Rindu adalah dinding pemisah..
Agar aku lebih kuat untuk terbang meraih cinta..
Rindu adalah dahaga..
Agar aku bisa lebih gila untuk melahap cinta..
Percayalah..
Bagiku makna cinta itu hanya setinggi 160 cm dan seberat 50 kg..
Jangan takut membuatku terluka..
Semakin aku sakit,,..
Semakin Aku mencintaimu..
Ketika para pria memperhatikanmu..
Betapa bahagianya diriku yang memilikimu..
Rasa cinta ini terlalu besar untuk kupendam..
Jika kau tak mampu menampung seluruhnya..
Maka izinkan aku membagi dengan yang lain..
Pakailah baju hitam, sayang..
Hari ini kau dimakamkan dalam hatiku..
Duduk bentar ama kamu ajha aku udah bisa buat 3 puisi..
Gimana kalo seumur hidupku bersamamu..
Mungkin aku akan jadi seniman paling banyak karya sejagat raya
Di sinilah kita kini..
Terjebak dalam keputusan yang menggalaukan..
Merisaukan hati antara kembali atau melangkah tertatih..
Melenyapkan rasa atau kembali mencinta..
Ketika seorang wanita menawarkan cinta yang tulus padaku..
Maka harga yang kuberikan adalah kesetiaan sepenuh jiwa..
Kuakui puisi2ku tak seindah goresanmu..
Tapi, mau apa lagi..
Inilah coretan pemuda yang lupa arah..
Aku tak tau mana selatan dan utara..
Karena matahari selalu berpindah..
Aku yang bersandar di bawah fajar..
Hanya mampu memuji karyamu yg berpijar..
Sepertinya tak mampu untuk ku kejar..
Mengejar olah katamu meskipun terus belajar..
Tapi sepertinya tidak juga..
Hanya sekedar menggabungkan huruf vokal dan konsonan..
Keponakanku yg lulus TK bisa melakukannya..
Dengan bibir kecilnya bernyanyi menyusun kata..
Berlenggak-lenggok memancing tawa..
Jadi apa yang ingin ku tulis..
Tentangku yang tak mampu menulis..
Atau tentang keponakanku yang sedikit menangis..
Ach...
Terserah..
Bukankah memang itu indahnya karya tulis...
Tak perlu menangis, sayang..
Aku yang terluka..
Kau yang membuatnya parah..
Memang begitu seharusnya..
Kini ku ibarat buku tanpa sampul..
Kau boleh robek dan campakkan..
Tapi aku tetaplah kertas..
Yang terkoyak, tentunya..
Jadi perhatikan ini, Sayang..
Getaran lidah yang hasilkan nada..
Hanya ini yang bisa kuserah..
Karena memang hanya ini yang ku punya..
Namun ketika kata tak berarti di telingamu..
Aku harus bilang apa lagi..
Selain memberi cinta ini seadanya..
Yang dari dulu memang begitu..
Semampuku..
Jangan menunggu pelangi di ufuk langit..
Buatlah pelangimu sendiri..
Menunggu itu menyakitkan.
Meninggalkan juga menyakitkan.
Juga menyakitkan ketika tidak tahu harus tetap menunggu atau meninggalkan.
Lebih menyakitkan lagi ketika keduanya saling menunggu tanpa saling tahu.
Bangun tidur disambut secangkir teh manis dan sebuah roti isi keju. Tak lupa senyum manjamu menguntai di pagi yang riuh ayampun belum usai. Inilah mengapa kau selalu nampak cantik, sayang.

Cinta Peminta sumbangan

Tok... tok... tok...
Aku mengetuk pintu hatinya. Ia membukakan pintu. Kulihat seorang pria telah bertamu lebih dulu. Dengan gugup aku berkata "Saya hanya ingin meminta belas kasih".
Ini aku dengan rasa yg biasa saja.
Tak terlalu manis memang.
Hanya sebatas akar alang2.
Terkadang hanya payaunya.
Nasib tinggal sendirian. Tiap hari cuma makan nasi putih.
..
..
..
..
Ditambah bawang sedikit, sayur sedikit, garam sedikit, kecap, ayam suir dan telor. Terus digoreng pake margarin.
..
..
..
Entah mengapa orang2 menyebutnya nasi goreng?
Dulu saat masih kecil, kami tidak menyebutnya kehujanan. 
Kami lebih suka menyebutnya mandi hujan.

FIKSI MINI : Selingkuh



“Sayank”
Cuaca cukup terik siang ini. Aku memaku sejenak di depan kaca penuh warna. Sekedar memalingkan pikiran dari rutinitas. Lalu aktivitasmu tertera dalam daftar bacaanku dengan komentar yang bersambut tanggapan darimu. Kalian saling sapa "sayank". Aku pun kembali pada rutinitasku.

Offline
Kemarin aku nelpon kamu. Tapi lima kali panggilanku tak pernah kau jawab. Entah kesibukan apa yang kau geluti. Hingga sms dan BBM tak pernah pula kau hiraukan. Semula berpikir bahwa mungkin Handphonemu hilang. Tapi akun Whatsappmu seringkali online. Aku merasa kamu berubah sejak menikah dengannya.

Dukung Dahlan Iskan Mundur Konvensi

Merdeka.com edisi senin, 13 Januari 2013 mengangkat judul “Konvensi Partai Demokrat Makin Kisruh dan Tak Jelas“. Hal ini terkait salah satu tim komite audit survei konvensi, Hamdi Muluk keluar karena tak ada surat keputusan pengangkatan oleh Demokrat.
Sungguh ironis ketika sebuah partai besar masih melakukan kesalahan dalam hal teknis. Diluar konteks sengaja atau tidak, kejadian ini tentu memberikan kesan buruk bagi partai dan mengecewakan bagi Hamdi Muluk.
Pada situs yang sama Efendi Ghazali, anggota Komite Konvensi Demokrat mengatakan “Secara umum jika benar demikian, terutama memang tidak ada SK pengangkatan Tim Audit Survei, itu benar-benar keterlaluan dan relatif menghina akademisi yang berintegritas seperti Prof. Hamdi Muluk.”
Bertolak dari kekisruhan ini, saya coba kembali menimbang keikutsertaan Dahlan Iskan dalam “audisi” Capres Partai Demokrat. Sejauh ini DI tetap memiliki elektabilitas tertinggi di antara peserta konvensi lainnya. Namun begitu, saya akan sangat mendukung seandainya DI mundur dari ajang Konvensi Partai Biru ini.
Ada beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan. Pertama, isu penjegalan pencalonan DI melalui kenaikan harga gas elpiji beberapa waktu lalu. Jika isu ini benar, tentu menjadi gambaran bahwa DI tidak diharapkan menang oleh elit partai dan orang-orang yang berkepentingan. Untuk apa DI berada dilingkungan yang tidak menerimanya. Sedangkan lingkungan yang lebih besar siap menyambutnya dengan tangan terbuka.
Kedua, elektabilitas DI yang tetap tinggi menunjukkan pesona DI telah diterima di masyarakat. DI telah dikenal masyarakat jauh sebelum ia menjadi peserta konvensi. Bahkan Presiden SBY pun mengakui kerja keras DI dengan mengangkatnya sebagai Mentri BUMN. Jadi, sekalipun tidak melalui Partai biru, bukan tidak mungkin DI akan tetap didukung maju sebagai capres melalui partai-partai lain.
Ketiga, Kader-kader partai biru banyak terjebak dalam kasus korupsi. Ibarat pepatah dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, bukan tidak mungkin jika DI juga dapat terjebak dalam lingkaran sistem korupsi. Mengingat partai penguasa tentu akan menjadi sorotan bagi para penegak hukum.
Keempat, DI hanya akan menjadi penyambung lidah bagi Demokrat. Partai Demokrat telah berkuasa selama dua periode. Tentu mereka tak ingin kehilangan kekuasaannya. Terlebih mengubah gaya kepemimpinan yang sudah terbentuk dengan gaya baru DI. Sehingga akan sangat mungkin DI akan diinterfensi jika berhasil menembus RI 1.
Untuk itu, akan sangat disayangkan jika salah satu putra terbaik bangsa berada dalam lingkungan yang kurang baik. Potensi DI dalam membangun nusa dan bangsa mestilah diberdayakan secara baik dan tepat. Partai besar tidak hanya Partai Demokrat. Jalan menuju Capres tidak hanya Konvensi.
Referensi :
http://www.merdeka.com/politik/konvensi-partai-demokrat-makin-kisruh-dan-tak-jelas.html

SEPIRING SERIPING



Aku duduk di teras rumah. Menjulurkan kaki ke atas meja dengan segelas teh hangat tepat berada di sebelah kanan kakiku. Perbukitan indah menghijau di belakang rumah tak kunikmati. Aku lebih suka memandangi lalu lalang ibu-ibu menghampiri tukang sayur keliling yang mereka panggil Mang Ujang.

Dari kejauhan ku dengar pula kikik mereka usai membicarakan Bu Priyo yang menang undian mobil namun ternyata hanyalah undian bohong dari sebuah produk kopi sachet. Lalu salah seorang mengajak ibu-ibu yang lainnya menunduk dan berbicara berbisik. Aku lihat matanya melirik ke arah seberang rumahku. Seorang wanita muda tengah menyiram bunga di pot-pot hitam pekarangan rumahnya. Siska, yang telah menjadi rahasia umum sebagai wanita simpanan pejabat.

Siska memang sangat cantik. Tubuhnya pun molek bukan kepalang. Tak heran jika pejabat dengan tiga isteri sekalipun jatuh hati padanya.

Tapi bukan Siska yang sepenuhnya menarik perhatianku selama dua minggu ini. Seorang ibu menggendong anaknya yang setiap pagi melintas di depan rumahku. Anehnya aku tidak pernah melihat ia menuju ke arah sebaliknya. Seolah dia pergi tanpa pulang, tapi esok pagi ia pergi lagi.

Aku baru dua minggu pindah ke komplek perumahan ini. Distributor makanan ringan tempatku bekerja membuka cabang baru, dan aku ditugaskan untuk menjadi kepala cabang di kota ini. Aku belum berkeluarga, sehingga tak masalah bagiku jika sesekali di waktu sore hari aku sedikit nakal menggoda siska yang sedang duduk yoga di dekat kolam renang samping rumahnya.

“Sudah jam delapan. Mana ibu itu? Kok belum terlihat”
Baru usai aku bergumam. Seorang wanita melintas. Ya, seperti biasa, anaknya ia gendong di punggungnya dengan kain abu-abu yang mulai lusuh sebagai pengikat. Tangan kanannya memegang sebuah piring. Ia melangkah tergesa-gesa diburu waktu.

Aku berniat menghampirinya. Namun kakiku menyentuh gelas di atas meja. Aku kaget kepanasan dan mengelap kakiku dengan lap kaki yang ada di dekat pintu. Ketika melihat ke jalan, ibu itu sudah tak terlihat lagi. Hanya Mang Ujang yang telihat mendorong gerobaknya yang mulai kosong.

“Mang ujang” teriakku menghentikan mang ujang.
“Wanita yang baru saja lewat, mang ujang kenal?” Tanyaku.
“Oh, itu mbak Darsih. Tinggal di ujung komplek dekat kuburan. Dia tinggal dengan tiga orang anaknya” Terang Mang Ujang.
“Suaminya?”
“Suaminya pergi sekitar setengah tahun yang lalu. Sejak itu setiap hari dia berjualan seriping pisang. Sudah dulu ya. Saya mau keliling lagi” Tukas Mang Ujang

Seriping pisang adalah sebutan masyarakat Sumatera Selatan untuk keripik pisang yang digoreng tipis. Biasanya sebelum di goreng direndam dalam air garam agar lebih gurih. Dan Mbak Darsih sangat dikenal dengan seriping pisangnya. Karena itu ia seringkali disebut Darsih Seriping.

Penjelasan Mang Ujang tak surutkan rasa penasaranku. Aku bergegas mengikuti arah wanita itu berjalan. Jika aku sedikit berlari kecil, mungkin aku bisa mengejarnya.

Dan benar saja, ia terlihat di ujung komplek. Berdiri di depan pagar sebuah rumah. Ia menyerahkan piring ditangannya. Dan seorang ibu tua memindahkan isi piring ke piring yang lainnya. Lalu mengembalikan piring sambil memberikan uang kepada Mbak Darsih.

Seperti yang dikatakan Mang Ujang. Sepertinya Mbak Darsih menjual seriping pisang yang dibawanya kepada ibu tua di rumah itu.

Mbak Darsih mulai berjalan lagi. Ia tidak berbalik ke arahku. Ia meneruskan langkah kakiknya ke arah yang sama. Dan aku tetap mengikutinya dari jauh. Kali ini ia kembali berhenti di sebuah warung kecil. Penjaga warung sepertinya telah hapal dengan Mbak Darsih. Ia menyerahkan pisang yang masih hijau kepada Mbak Darsih. Tidak banyak, hanya setengah sisir pisang.

Usai mendapatkan apa yang ia butuhkan, Mbak Darsih berlalu. Ia berbelok menuju rumahnya. Aku tetap mengikutinya sambil terus menghubungkan semua hal yang ku lihat di pagi ini.

Cukup jauh berjalan, akhinya Mbak Darsih sampai di rumahnya. Mungkin lebih layak dikatakan sebuah pondok. Pondok kecil dipinggir kuburan. Tepat berbatasan dengan pagar komplek yang bolong di salah satu sisinya. Di sisi yang bolong itulah Mbak Darsih masuk ke komplek menjual seriping pisangnya.

Seorang anak berumur 10 tahun menghampiri Mbak Darsih. Ia menggendong adiknya yang masih berumur 5 bulan yang sedang terlelap. Mbak Darsih menurunkan anaknya yang berumur 2 tahun dipunggungnya lalu beralih menggendong anak lainnya yang masih bayi. Mulailah aku mengerti kehidupan Mbak Darsih yang sebenarnya.

Mbak Darsih ditinggal suaminya ketika ia hamil tua. Untuk menghidupi dirinya dan ketiga anaknya, ia berjualan seriping pisang setiap harinya. Tidak dalam jumlah banyak. Uang yang Ia miliki hanya mampu untuk membeli setengah sisir pisang. Setengah sisir pisang itu hanya bisa dibuat menjadi sepiring seriping.

Setiap pagi ia menjual sepiring seriping itu. Separuh hasil penjualannya kembali ia belikan pisang mentah untuk dijadikan seriping. Separuh yang lainnya ia gunakan untuk membeli beras dan untuk ia tabungkan untuk membayar biaya persalinan anak ketiganya yang masih terhutang.

Masyarakat komplek dan sekitarnya bukan tak iba terhadapnya. Mbak Darsih selalu menolak bantuan dari siapapun. Ia merasa mampu untuk menghidupi dirinya dan ketiga anaknya. Ia selalu berkata bahwa suaminya di luar sana sedang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Dan ia sangat yakin suaminya akan kembali dengan sejumlah uang untuk kehidupan keluarganya.

Sepertinya kehidupan Mbak Darsih akan tetap seperti ini untuk beberapa tahun berikutnya. Menggoreng seriping pisang di sore hari dan menjualnya di setiap pagi.

“Sepertinya aku akan makan sepiring seriping pisang setiap pagi” Gumamku sambil melangkah pulang melewati pagar bolong dekat rumah Mbak Darsih.

Lubuklinggau, 6 Januari 2014
Designed by Animart Powered by Blogger