BAB VII

R

iuh kicau burung merdu ditelinga. Suara tetes air hujan tak lagi terdengar. Hanya rintik-rintik air yang masih menetes dari daun-daun hijau.

Hari itu Afiksi masih dirawat di Rumah Sakit. Seperti biasa, Ibunya sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Andra yang selalu menemaninya, tak bisa lagi berada disisinya. Widya dan Tiara juga harus bersekolah. Karena itu ia lebih memilih untuk beristirahat di Rumah Sakit. Setidaknya, perawar di Rumah Sakit itun bisa menjadi teman berbincang yang baik bagi seorang Afiksi.

“Maukah kau, jika ku ajak jalan-jalan ditaman?”

Suara seorang laki-laki kembali mengejutkan Afiksi. Kembali ia tersentak dengan suara itu. Tanpa menunggu jawaban dari afiksi yang tengah terperanjat di kursi rodanya, Laki-laki itu langsung mendorong kursi roda menuju taman bunga di Rumah Sakit itu.

Beberapa pasien tengah menjalani terapi di taman itu. Sedangkan dokter dan perawat silih berganti melintas di antara bunga-bunga yang masih basah tersiram hujan.

“Andra, kau sudah kembali?” Tanya Afiksi.

Laki-laki yang ternyata adalah Gara itu tak langsung menjawab. Setetes Airmata jatuh membasahi rumput hijau yang diinjaknya. Dalam hatinya ia merasa sedih karena Afiksi telah melupakannya, kekasih pertamanya. Namun Ia juga merasa bahagia karena melihat senyum Afiksi kembali merekah meski yang Afiksi tunggu adalah kehadiran Andra, bukan Gara. Ia menyadari bahwa rasa cinta dan sayang Afiksi begitu besar pada Andra.

“Ya, aku kembali untukmu” Jawab Gara.

“Bagaimana kesehatanmu?” Tanya Afiksi.

“Nyawaku sekalipun tak lebih berharga daripada kesembuhanmu” Jawab Gara.

Keduanya masuk kedalam obrolan yang menghangatkan satu sama lain. Rasa sakit pada mata Afiksi tak lagi dirasanya selama Gara hadir disisinya menggantikan kehadiran Andra. Suara Andra dan Gara yang sangat mirip membuat Afiksi tak mampu membedakannya.

Dari kejauhan, Rama, Nita, Rio dan Nopri menyaksikan keduanya. Merekalah yang meminta Gara untuk menemani Afiksi dengan cara menjadi Andra. Mereka juga menyadari, bahwa kehadiran Andralah yang akan membuat Afiksi punya alasan untuk kembali melanjutkan kehidupannya. Setidaknya bisa untuk membuat Afiksi tak terpuruk karena menyalahkan dirinya sebagai penyebab kecelakaan itu.

Hari beranjak siang. Gara mengantarkan Afiksi ke ruang perawatan untuk beristirahat.

“Sekarang kau beristirahat ya” Pinta Gara.

“Andra, aku pernah bermimpi. Kau mengajakku terbang diantara awan-awan putih. Memandangi taman bunga dari angkasa. Namun, kemudian kau menghilang di antara awan gelap. Meninggalkanku sendiri yang sedang menangis”Kata Afiksi.

“Aku tak akan pernah meninggalkanmu” Jawab Gara.

Afiksi kini tertidur. Ekspresi wajahnya menunjukkan kedamaian. Tak ada lagi ekspresi kekecewaan ataupu kesedihan yang sebelumnya selalu terpancar selama menunggu kembalinya Andra.

“Seandainya kau tahu bahwa Andra memang telah pergi meninggalkanmu, tentu tangis dalam mimpimu itu akan menjadi nyata. Membasahi setiap awan-awan putih itu. Ternyata kepergianku dahulu telah membawamu kepada kebahagiaanmu. Dan kedatanganku kini telah membawamu kembali masuk dalam kesedihanmu. Maafkan aku Afiksi” Ucap Gara dalam hati.

Gara bermaksud meninggalkan ruangan itu. Namun tiba-tiba tangan Afiksi menggenggam tangannya. Meski masih tertidur, namun genggaman kuat tangan Afiksi menunjukkan bahwa ia sangat menginginkan seseorang disampingnya. Perlahan Gara memindahkan genggaman tangan Afiksi kembali ketempat tidurnya.

Andra kembali beranjak keluar ruangan meninggalkan Afiksi yang tengah tertidur. Diluar ruangan itu Rama dan teman-temannnya duduk diruang tunggu.

“Maafkan kami membuatmu harus menjadi orang lain” Ucap Rama.

“Akupun turut bahagia melihat senyum Afiksi” Ucap Gara.

“Dokter mengatakan bahwa mata Afiksi tak akan bisa disembuhkan” Kata Nopri.

“Apakah itu berarti bahwa Afiksi tak akan bisa melihat lagi?” Tanya Gara.

“satu-satunya cara dengan melakukan pencangkokan mata” Jelas Nopri.

“Artinya akan sulit bagi Afiksi untuk melihat lagi” Ucap Gara.

Semuanya terdiam. tak ada kata-kata lagi yang meluncur dari lidah mereka. Mereka kini harus mencari orang yang dengan suka rela bersedia memberikan matanya untuk Afiksi. Dan hal itu tentu bukanlah hal yang mudah. Bahkan orang yang telah meninggalpun, keluarganya belum tentu mau merelakan matanya dicangkokkan. Sekalipun dengan biaya yang mahal.

“Kami pulang dulu” Ucap Rama.

“Baiklah. Aku masih harus menemani Afiksi” Kata Gara.

****

Satu minggu berikutnya, Rama mendapatkan informasi bahwa ada seseorang yang bersedia mencangkokkan matanya. Hal itu tentulah membuat semuanya merasa bahagia. Begitupun Afiksi. Rasa bahagianya yang akan bisa melihat lagi, terpancar jelas diwajahnya.

Namun satu hal yang dilewatkan oleh semuanya. Jika Afiksi bisa melihat, maka ia akan mengetahui bahwa Andra yang selalu menemaninya selama ia tak mampu melihat adalah Gara. Dan tentu ia akan mempertanyakan kemanakah Andra. Mereka semua tak pernah memikirkan jawaban apa yang harus diberikan pada pertanyaan yang akan keluar dari bibir tipis Afiksi.

Hari beranjak sore. Jam gadang dikota tersebut membentuk sudut terkecil 1500. Dentang jam sebanyak lima kali membahana dikota tersebut.

Sepasang muda-mudi berdiri disebuah jembatan dikota itu. Keduanya menatap kearah akan terbenamnya sang surya. Dekapan hangat bersamaan dengan hangatnya sinar jingga matahari.

“Andra, meski hangat matahari hanya mapu ku rasakan tanpa kulihat indahnya matahari terbenam, namun jika bersamamu ku tak pernah takut menghadapi dunia ini” Ucap Afiksi.

“Apakah kau bahagia berada disampingku?” Tanya Gara.

“Tak pernah aku rasakan kebahagiaan selain berada disampingmu. Andra, aku pernah bermimpi suatu ketika aku menikah denganmu” Cerita Afiksi.

“Seandainya aku adalah orang lain, apakah kau akan tetap bersamaku?” Tanya Gara lagi.

“Aku tak mengerti apa maksudmu bertanya seperti itu. Namun jawabanku, kau adalah orang yang telah menemaniku selama ini. Mengisi kosongnya hatiku. Memberikan warna dalam hidupku. Dan menjadi alasanku menjalani hidup. Maka siapapun kamu, aku harus membalas semuanya itu dengan mendampingimu, menikah denganmu hingga kau tak lagi inginkan aku berada disampingmu” Jawab Afiksi.

“Afiksi, Rama mengatakan bahwa mereka telah menemukan orang yang bersedia mendonorkan matanya” Ucap Gara.

“Sungguhkah itu?” Tanya Afiksi gembira.

“Ya. Namun orang tersebut berada diluar kota. Apa kau bahagia mendengarnya?” Tanya Gara.

“Tentu saja aku sangat bahagia. Andra, aku ingin kau adalah orang pertama yang aku lihat saat akun bisa membuka mata lagi” Kata Afiksi.

“Aku akan selalu disampingmu” Ucap Gara.

Terbenamnya sang surya mengiringi langkah kedua insan itu. Ayunan langkah ringan bersimponi dengan suara hentakan tongkat Afiksi menemani mereka hingga pada mobil Vitara warna hitam milik Gara. Keduanya pulang berkejar-kejaran dengan suara azan yang mulai menggema pada beberapa masjid yang mereka lalui. Hingga laju mobil itu terhenti di halaman parkir sebuah masjid bersamaan dengan berakhirnya gema azan dimasjid itu.

“Andra, kita shalat dulu ya. Aku ingin berdoa” Ucap Afiksi.

Gara turun terlebih dahulu yang kemudian membukakan pintu mobil untuk Afiksi. Tuntunan langkah kaki Gara mengantarkan Afiksi menuju tempat berwudhu. Andra yang bukan mahramnya pun kemudian menuju ruang wudhu pria. Seorang wanita paruh baya mengantarkan Afiksi menuju tempat beribadah.

Lantunan ayat-ayat Al-Qur`an sang Imam Shalat menjelajahi setiap relung hati para makmumnya. Sebuah cahaya ketenangan menyinari jiwa penuh dosa anak manusia. Keserasian ucapan dan gerak menyelaraskan perbedaan yang sempat memisahkan satu sama lain selama hubungan sesama manusia. Tertunduk kepala yang sebelumnya seringkali bersikap congkak tak pernah ingin melihat orang lain yang takdirnya lebih rendah dari padanya.

Seusai shalat, tiap insan berdoa memohon pada sang penciptanya. Tak terkecuali bagi Gara dan Afiksi. Afiksi berdoa semoga ujian kebutaannya ini mampu meberikan hikmah luar biasa bagi dirinya. Disaat yang sama, Gara berdoa semoga Afiksi dapat melihat lagi sehingga kata-katanya tadi bisa ia wujudkan.

Dua hari kemudian, Afiksi bersama beberapa anggota keluarganya dan tentu saja Gara pergi keluar kota. Menemui keluarga pasien sebuah rumah sakit yang berdasarkan informasi bersedia mendonorkan bola matanya untuk Afiksi.

Sebuah asa bagi semua orang disekitar Afiski agar Afiksi dapat melihat lagi. Senyum bahagia dengan canda riang tak jarang menemani perjalanan mereka menuju kota itu. Hingga tiga jam pun tak terasa mereka lewati diatas pesawat terbang swasta itu. Dan suara gesekan landasan dengan ban pesawat menghiasi landing pesawat di bandara terbesar dikota itu.

Deru mobil mengantarkan mereka menuju sebuah rumah sakit umum daerah tersebut. Namun, harus ada kekecewaan di wajah mereka. Orang yang bermaksud mendonorkan matanya untuk Afiksi telah meninggal tiga hari yang lalu.

Afiksi mencoba untuk tegar. Senyumnya mengisyaratkan agar orang-orang disekitarnya tak perlu bersedih. Ia tetap yakin bahwa semua ini adalah catatan takdir yang perlu ia pelajari untuk mendapatkan nilai ujian berkareditasi amat baik dari sang pencipta.

Lalu, akankah Afiksi bisa kembali membuka mata indahnya??????? Nantikan kelanjutannya pada bab berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed by Animart Powered by Blogger