristirahat ya” Pinta Gara.

“Andra, aku pernah bermimpi. Kau mengajakku terbang diantara awan-awan putih. Memandangi taman bunga dari angkasa. Namun, kemudian kau menghilang di antara awan gelap. Meninggalkanku sendiri yang sedang menangis”Kata Afiksi.

“Aku tak akan pernah meninggalkanmu” Jawab Gara.

Afiksi kini tertidur. Ekspresi wajahnya menunjukkan kedamaian. Tak ada lagi ekspresi kekecewaan ataupu kesedihan yang sebelumnya selalu terpancar selama menunggu kembalinya Andra.

“Seandainya kau tahu bahwa Andra memang telah pergi meninggalkanmu, tentu tangis dalam mimpimu itu akan menjadi nyata. Membasahi setiap awan-awan putih itu. Ternyata kepergianku dahulu telah membawamu kepada kebahagiaanmu. Dan kedatanganku kini telah membawamu kembali masuk dalam kesedihanmu. Maafkan aku Afiksi” Ucap Gara dalam hati.

Gara bermaksud meninggalkan ruangan itu. Namun tiba-tiba tangan Afiksi menggenggam tangannya. Meski masih tertidur, namun genggaman kuat tangan Afiksi menunjukkan bahwa ia sangat menginginkan seseorang disampingnya. Perlahan Gara memindahkan genggaman tangan Afiksi kembali ketempat tidurnya.

Andra kembali beranjak keluar ruangan meninggalkan Afiksi yang tengah tertidur. Diluar ruangan itu Rama dan teman-temannnya duduk diruang tunggu.

“Maafkan kami membuatmu harus menjadi orang lain” Ucap Rama.

“Akupun turut bahagia melihat senyum Afiksi” Ucap Gara.

“Dokter mengatakan bahwa mata Afiksi tak akan bisa disembuhkan” Kata Nopri.

“Apakah itu berarti bahwa Afiksi tak akan bisa melihat lagi?” Tanya Gara.

“satu-satunya cara dengan melakukan pencangkokan mata” Jelas Nopri.

“Artinya akan sulit bagi Afiksi untuk melihat lagi” Ucap Gara.

Semuanya terdiam. tak ada kata-kata lagi yang meluncur dari lidah mereka. Mereka kini harus mencari orang yang dengan suka rela bersedia memberikan matanya untuk Afiksi. Dan hal itu tentu bukanlah hal yang mudah. Bahkan orang yang telah meninggalpun, keluarganya belum tentu mau merelakan matanya dicangkokkan. Sekalipun dengan biaya yang mahal.

“Kami pulang dulu” Ucap Rama.

“Baiklah. Aku masih harus menemani Afiksi” Kata Gara.

****

Satu minggu berikutnya, Rama mendapatkan informasi bahwa ada seseorang yang bersedia mencangkokkan matanya. Hal itu tentulah membuat semuanya merasa bahagia. Begitupun Afiksi. Rasa bahagianya yang akan bisa melihat lagi, terpancar jelas diwajahnya.

Namun satu hal yang dilewatkan oleh semuanya. Jika Afiksi bisa melihat, maka ia akan mengetahui bahwa Andra yang selalu menemaninya selama ia tak mampu melihat adalah Gara. Dan tentu ia akan mempertanyakan kemanakah Andra. Mereka semua tak pernah memikirkan jawaban apa yang harus diberikan pada pertanyaan yang akan keluar dari bibir tipis Afiksi.

Hari beranjak sore. Jam gadang dikota tersebut membentuk sudut terkecil 1500. Dentang jam sebanyak lima kali membahana dikota tersebut.

Sepasang muda-mudi berdiri disebuah jembatan dikota itu. Keduanya menatap kearah akan terbenamnya sang surya. Dekapan hangat bersamaan dengan hangatnya sinar jingga matahari.

“Andra, meski hangat matahari hanya mapu ku rasakan tanpa kulihat indahnya matahari terbenam, namun jika bersamamu ku tak pernah takut menghadapi dunia ini” Ucap Afiksi.

“Apakah kau bahagia berada disampingku?” Tanya Gara.

“Tak pernah aku rasakan kebahagiaan selain berada disampingmu. Andra, aku pernah bermimpi suatu ketika aku menikah denganmu” Cerita Afiksi.

“Seandainya aku adalah orang lain, apakah kau akan tetap bersamaku?” Tanya Gara lagi.

“Aku tak mengerti apa maksudmu bertanya seperti itu. Namun jawabanku, kau adalah orang yang telah menemaniku selama ini. Mengisi kosongnya hatiku. Memberikan warna dalam hidupku. Dan menjadi alasanku menjalani hidup. Maka siapapun kamu, aku harus membalas semuanya itu dengan mendampingimu, menikah denganmu hingga kau tak lagi inginkan aku berada disampingmu” Jawab Afiksi.

“Afiksi, Rama mengatakan bahwa mereka telah menemukan orang yang bersedia mendonorkan matanya” Ucap Gara.

“Sungguhkah itu?” Tanya Afiksi gembira.

“Ya. Namun orang tersebut berada diluar kota. Apa kau bahagia mendengarnya?” Tanya Gara.

“Tentu saja aku sangat bahagia. Andra, aku ingin kau adalah orang pertama yang aku lihat saat akun bisa membuka mata lagi” Kata Afiksi.

“Aku akan selalu disampingmu” Ucap Gara.

Terbenamnya sang surya mengiringi langkah kedua insan itu. Ayunan langkah ringan bersimponi dengan suara hentakan tongkat Afiksi menemani mereka hingga pada mobil Vitara warna hitam milik Gara. Keduanya pulang berkejar-kejaran dengan suara azan yang mulai menggema pada beberapa masjid yang mereka lalui. Hingga laju mobil itu terhenti di halaman parkir sebuah masjid bersamaan dengan berakhirnya gema azan dimasjid itu.

“Andra, kita shalat dulu ya. Aku ingin berdoa” Ucap Afiksi.

Gara turun terlebih dahulu yang kemudian membukakan pintu mobil untuk Afiksi. Tuntunan langkah kaki Gara mengantarkan Afiksi menuju tempat berwudhu. Andra yang bukan mahramnya pun kemudian menuju ruang wudhu pria. Seorang wanita paruh baya mengantarkan Afiksi menuju tempat beribadah.

Lantunan ayat-ayat Al-Qur`an sang Imam Shalat menjelajahi setiap relung hati para makmumnya. Sebuah cahaya ketenangan menyinari jiwa penuh dosa anak manusia. Keserasian ucapan dan gerak menyelaraskan perbedaan yang sempat memisahkan satu sama lain selama hubungan sesama manusia. Tertunduk kepala yang sebelumnya seringkali bersikap congkak tak pernah ingin melihat orang lain yang takdirnya lebih rendah dari padanya.

Seusai shalat, tiap insan berdoa memohon pada sang penciptanya. Tak terkecuali bagi Gara dan Afiksi. Afiksi berdoa semoga ujian kebutaannya ini mampu meberikan hikmah luar biasa bagi dirinya. Disaat yang sama, Gara berdoa semoga Afiksi dapat melihat lagi sehingga kata-katanya tadi bisa ia wujudkan.

Dua hari kemudian, Afiksi bersama beberapa anggota keluarganya dan tentu saja Gara pergi keluar kota. Menemui keluarga pasien sebuah rumah sakit yang berdasarkan informasi bersedia mendonorkan bola matanya untuk Afiksi.

Sebuah asa bagi semua orang disekitar Afiski agar Afiksi dapat melihat lagi. Senyum bahagia dengan canda riang tak jarang menemani perjalanan mereka menuju kota itu. Hingga tiga jam pun tak terasa mereka lewati diatas pesawat terbang swasta itu. Dan suara gesekan landasan dengan ban pesawat menghiasi landing pesawat di bandara terbesar dikota itu.

Deru mobil mengantarkan mereka menuju sebuah rumah sakit umum daerah tersebut. Namun, harus ada kekecewaan di wajah mereka. Orang yang bermaksud mendonorkan matanya untuk Afiksi telah meninggal tiga hari yang lalu.

Afiksi mencoba untuk tegar. Senyumnya mengisyaratkan agar orang-orang disekitarnya tak perlu bersedih. Ia tetap yakin bahwa semua ini adalah catatan takdir yang perlu ia pelajari untuk mendapatkan nilai ujian berkareditasi amat baik dari sang pencipta.

Lalu, akankah Afiksi bisa kembali membuka mata indahnya??????? Nantikan kelanjutannya pada bab berikutnya.

BAB VI

U

dara pagi begitu menusuk. Butir kecil embun pagi membasahi daun-daun hijau. Bunga-bunga terlihat jelas tengah bermekaran. Kupu-kupu terbang riang gembira. Namun, bagi seseorang pagi yang indah itu hanyalah kekelaman. Baginya tak ada kilauan cahaya matahari. Tak ada indahnya syap kupu-kupu.

Ya, Afiksi tak dapat melihat semua itu. Kebutaan akibat kecelakaan itu mengakibatkan ia tak mempu lagi menikmati indahnya alam sang pencipta. Namun, ia tetap tak patah semangat. Baginya Andra yang selalu akan berada disampingnya sudah cukup untuk menyinari hatinya. Cukup untuk indahkan dunia kelamnya.

Afiksi tak pernah tahu bahwa Andra tak akan pernah lagi hadir dalam hidupnya. Sekalipun ia bisa melihat, namun wajah Andra tak akan lagi terlintas di mata indahnya. Teman-temannya sepakat untuk tak memberitahukan meninggalnya Andra pada Afiksi. Mereka tahu bahwa Afiksi akan sangat terpukul dengan kabar kepergian Andra. Untuk itu mereka merahasiakan semuanya itu. Mereka hanya memberitahukan bahwa Andra dirawat di rumah sakit yang lain.

Dari kejauhan seorang pria menatap pada Afiksi. Ia melihat Afiksi yang tengah duduk dikursi roda di taman bunga rumah sakit itu. Rasa iba pria itu muncul ketika melihat seorang gadis muda yang buta. Namun rasa kagum pun menggelayut dipikirannya. Seorang wanita cantik, meskipun dalam keadaan buta tetap tabah menghadapi cobaan yang tak pernah diharapkan oleh orang lain.

Perlahan langkah kaki pria itu menghampiri Afiksi. Meski keraguan terpancar di wajahnya, ia berusaha meyakinkan diri untuk mendekati Afiksi.

“Taman bunga begitu indah” Sapanya pada Afiksi.

“Namun keindahan bunga itu berupa kekelaman bagiku” Jawab Afiksi sambil terkejut setelah mendengar suara seorang laki-laki menyapanya.

“Bunga indah bukan karena warnanya. Namun keharuman dan kesejukanlah yang membuat berbeda dengan benda lain yang memiliki warna yang sama dengan warna bunga-bunga itu”

Afiksi terdiam. Ia seolah mengenali suara itu. Suara yang begitu akrab ditelinganya. Suara yang selama ini menemaninya. Suara yang begitu menentramkan hatinya.

“Andra, apakah itu kamu?” Tanya Afiksi.

Pria itu hanya terdiam. Ia tak ingin membuat Afiksi kecewa karena mengetahui bahwa dirinya bukanlah Andra.

“Aku pergi dulu” Jawab Pria itu.

Kemudian Pria itu langsung pergi meninggalkan Afiksi sendiri di taman bunga itu. Ia menyadari kepergian pria itu. Namun Ia tak mampu menghalangi kepergiannya, karena Afiksi masih tersentak dengan suara itu. Ia berusaha mengingat kembali suara siapakah itu. Suara itu sangatlah mirip dengan suara Andra.

Pria itulah yang membawa Andra dan Afiksi ke rumah sakit. Ia baru saja datang dari luar kota. Saat dalam perjalanan ia melihat kejadian kecelakaan itu. Setelah mengetahui bahwa korbannya adalah Afiksi, ia langsung membawa Andra dan Afiksi kerumah sakit.

Ia juga menghadiri pemakaman Andra. Disana ia bersama Ibu Afiksi yang kemudian mengenalkannya pada Rama. Dan Rama lah yang menceritakan semua hal tentang Andra dan Afiksi.

“Jadi kau kekasih pertama yang diceritakan oleh Afiksi itu?” Kata Rama.

“Ya, nama q Gara. Gara Zulian” Jawab Pria itu.

Gara, wajahnya tak terlalu mirip dengan Andra. Namun, bagi orang yang mengenal dekat keduanya, tentu akan mengatakan bahwa keduanya sangatlah mirip. Caranya berbicara, tersenyum, tatap matanya, dan caranya bersikap sangatlah mirip dengan Andra. Dan hal itulah yang membuat Afiksi jatuh cinta pada Andra.

Meski tak diakuinya, namun kemiripan Andra dengan Gara telah membuat Afiksi jatuh cinta padanya.

Selama ini Andra harus tinggal di kota yang berbeda. Ia adalah keturunan darah biru. Karena itu, ia telah dijodohkan sejak ia masih kecil oleh kedua orang tuanya. Tak ingin Afiksi kecewa, ia pun pergi meninggalkan Afiksi tanpa sepengetahuan Afiksi.

Namun kini ia telah kembali. Wanita yang dijodohkan padanya ternyata juga mencintai orang lain. Karena itu, kedua keluarga itu sepakat untuk membatalkan perjodohan itu. Untuk itu, Gara datang ke kota tempat tinggal Afiksi. Ia berharap bisa kembali melihat cintanya yang sempat tertutup kabut.

“Aku banyak mendengar tentang kau dari Afiksi dan ibunya. Setelah kepergianmu, karena adanya Andra Afiksi telah berhasil melupakanmu. Dan sekarang, baginya Andra adalah orang yang jauh lebih penting dari pada kamu. Aku yakin kamu mengerti maksudku” Terang Rama.

“Tentu saja. Aku datang kesini untuk menebus kesalahanku pada Afiksi di masa lalu. Aku tak akan lagi membuatnya meneteskan air matanya lagi” Kata Gara.

Deru angin mengiringi langkah kaki pengantar jenazah meninggalkan tempat pemakaman Andra. Tetes-tetes air mata kian menjauh dari tempat Andra berbaring untuk selamanya. Taburan bunga diatas gundukan tanah itu menjadi pemberian terakhir dari orang-orang yang begitu menyayangi Andra.

Namun, bagi seseorang Andra masih ada di hatinya. Baginya Andra tak pernah mati. Tidak hanya sebagai kata-kata indah, namun karena ia memang tak pernah mengetahui bahwa orang yang penting dalam hidupnya telah tiada.

Afiksi, kini hanya menjadi seorang gadis buta yang duduk dikursi roda. Tatapan mata indahnya kini hanya terbalut perban putih. Senyum manis kini hanya sedikit saja menghiasi bibir merah mudanya. Dan kata-kata lembutnya kini jarang terdengar karena Andra yang selama ini menjadi teman hidupnya harus digantikan oleh tongkat hitam yang selalu disisinya. Meski ia tak pernah tahu bahwa Andra tak akan pernah kembali untuk menemuinya.

Suatu hari ia pernah datang ke sekolah untuk memberikannya izin tak mengikuti kegiatan belajar mengajar hingga ia sembuh dari kebutaanya. Namun seolah kehadirannya tak diharapkan oleh teman-temannya. Beberapa Siswi seakan menyalahkan Afiksi atas kecelakaan yang menimpa Afiksi dan Andra. Sedangkan siswa-siswa yang dahulu begitu memujanya, kini hanya memandang rendah dirinya.

Perban putih tak hanya menutupi matanya, namun kecantikannya juga tertutup seiring kebutaan itu. Keterbatasan melihat juga membuatnya sulit untuk kembali bersosialisasi dengan siswa-siswi di SMA itu. Ia merasa kecewa karena siswa-siswi itu mau berteman hanya karena kecantikannya.

Namun semua itu berbeda dengan Nita, Rama, Rio, Nopri, Widya dan Tiara tetap setia bersahabat dengannya. Bagi mereka persahabatan bukanlah mengenai raga, namun ikatan jiwa lah yang menjalin persahabatan.

BAB V

K

ini siang telah berganti malam. Terik matahari berganti hangatnya rembulan. Sinar terang berganti kelam. Mekar bunga menjadi layu.

Raungan sepeda motor Andra memecah kesunyian. Hingga suara itu terhenti seiring sampainya ia di depan pagar warna merah sebuah rumah megah. Sejenak ia berfikir apakah benar ini rumah yang ia tuju. Rumah yang telah mengundangnya makan malam. Dalam lamunannya ia terkejut saat suara lantang seorang pria berbadan tegap memanggilnya yang ternyata adalah satpam penjaga rumah itu.

“Kamu mau cari siapa?” Tanya satpam itu.

“Echm..itu..s.s.saya ingin bertemu dengan Afiksi” Jawabnya gugup.

“Och. Nona Afiksi sudah menunggu dilantai dua. Silahkan masuk” Kata satpam itu lagi.

Andra masuk dan memarkirkan sepeda motor kesayangannya didekat pos satpam. Ia berjalan melihat suasana sekelilingnya. Ia tetap berfikir benarkah Afiksi tinggal di rumah semegah ini. Afiksi yang ia kenal di sekolah adalah seorang yang sederhana, penampilannya memang rapi dan menarik tapi sedikitpun tak menunjukkan kemewahannya, bahkan sikapnya yang mau berteman dengan siapa saja benar-benar tak menunjukkan sikap seorang hartawan yang biasanya sedikit sombong.

Ia berjalan menaiki tangga marmer putih yang cemerlang itu. Bahkan ia bisa melihat wajahnya yang terlihat gugup tercermin dilantai itu. Di antara tangga itu berdiri sepasang guci keramik besar. Dan sebuah televisi layar datar besar terpajang diruang tamu itu dengan berbagai lukisan abstrak yang menghiasi sekeliling dinding ruangan itu. Namun satu hal yang ia merasa aneh. Di rumah sebesar dan semegah itu tapi tak ada seorangpun yang ia temui selain satpam yang bertugas menjaga gerbang rumah tadi.

Kini ia sampai di lantai kedua. Disana telah menunggu seorang wanita dengan gaun putih yang tengah berdiri didekat jendela melihat indahnya bintang yang bertabur malam itu. Sejenak Andra berhenti menatap wanita cantik itu sambil memuji kecantikannya malam itu.

“Selamat malam, Afiksi. Maaf jika aku terlambat.” Tegurnya lembut.

“Selamat malam, Andra. Kamu datang lebih awal. Sekarang baru jam 18.55, lima menit lebih awal dari perjanjian kita” Kata Afiksi membalikkan tubuhnya.

“Aku berusaha agar kau tidak kecewa” Kata Afiksi.

Keduanya duduk di sebuah meja makan yang tak cukup besar. Di meja bundar itu telah terhidang berbagai makanan yang terlihat masih hangat dan beberapa minuman yang tidak terlalu dingin. Suasana malam yang dingin dihangatkan oleh lilin yang tersusun rapi malam itu.

“Afiksi, aku ingin menjelaskan padamu tentang surat itu” Kata Andra.

“Tentang itu aku sudah tahu. Rama sudah menjelaskannya padaku” Kata Afiksi.

“Aku minta maaf sudah membuatmu...........” Kata Andra.

“Kau tidak salah apa-apa” Potong Afiksi.

“Surat itu memang bukan dariku, tapi isi surat itu cukup mewakili perasaanku” Kata Andra.

Keduanya tertegun. Andra tak menyangka mampu mengatakan hal itu di hadapan Afiksi. Sedangkan Afiksi sedikit tersipu mendengar kata-kata Andra. Kemudian keduanya mulai menyantap makan malam yang telah dihidangkan.

“Afiksi, aku tidak melihat orang lain dirumah ini selain kau dan satpam didepan rumahmu itu” Kata Andra.

“Ayahku sudah meninggal sejak aku berusia 5 tahun. Untuk mencukupi keperluan kami, Ibuku bekerja siang malam. Meski aku rasa semuanya ini lebih dari cukup. Namun ibu tetap tak mau berhenti bekerja. Ia pulang satu bulan sekali pun sudah cukup bagus. Aku tahu Ibu sangat sayang padaku. Untuk itu ia bekerja tanpa kenal lelah untukku” Cerita Afiksi.

“Apakah kau merasa sedih dengan semua ini?” Tanya Andra.

“Aku sudah tidak lagi mengetahui arti kesedihan. Selama satu tahun sejak Ayahku meninggal, setiap hari aku menangis diruang kerja ayahku. Dan ibuku hampir bunuh diri akibat melihat tingkahku yang tak mau berhenti menangis. Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak akan menangis lagi demi ibuku” Jelas Afiksi.

“Aku tak menyangka bahwa kehidupan Afiksi tak seindah taman bunga di halaman rumahnya. Ternyata ini apa yang dikatakan oleh Rama” Ucap Andra dalam hatinya.

Keduanya menyudahi makan malam mereka. Andra beranjak menuju Afiksi yang juga telah berdiri didekat jendela. Dirangkulnya tubuh Afiksi, memberikan sedikit ketenangan bagi Afiski. Afiksipun menyambut pelukan penuh kehangatan itu. Keduanya berdansa diiringi lagu klasik yang menemani mereka sejak Andra datang kerumah itu.

Detik-detik jam mengantarkan mereka pada kian larutnya malam itu. Kecupan manis dari bibir tipis Afiksi mendarat pada bibir Andra. keduanya larut dalam kemesraan malam itu. Alunan musik yang mendayu tak bisa menyadarkan mereka pada apa yang sedang mereka perbuat. Perlahan Andra lepaskan ikatan tali pengikat pinggang pada gaun Afiksi. Lalu diturunkannya gaun yang dikenakan oleh Afiksi hingga terjatuh ke lantai. Terlihat jelaslah tubuh seksi Afiksi yang hanya terbalut dua helai pakaian tipis. Afiksi seolah tak berdaya dengan apa yang dilakukan oleh Andra. Ia terlalu hanyut dengan kecupan mesra Andra yang telah menggerayangi sekitar lehernya.

Hingga akhirnya Afiksi menarik Andra menuju sebuah sofa mewah diruangan itu. Perlahan helaian kain tipis yang menyelimuti tubuh Afiksipun mulai dilepaskannya. Namun tiba-tiba Andra terkejut dan langsung berdiri dari sofa itu. Ia baru tersadar dengan apa yang tengah mereka perbuat. Tak seharusnya mereka melakukan hal itu. Selain usia mereka yang masih terlalu mudah, tentu saja alasan bahwa mereka bukanlah muhrim mengharamkan mereka untuk melakukan hubungan yang lebih intim tersebut.

“Afiksi, aku minta maaf padamu. Tak seharusnya aku lakukan ini padamu” Kata Andra penuh penyesalan.

“Benar, tak seharusnya kita melakukan hal ini. Kita terlalu terhanyut oleh suasana, sehingga kita tak menyadari apa yang telah kita lakukan” Kata Afiski.

Kini Afiksi kembali mengenakan pakaiannya yang telah terjauth ke lantai setelah sempat dilepaskan oleh Andra. Dalam hatinya ia bergumam bahwa ternyata Andra memang berbeda dengan laki-laki lainnya. Jika laki-laki lain tentu tak akan pernah melewatkan hal ini, baik dalam keadaan sadar maupun tidak sadar. Sedangkan Andra dalam posisi puncakpun ia mampu tersadar terhadap apa yang ia perbuat.

“Afiksi, sebaiknya aku pulang saja. Aku tak ingin hal yang lebih buruk terjadi” ucap Andra.

Afiksipun hanya mengangguk setuju. Ia pun tak mau awal keakraban keduanya ternodai oleh hal yang tidak diharapkan. Dentingan jam sebanyak sebelas kali mengantarkan langkah Andra menuju kendaraanya yang terparkir didekat taman bunga. Suara deru mesin kendaraan beriring senyum mengakhiri pertemuan mereka malam itu. Andra segera memacu kendaraannya keluar dari gerbang rumah megah itu. Lima puluh meter dari rumah itu, dilintasinya sebuah mobil yang terparkir tanpa seorangpun didalamnya. Namun Andra tak menaruh curiga pada mobil itu. Ia tetap saja memacu kendaraannya dengan beberapa pemikiran menggelayut diotaknya. Rasa sesal, takut, dan bingung menghantui perasaanya.

Dari mobil kijang warna hitam itu, terlihat seorang pria duduk di bangku kemudi. Pria yang ternyata adalah Rama sengaja bersembunyi ketika Andra melintasi tempat itu. Ternyata Rama telah berada ditempat itu sejak Andra datang kerumah Afiksi. Dari tempat itu ia dapat melihat melalui kejauhan ruangan pesta makan malam di rumah Afiksi. Meski samar-samar ia terus mengintai aktifitas kedua insan itu.

Raut penyesalan dan kekesalan terpancar diwajahnya. Seorang laki-laki datang kerumah wanita, dan jam sebelas malam baru keluar. Pemikiran-pemikiran itulah yang kini menghampirinya. Sedikitnya ia dapat mengira apa yang dilakukan oleh kedua teman dekatnya itu. Bahkan beberapa adegan dansa dan kemesraan mereka dapat ia lihat secara samar-samar dari tempatnya. Namun ia sengaja tak mencegah ataupun menghampiri keduanya. Ia berharap agar kedua temannya mampu menyadari perbuatan mereka.

“Andra, semoga kau tak membuat air mata Afiksi kembali mengalir” Ucap Rama pelan dengan setetes airmata menetes membasahi jok mobilnya.

Meski ia dicap sebagai seorang playboy sekolah, namun ia sangat menghormati harga diri wanita. Ditambah lagi, ia telah mengetahui semua hal tentang Afiksi. Hal yang membuat ia sangat bersimpati, hal yang membuat ia merasa iba, hal yang membuat ia bertekad untuk menjaga Afiksi hingga ia tak mampu lagi melakukannya.

Sebuah masalah besar mengintai Andra dan Afiksi. Meski kesucian Afiksi tak sempat terambil oleh Andra, namun kejadian itu tentulah mempunyai pengaruh terhadap hubungan mereka dihari-hari berikutnya. Akankah kejadian itu mempu mengeratkan keakraban diantara keduanya. Ataukah Andra yang memiliki sikap bertanggung jawab justru meninggalkan Afiksi?

Usai sekolah, Andra dan Afiksi bertemu di depan gerbang sekolah. Mereka tak lagi terlihat canggung berjalan bersama. Teman-temannya pun berpikir positif terhadap kedekatan mereka berdua. Karena merekapun mengharapkan kedekatan Andra dan Afiksi sedari dulu. Rama yang pulang bersama Indah hanya melontarkan senyum ketika berpapasan dengan Andra dan Afiksi.

Hari itu adalah semi final pertandingan basket. Andra kembali harus datang terlambat, karena dia harus menjemput Afiksi terlebih dahulu. Namun keterlambatan bahkan ketidakhadiran Andra tak hanya disebabkan karena ia menjemput Afiksi. Dua buah motor terus mengikuti kendaraan Andra sejak ia menjemput Afiksi. Hingga akhirnya kendaraan itu menabrak kendaraan Andra. Andra dan Afiksipun terjatuh dan menderita luka yang cukup parah.

Rama dan kawan-kawan segera menuju kerumah sakit. Meski seharusnya mereka menghadiri acara pemberian penghargaan juara turnamen, namun hal itu tidak mereka hadiri setelah mengetahui kecelakaan menimpa Afiksi dan Andra.

Sesampai dirumah sakit, semuanya terlihat panik didepan ruang ICU. Mereka semua hanya bisa berdoa semoga Andra dan Afiksi bisa selamat dari kecelakaan itu. Kehisterisan semakin menjadi ketika dokter keluar dari ruang ICU.

“Benturan keras di kepala Afiksi mengakibatkannya mengalami kebutaan” jelas Dokter.

“Lalu bagaimana dengan Andra?” tanya Rio.

“Maafkan kami, Andra tidak bisa kami selamatkan” Tambah Dokter.

Semua yang ada disana terperanjat. Bibir mereka bergetar namun tak dapat mengucapkan satu katapun. Beberapa wanita yang hadir disana hanya bisa menangisi kepergian teman terbaiknya itu.

Bersambung........................

BAB IV

I

nilah hari yang penting bagi tim basket SMA Negeri Musi Rawas. Hari ini adalah pertandingan perdana bagi tim itu untuk tingkat Provinsi. Beberapa kemenangan pada tingkat kabupaten/kota pernah mereka dapatkan, namun untuk kemenangan tingkat provinsi akan ditentukan pada turnament kali ini.

Semua anggota tim telah berkumpul diruang ganti untuk menentukan strategi yang akan mereka gunakan pada pertandingan itu. Andra yang terlambat datang digantikan oleh Rama yang merupakan wakil ketua tim basket putra. Berbagai taktik pertandingan dibahas serius oleh semuanya. Sifat playboy Rama tak pernah terlihat ketika ia tengah membahas tentang pertandingan basket. Hanya basketlah yang bisa membuat Rama terlihat serius.

Matahari yang kian condomg ke barat namun sinarnya tetaplah terik. Semua anggota tim tak lagi berada diruang ganti. Semuanya kini telah berkumpul dilapangan untuk mengadakan pemanasan. Namun hingga kini Andra masih belum datang. Rio berusaha menghubungi Andra, namun handphonenya tak dapat dihubungi.

“Kemenangan kita tidak ditentukan oleh datang atau tidaknya Andra. Kita semua adalah pemain, bukan penonton. Jadi, apapun yang terjadi, kita harus tetap bermain dan menang” Ucap Rama.

Kata-kata Rama sangatlah berarti untuk membangkitkan kepercayaan diri teman-temannya yang lain. Mereka yakin, dibawah komando Ramapun telah cukup untuk mengantarkan mereka memenangkan pertandngan. Berbagai kemenangan membuat mereka tak punya alasan untuk takut terhadap lawan mereka.

Lengkingan fluit wasit berbunyi memerintahkan semua pemain untuk segera berkumpul di tengah lapangan. Sorak sorai pendukung kedua tim memeriahkan pertandingan itu. Disalah satu bangku penonton Afiksi duduk menyaksikan pertandingan hari itu ditemani Widya dan Tiara. Widya dan Tiara yang juga anggota tim basket putri tak mau melewatkan pertandingan itu. Sepanjang pertandingan, merekalah yang paling semangat memberikan dukungan.

Quarter pertama berlangsung seru. Tim SMA Negeri Musi Rawas memimpin perolehan poin. Kini kedua tim tengah beristirahat. Dan saat itulah Andra datang. Terlihat warna biru menghiasi wajahnya. Dan sedikit noda darah mengotori pakaiannya.

“Apa yang terjadi denganmu, An?” Tanya Rama.

“Saat perjalanan ketempat ini, aku diserang oleh beberapa orang” Jelas Andra.

“Kau tahu siapa orang-orang itu? Tanya Rio.

“Sepertinya mereka suruhan dari SMA yang menjadi lawan kita saat ini. Aku mencurigainya karena sejak awal mereka sangat ingin mematahkan kakiku. untungnya teman-teman kita yang sedang menuju kesini untuk menonton pertandingan membantuku” Jelas Andra.

“Kita akan balas mereka” Timpal Rama.

“Tidak perlu, aku tidak apa-apa. Jika kita membalas, maka kita akan didisfikualifikasi. Kita balas mereka dengan cukup memenangkan pertandingan ini saja” Andra Menenangkan.

Dari kejauhan Afiksi melihat hal itu. Ia khawatir akan keselamatan Andra. Namun kekhawatiran itu hanya bisa dipendamnya. Karena ia tahu bahwa Andra bukanlah siapa-siapa baginya. Ia hanya bisa tertunduk berdoa semoga Andra tidak apa-apa.

Kini Andra telah ikut bermain. Meskipun dalam keadaan terluka tak mengurangi kehebatan Andra dalam bermain. Pertandingan berakhir dengan kemenangan bagi SMA Negeri Musi Rawas. Siswa-siswi yang menyaksikan pertandingan itu bersorak gembira. Sedangkan lawan mereka keluar lapangan dengan wajah tertunduk.

Di ruang ganti, mereka kembali membahas kejadian yang menimpa Andra. Namun, Andra kembali bisa menenangkan teman-temannya. Kepuasan memenangkan pertandingan hari itu sedikit mengobati luka yang dirasakan oleh Andra.

Afiksi berdiri tersandar didepan ruang ganti. sengaja ia menunggu disana untuk menemui Andra. Kekhawatirannya terhadap Andra masih belum hilang. Setidaknya ia hanya ingin melihat keadaan Andra dari dekat.

Andra keluar ruangan dengan handuk putih dilehernya. Dilihatnya Afiksi yang tengah memandang taman bunga. Perlahan ia dekati Afiksi dan menegurnya dengan lembut.

“Sedang apa kamu disini?” Tanya Andra.

“Apa kamu baik-baik saja? Aku lihat tadi kamu terluka.” Tanya Afiksi Gugup.

“Aku tidak apa-apa”Jawab Andra.

“Echm.. Aku pulang dulu” Kata Afiksi yang langsung pergi meninggalkan tempat itu.

“Afikis” Panggil Andra.

Afiksi sejenak berhenti tanpa membalikkan tubuhnya.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu” Tambah Andra.

Afiksi berbalik dan memberikan senyumannya kemudian langsung pergi tanpa mengucapkan sesuatupun. Entah apa makna senyum Afiksi itu. Andrapun pulang dengan perasaan yang cukup lega. Karena hari ini ia telah memenangkan dan juga karena ia berhasil berbicara empat mata dengan Afiksi untuk pertama kalinya. Ya, meskipun mereka telah lama berada dalam satu sekolah bahkan satu kelas, namun tak sekalipun mereka bertegur sapa dan berbincang seperti tadi.

Esok paginya, Andra dan Afiksi tak sengaja bertemu di perpustakaan. Andra tak lagi merasa canggung berbicara pada Afiksi. Dengan sifat pemalunya, Afiksi menanggapi pembicaraan itu.

“Maaf, kemarin aku langsung pergi meninggalkanmu” Kata Afiksi.

“Tidak apa-apa. Tapi kenapa kau disana sendirian kemarin?” Tanya Andra.

“Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kemenagan kalian” Jawab Afiksi sambil tertunduk.

“Kemarin kau ingin mengatakan sesuatu?” Lanjut Afiksi.

“Aku ingin menjelaskan tentang.........” Kata Andra

Treeeeeeeeeeeetttttttttt........Treeeeeeeeeeeeeeettttttttt.....

Pembicaraan itu tiba-tiba terputus oleh lengkingan bunyi bel masuk.

“Bel masuk sudah berbunyi. Aku kekelas duluan ya” Kata Afiksi.

Afiksi berdiri dan langsung meninggalkan tempat itu. Sepertinya ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh Andra. Ia terlihat sengaja menghindari pembicaraan itu.

Detak jantung Andra yang keras masih terdengar. Ia sangat gugup untuk menjelaskan tentang surat itu pada Afiksi. Ia takut Afiksi akan berfikir buruk tentang dirinya.

Andra berdiri untuk meninggalkan perpustakaan itu. Saat ia berjalan keluar ruangan itu, handphonenya berbunyi. dibukanya sms dari nomor yang baru masuk dihandphonenya itu.

Aku undang kamu makan malam...

Aku tunggu jam 7 dirumahku..

Afiksi..

Isi sms itu sontak membuat Andra gugup. Diulangnya berkali-kali membaca sms itu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa sms itu benar-benar dari Afiksi untuknya.

Kemudian ia meneruskan langkahnya menuju ruang kelas. Siswa dan siswi lainnya telah berada didalam kelas. Memasuki ruang kelas pandangan Andra tertuju pada tempat duduk paling belakang yang menjadi singgasana bagi Afiksi. Afiksi tersenyum kemudian tertunduk malu seolah menandakan isi sms itu benar-benar darinya. Andrapun membalas senyuman itu untuk meyakinkan bahwa ia pasti datang memenuhi undangan itu. Andra melangkahkan kaki menuju tempat duduknya.

Sepulang sekolah, Andra dan tim basketnya kembali melanjutkan pertandingan. Namun Andra tak dapat bermain baik sore itu. Justru Rama yang banyak mencetak poin sehingga menghantarkan timnya kembali memenangkan pertandingan.

“Ada apa denganmu, An?” Tanya Rama.

“Entahlah, aku sulit berkonsentrasi” Jawab andra.

“Saat dilapangan, lupakan semua masalah pribadi, An. Yang ada hanyalah memasukkan bola ke dalam ring” Rama menasehati.

Andra terus memikirkan undangan makan malam dari Afiksi. Ia bingung harus bersikap bagaimana nanti malam. Apa yang harus dikatakannya. Apa yang ingin dibahas oleh Afiksi malam nanti. Dan hal yang cukup penting adalah dia belum tahu dimana rumah Afiksi.

“Rama, kau tahu rumah Afiksi?” Tanya Andra.

“Ya aku tahu. Ada perlu apa?” Kata Rama.

“Aku hanya ingin tahu saja. Tolong kau tuliskan di hp ku ini” Kata Andra.

Kini Andra telah mendapatkan alamat rumah Afiksi. Lalu bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Akankah malam ini akan menjadi awal jalinan hubungan Andra dan Afiksi. Dan bagaimanakah Andra akan menjelaskan tentang surat itu pada Afiksi?

Tunggu ya kelanjutannya....

BAB III

S

iang itu hari cukup cerah untuk sedikit melakukan refreshing. Andra, Nopri, Rio, Rama dan beberapa temannya yang tergabung dalam tim basket hari itu memutuskan untuk pergi ke Wisata Air Terjun. Di sana mereka bisa membuat diri mereka relaks sebelum menghadapi pertandingan basket antar sekolah yang akan berlangsung dua hari lagi. Suasana yang sejuk, merdunya suara air terjun, dan sayup-sayup terdengar kicauan burung ditengah-tengah sawah dengan padi yang menguning membuat mereka merasa enjoy berada disana.

Semuanya segera melepaskan tas yang mereka bawa dan langsung menuju kebawah air terjun. Nopri dan beberapa orang lainnya memutuskan untuk berfoto-foto di dekat air terjun. Sedangkan Rio dan tiga orang lainnya lebih memilih berkenalan dengan beberapa wanita yang kebetulan juga tengah berada disana. Namun berbeda dengan Rama dan Andra, disaat teman-temannya menikmati segarnya udara dari alam yang hijau, mereka justru terlibat pembicaraan yang cukup penting.

“Andra, aku mau bicara sesuatu denganmu” ajak Rama.

“Bicara tentang apa? Sepertinya serius sekali” Jawab Andra.

“Aku mau bahas tentang hubunganmu dengan Afiksi” Terang Rama.

“Ada apa antara aku dengan Afiksi?” Andra bingung.

“Jangan pura-pura tidak tahu. Aku dengar diam-diam kau sedang mendekati Afiksi. Dan aku juga tahu kau pernah mengirimkan surat teAku ingin minta konfirmasi darimu langsung”

“Aku tidak perlu mengkonfirmasi apapun. Karena aku memang tidak melakukan apapun terhadap Afiksi. Dan tentang surat itu, aku tidak mengerti apapun” Terang Andra.

“Andra, aku ingin kau tahu satu hal. Aku sangat mengagumi Afiksi, bukan hanya karena dia cantik. Tapi aku juga kagum tentang kepribadian dan latar belakangnya. Sejak dia pertama kali aku bertemu dia aku langsung mencari tahu siapa dia sebenarnya. Jadi, jika kau berani mempermainkannya, kau akan berhadapan denganku” Ancam Rama.

“Lalu bagaimana dengan Nita?” Tanya Andra.

“Aku mencintai Nita. Tapi aku tetap memiliki ruang khusus di hatiku untuk Afiksi. Nita adalah Nyawaku dan Afiksi adalah hidupku”

Suasana sekitar begitu dingin oleh percikan air, namun tidak bagi kedua laki-laki itu. Disaat teman-teman mereka yang lain bercanda ria bermain dengan jernihnya air, namun Andra dan Rama terlibat pembicaraan yang panas. Diam-diam Rama mengikuti Afiksi pulang kerumahnya. Bukan untuk berbuat hal yang diluar kewajaran, namun hanya untuk mengetahui bagaimana kehidupan Afiksi diluar jam sekolah. Karena memang sikap pendiam Afiksi membuat siswa-siswi belum ada yang mengetahui latar belakang Afiksi selain Tiara, Widya, dan Rama.

Hari beranjak sore, Andra dan teman-temannya bersiap untuk pulang. Mereka merasakan kepuasan tersendiri pada hari itu. Meski Wisata itu berada di kota tempat tinggal mereka, namun saat berkumpul bersama seperti hari itu memang hal yang jarang mereka lakukan.

“Andra, ingatlah kata-kataku tadi” Ucap Rama.

Andra hanya tersenyum berusaha meyakinkan Rama. Kemudian Rama segera memacu Tiger merahnya meninggalkan teman-temannya yang masih sibuk mengeluarkan sepeda motor dari parkiran.

“Andra, malam ini aku dan Rio menginap di rumah kamu ya” kata Nopri.

“Boleh, tapi malam ini kamu yang beli makanan ya” Jawab Andra berusaha menghangatkan suasana.

“Beres, kan Rio baru gajian” Tambah Nopri.

“Loh, kenapa aku yang jadi tumbal” Elak Rio.

“Hayolah, kapan lagi mau traktir kami?” Bujuk Nopri.

“Ya sudah, baiklah” Kata Rio.

Cahaya jingga matahari senja kian menghitam. Suara gemuruh mesin kendaraan lama-kelamaan meredam seiring memekiknya suara Adzan. Andra, Nopri dan Rio telah sampai di rumah. Sejenak mereka menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadah shalat maghrib. Meskipun, masih muda dan sedikit terpengaruh perkembangan zaman, mereka tetap menjalankan ibadah yang menjadi kewajiban mereka sebagai seorang muslim. Bagi mereka, ibadah tak hanya sekedar ritual kerohanian semata. Namun juga berdampak pada psikologis dan psikis mereka.

“Andra, aku lihat tadi kau berbicara hal yang penting dengan Rama” Tanya Rio.

“Iya benar, kami yakin yang kalian bicarakan bukan tentang tak-tik yang akan kita gunakan pada pertandingan nanti” Tambah Nopri.

“Rama tadi menanyakan tentang kedekatanku dengan Afiksi. Ia mengira aku diam-diam mendekati Afiksi. Tapi yang membuat aku bingung adalah tentang surat yang dikatakan oleh Rama. Padahal aku tak pernah mengirim surat pada Afiksi” Jelas Andra.

“Oh, jadi Afiksi sudah membaca surat itu” Kata Rio.

“Bagaimana kalian bisa mengetahui tentang surat itu? Atau jangan-jangan...” Andra bingung.

“Sebelumnya kami mohon maaf padamu. Memang kami yang mengirimkan surat itu pada Afiksi” Kata Nopri.

“Wah! Kalian benar-benar kelewatan. Aku gak ngerti apa tujuan kalian melakukan itu. Yang pasti karena ulah kalian itu, sekarang aku jadi menghadapi masalah yang sulit” Andra terlihat marah.

“An, kita bersahabat sudah lama. Sejak kau putus dari Fitria, kau terlihat putus asa dengan cinta. Kami juga tahu, waktu kau melihat Afiksi wajahnya membuatmu teringat dengan Fitria” Nopri menenangkan.

“Tapi, tetap saja bukan begitu caranya. Ditambah lagi kalian tidak memberitahuku sebelumnya” Kata Andra.

“Awalnya kami hanya iseng saja memberikan surat itu pada Afiksi. Kami tidak mengira bahwa Afiksi akan bereaksi positif terhadap surat itu” Kata Rio.

“Kamu gak bisa terus-terusan menyalahkan dirimu, An. Afiksi juga suka sama kamu. Kami yakin Afiksi akan bisa mengobati hatimu yang luka setelah meninggalnya Fitria” Tambah Nopri.

“Ku akui dia memang sangat mirip dengan Fitria. Tapi tak ada yang bisa menggantikan posisinya dihatiku” Kata Andra.

Malam kian larut. Suara kendaraan yang melintasi rumah pagar hijau itupun tak lagi terdengar. Suara burung hantu yang sedikit membuat bulu kuduk berdiri menemani malam yang dingin itu. Nopri dan Rio pun tertidur setelah perbincangan mereka malam itu berakhir. Sedangakan Andra kini tengah sibuk membuka Blognya di internet. Dinginya malam itu tak mampu untuk menutup matanya, apalagi untuk membuat pikirannya bebas dari kata-kata Rama siang tadi.

Di Blog itulah Andra tumpahkan semua hal tentangnya, tentang kisah cintanya, tentang persahabatannya, termasuk juga tentang Fitria. Tertulis disana bahwa Fitria adalah teman Andra sejak kecil dan menjadi kekasih pertamanya pada saat keduanya masuk SMA. Namun, hari itupun tiba. Hari dimana keduanya tengah berada di salah satu Bank daerah. Kemudian datang sekelompok perampok bersenjata yang menggunakan Fitria sebagai sandera. Perampok itu memang berhasil ditangkap. Namun, Fitria yang mengalami luka tusuk akibat melakukan perlawanan terhadap perampok itu, meninggal karena kehabisan darah.

Andra mengalami pukulan yang sangat berat sejak kejadian itu. Satu bulan ia tidak bersekolah karena stres. Ia mengaggap bahwa meninggalnya Fitria adalah kesalahannya. Seandainya saja ia tidak mengajak Fitria pada hari itu, tentu kejadian itu tidak akan terjadi. Namun sahabat-sahabatnya, Nopri dan Rio yang selalu memberikan semangat padanya juga keluarga Fitria yang tak pernah menyalahkannya atas kejadian itu.

Dan kini, datanglah Afiksi yang hari kedatangannya adalah tepat satu tahun meninggalnya Fitria. Wajah Afiksi, senyumnya, keramahannya, sinar matanya bahkan suara lembutnya benar-benar mengingatkan Andra pada Fitria. Namun semua itu tetap disimpannya dalam hati. Ia tak mengungkapkannya karena ia tak ingin mengenang kembali kisah pahitnya itu.

BAB II

E

mpat Minggu sudah Afiksi bersekolah di SMA Negeri Musi Rawas. Sedikit pengalaman baru telah ia terima, berbagai ilmu baru telah ia pelajari, dan lingkungan baru yang lebih sejuk dibandingkan kota tempat tinggalnya yang lalu. Banyak orang yang telah ia kenal, dan tak sedikit pula siswa-siswa yang bermaksud untuk mendekatinya, lebih dekat dari seorang teman. Ya, walaupun baru satu bulan ia bersekolah disana, namun pesonanya telah menyinari hati siswa-siswa sejak pandangan pertama.

Treeeeeeeeeeeetttttttttt........Treeeeeeeeeeeeeeettttttttt.....

Bunyi bel sekolah membuat ramai suasana ditiap kelas, Tak terkecuali kelas XI IPA 2. Lengkingan bel istirahat itu mengisyaratkan semua siswa-siswi untuk segera keluar kelas, menuju tempat yang selalu ramai ketika jam istirahat tiba, kantin. Afiksi bersama Widya dan Tiara, teman yang duduk di depannya pun tak menyia-nyiakan waktu istirahat ini. Mereka pergi ke kantin, setidaknya untuk melepaskan dahaga selama pelajaran Fisika yang memang sedikit menyita tenaga dan pikiran.

“Hai Afiksi???” Sapa seseorang yang tiba-tiba duduk di samping Afiksi.

“Ech, Hai Rama.” Jawab Afiksi sedikit terkejut.

“Pulang nanti aku antar ya!?” tawar Rama.

“Aku tak mau merepotkanmu, apalagi nanti kamu kan harus mengantar Nita pulang” Jawab Afiksi.

“Kok jadi bahas tentang dia sih? Aku dengan dia tuch gak ada apa-apa, dia emang suka ama aku, tapi aku tak memperdulikannya” Sanggah Rama.

“Iya nih Rama, pacar sudah segudang juga, masih mau aja deketin cewek lain, ntar aku bilangain Indah loh” Ujar Widya yang tiba-tiba ikut mengobrol.

Rama adalah salah satu dari banyak siswa yang terus berusaha mendekati Afiksi. Berbagai cara dilakukan oleh siswa-siswa selama 1 bulan ini untuk mendapatkan hati Afiksi. Ada yang memberikan puisi setiap pagi, menyelipkan bunga dimeja Afiksi, membentuk kelompok belajar bersama Afiksi, hingga yang langsung mendekatinya seperti Rama, sang Playboy Sekolah putra anggota DPRD.

Rasanya memang tak aneh jika siswa-siswa itu rela meninggalkan pacar-pacar mereka demi mendapatkan hati Afiksi. Afiksi adalah wanita yang cantik, baik, cerdas, dan menarik. Setidaknya begitu pendapat mereka tentang Afiksi.

Namun, ada seseorang yang membuat Afiksi merasa kagum. Andra, Ketu Kelas yang juga seorang Ketua OSIS di SMA itu. Seorang yang cerdas, juga memiliki penampilan yang sangat jauh lebih menarik jika dibandingkan dengan Rama. Keahliannya bermain basket juga telah membuat banyak siswi bergabung dalam Tim Basket. Bukan hanya untuk belajar bermain basket, tapi juga berusaha untuk selalu dekat dengannya.

Sejauh ini memang Andra lah yang tak ingin ikut dalam aktivitas teman-temannya untuk mendapatkan Afiksi. Mungkin kesibukan telah menguras banyak waktunya, sehingga ia tak punya lagi waktu untuk memikirkan tentang Afiksi. Sekarangpun Andra bersama Nofri dan Rio sibuk menyiapkan proposal pelaksanaan lomba antar kelas untuk diajukan ke Kepala Sekolah.

“Andra, kamu tahu kan Afiksi, siswi baru dikelasmu itu?” tanya Rio.

“Ya, aku tahu. Kenapa?” Jawab Andra.

“Wah! Dia itu cewek tercantik yang pernah aku lihat. Kalo Sandra Dewi sih, masih belum apa-apa” Puji Rio.

“Bener tuh, Aku juga sependapat sama Rio. Kamu punya Nomor Hapenya gak, An?” Sambung Nofri.

“Gak ada tuch” Jawab Andra singkat.

“Kamu kelihatan gak ada respon sama cewek secantik itu, atau jangan-jangan kamu gak suka cewek lagi” tanya Rio pada Andra.

“Ya, ku akui dia orangnya cantik, menarik, pintar, hanya saja aku gak mau kewajibanku jadi berantakan hanya karena seorang cewek” Jawab Andra dengan pasti.

“Baiklah, kita pegang omongan kamu. Kalo sampe kamu ketahuan suka sama dia, kamu harus traktir kita, setuju” Tantang Nopri.

“Oke. I agree with you” Jawab Andra.

Bel masuk kini telah berbunyi, semua siswa kembali menuju kelasnya masing-masing. Afiksi dan teman-temannya sedikit mempercepat langkah. Pelajaran yang akan mereka hadapi berikutnya adalah Kimia. Mereka tahu betul karakter guru pembimbing mereka yang satu itu, sehingga mereka tak mau terlambat satu menitpun karena tak mau mendapat hukuman membersihkan ruang kelas lagi.

Di dalam kelas, beberapa siswa telah siap di tempat duduknya. Sedang siswa lainnya terlihat jelas masih berjalan sambil ngobrol santai melintasi lapangan basket. Dewan guru juga telah keluar dari kantornya, menuju ruang kelas untuk melaksanakan kewajiban mengajarnya.

Afiksi menuju tempat duduknya, bangku kedua dari belakang. Meja belajarnya tak terlalu bersih, coretan memenuhi tiap sisi meja itu. Tertulis jelas puluhan nama siswa yang merupakan nama siswa yang sebelumbya duduk ditempat itu, ataupun tulisan kata-kata mutiara dari kakak kelasnya yang telah tamat. Tulisan itu tak lagi membuat Afiksi heran, selama satu bulan ini, tiap harinya ia telah melihat tulisan-tulisan itu.

Namun kini Afiksi sedikit terperanjat melihat sesuatu di bangku tempat duduknya. Sebuah surat berwarna merah jambu, berhias pita warna merah hati, dan tertulis indah nama Pina Afiksi pada kolom nama orang yang dituju oleh surat itu. Seringkali Afiksi menerima surat kaleng. Namun surat itu diterimanya pada pagi hari, bukan seusai istirahat seperti ini. Ditambah lagi kali ini surat itu tertulis nama pengirimnya, berbeda dengan yang sering ia terima sebelumnya.

Dibukanya ikatan pita merah hati itu. Ia tak lagi membaca isi surat itu. Karena selama satu bulan ini ia telah banyak membaca berbagai surat cinta dan puisi-puisi indah. Ia hanya penasaran dengan siapa yang kali ini memberikannya surat itu. Di bagian akhir surat itu tertulis sebuah nama, nama yang selama ini ia kagumi, Andra.

Kini ia mulai tertarik untuk membaca isi dari surat merah jambu itu. Tinta berwarna biru, dengan rangkaian tulisan tangan bertahta di sepucuk kertas itu. Terukir jelas kata kata dalam surat itu :

Dear Afiksi.

Ku tak tahu, kata apa yang harus aku tulis di atas kertas ini. Bahkan sejuta kata dalam kamus telah aku pilih, namun tetap tak mampu mengungkapkan penilaianku tentang dirimu.

Kerlipan bintang dari matamu, membuat malam-malamku sunyi tanpa melihatmu. Sinar wajahmu bagai rembulan membuat malam-malamku begitu kelam tanpa hadirmu. Sejuk kata-katamu membuatku terlalu terhanyut dalam mimpi-mimpiku.

Hanya kata-kata berwujud lukisan pena yang mampu wakilkan hatiku. Karena ku tak terlalu kuat untuk menatap indah matamu. Ku tak terlalu perkasa untuk berada disampingmu. Ku tak terlalu hebat untuk ucapkan kata-kata dihadapmu.

Ia terperanjat. Apakah surat ini benar-benar dari Andra? Untuk apa Andra mengirim surat itu? Mengapa ia tidak menyerahkannya langsung? Hal-hal itulah yang kini membayangi pikirannya.

“Hei Afiksi....Hei, itu Pak Guru sudah datang” Kejut Tiara.

Afiksi tersadar dari lamunannya. Tanpa ia sadari Pak Tito, Guru mata pelajaran Kimia telah berdiri didepan kelas. Afiksi duduk sambil tetap memikirkan tentang surat tersebut. Berpuluh pertanyaan menggelayut di pikirannya. Ia tetap bingung, benarkah Andra yang mengirimkan surat itu.

Pak Tito memulai pelajarannya pada hari itu. Namun bayang-bayang tentang surat itu masih mengganggu Afiksi. Diperhatikannya Andra yang duduk di bangku paling depan tengah mengikuti dengan serius pelajaran pada siang yang terik itu. Terlihat tak ada reaksi apapun dari Andra. Ataukah Andra terlihat sedikit malu-malu karena mengetahui bahwa surat itu telah dibaca olehnya. Namun tidak demikian yang dia lihat. Andra terlihat begitu santai, yang terlihat hanyalah sikap kesungguhan belajar yang seperti biasa dia tunjukkan.

“Mungkin ini hanya pekerjaan orang-orang iseng yang mengatasnamakan Andra. Namun, dilihat dari tulisannya, sangat jelas berbeda dari surat-surat yang ia terima sebelumnya” Begitu pikirnya.

“Jika benar surat ini dari Andra, lalu apa yang akan Andra lakukan berikutnya. Apakah ia akan mengungkapkannya langsung? Ataukah dia akan tetap tak berani untuk berkata langsung padaku? Huh..dasar Andra, mengapa kamu membuatku bingung seperti ini”Gumamnya.

“Afiksi....Afiksi....”

Terdengar suara pak Tito membangunkan Afiksi dari lamunannya.

“Apa yang sedang kamu pikirkan? Apakah kurang sehat?” Tanya pak Tito.

“Maaf pak, saya kurang konsentrasi” Jawab Afiksi.

“Hei Afiksi. Kamu dari tadi melamunkan apa? Pak Tito dari tadi merhatiin kamu tuh?” Tanya Widya.

“Gak tahu nih, aku lagi gak konsentrasi hari ini” Jawab Afiksi.

“Afiksi, Coba kamu kerjakan soal nomor 2” Suruh pak Tito.

“Baik, Pak”Jawab Afiksi.

Afiksi berjalan menuju papan tulis. Ia sedikit menghela nafas untuk menghilangkan lamunannya. Kemudian Afiksi mulai mengerjakan soal itu dengan tenang. Dalam beberapa menit, soal yang diberikan Pak Tito selesai dikerjannya. Ya, walupun Afiksi tak memperhatikan penjelasan dari Pak Tito, namun Afiksi adalah anak yang pandai. Ia telah mempelajari materi dari Pak Tito satu hari sebelumnya. Sehingga, pada saat ia diminta mengerjakan tugas ia tetap mampu mengerjakannya.

Afiksi membalikkan tubuh untuk kembali ketempat duduknya. Diperhatikannya Andra yang sedang memeriksa jawaban yang ia kerjakan di papan tulis. Sesaat kemudian dilihatnya Andra tersenyum padanya. Hal itu membuatnya tertegun dan terpaku. Ia bertambah bingung, apakah makna senyum yang diberikan oleh Andra itu?

“Baik sekali. Ternyata kamu tetap bisa mengerjakan soal dari Bapak meskipun bapak tahu sejak tadi kamu tidak memperhatikan penjelasan bapak” Puji Pak Tito.

“Tapi, jika kamu sedang tidak sehat. Sebaiknya kamu istirahat saja diruangan UKS” Sambung Pak Tito

“Baik, Pak” Jawabnya singkat.

Afiksi mengambil tasnya, kemudian pergi meninggalkan ruang kelas itu. Ia berpikir bahwa lebih baik ia istirahat terlebih dahulu di ruangan UKS daripada harus terus melamun memperhatikan Andra yang akan berakibat ia dimarahi oleh Pak Tito. Setidaknya ia bisa memikirkan benarkah surat itu dari Andra.
Designed by Animart Powered by Blogger