I |
Ndah dunia mampu ia rasakan kembali. Alunan tangkai bunga yang tertiup angin seolah mengajaknya menari. Namun wanita itu hanya duduk terpaku menatap itu semua. Entah apa yang direnungkannya.
“Mata ini terlalu berharga untuk diberikan padaku. Siapakah orang yang rela memberikan matanya ini hanya untuk memberikan kebahagiannya padaku?” Pikir Afiksi.
Pikiran itulah yang terus menggelayuti pikiran Afiksi. Ia tak pernah mengetahui siapa yang telah mendonorkan mata indah padanya itu. Terkadang ia merasa menyesal karena telah menggunakan organ yang berharga milik orang lain.
Suara kursi roda yang bergesekan dengan lantai melintas dibelakangnya. Ia telah sangat hapal dengan lengkingan suara kursi roda itu. Karena pada beberapa waktu yang lalu iapun telah duduk diatasnya.
Perlahan ia menoleh kearah melintasnya kursi roda itu. Seorang pria yang umurnya tak terpaut jauh dari Afiksi duduk diatas kursi roda itu. Matanya terbalut perban putih, mirip dengan balutan perban Afiski saat Ia buta. Seorang suster cantik mendorong kursi roda itu menuju ruang perawatan.
Afiksi merasa tersentak. Bukan hanya rasa iba yang membuatnya terkejut. Namun, karena ia mengenali pria itu. Pria yang dahulu pernah berada disampingnya.
Hentakan langkah kaki beberapa orang menuju kearah Afiksi. Dan sapaan dari salah satunya menyadarkan Afiksi dari lamunannya.
“Hei Afiksi. Apa yang kau lamunkan?” Tanya Nita.
“Apakah itu benar-benar dia?” Tanya Afiksi.
“Dia siapa? Tidak ada siapa-siapa disini. Sudahlah lupakan saja. Kami kesini mau mengajakmu pulang” Kata Nita lagi.
“Baiklah” Ucap Afiksi singkat.
Afiksi tak menjelaskan apa yang baru saja dilihatnya. Ia tak ingin meyakinkan dirinya bahwa pria itu adalah orang yang ia kenal. Seolah, meski ia mengenal orang itu, namun ia tak ingin mengingatnya.
Keesokan harinya, Afiski memutuskan untuk kembali ke Rumah Sakit itu. Ketika berjalan di koridor, kembali ia melihat Pria yang dilihatnya kemarin. Meski berat, perlahan ia dekati Pria yang tengah duduk di bangku taman itu.
“Gara, Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Afiksi.
Ya, pria itu adalah Gara. Orang yang selama ini menemani Afiksi dalam kebutaan. Namun, keadaan yang terlihat kini sangat mengejutkan. Gara ternyata juga mengalami kebutaan.
“Kamu siapa? Sepertinya suara ini tak asing bagiku” Tanya Gara.
“Aku Afiksi” Jawab Afiski.
“Afiksi. Apakah kau telah bisa kembali melihat?” Tanya Gara lagi.
“Bagaimana kau tahu bahwa aku mengalami kebutaan?” Tanya Afiksi.
“Apakah Rama belum menceritakan padamu?” Tanya Gara lagi.
“Tentang apa? Apa yang mereka sembunyikan dariku?” Desak Afiksi.
Berondongan pertanyaan dari Afiksi menyudutkan Gara. Semua itu membuat Gara bingung. Ia tak tahu apakah harus menjelaskannya atau tidak.
Menunggu jawaban dari Gara yang menurut Afiksi terlalu lama, membuat Afiksi tak sabar dan pergi meniggalkan Gara. Ia bermaksud menanyakan langsung pada Rama.
“Kalau begitu aku akan pergi menanyakannya pada Rama” Ucap Afiksi.
“Kau tak perlu pergi kemana-mana. Aku sudah ada disini” Ucap seseorang yang muncul dari belakang Afiksi.
“Rama. Baguslah kau ada disini. Kau mempunyai tanggung jawab untuk menceritakan semuanya padaku” Desak Afiski.
“Apa yang ingin kau tahu?” Tanya Rama.
“Dimana Andra?” Tanya Afiski.
“Saat kalian mengalami kecelakaan, Andra meninggal dunia” Jelas Rama
Deraian airmata Afiksi perlahan menetes dari matanya. Airmata yang bagaikan butiran berlian itu menangisi seorang yang begitu berharga baginya, sama berharganya dengan berlian indah yang melilit dijarinya sebagai sebuah cincin.
“Jika Andra meninggal, lalu siapa yang menemaniku selama ini?” Tanyanya tak percaya.
“Pada hari yang sama, Gara datang. Dialah yang menggantikan Andra untuk menjagamu” Ucap Rama.
“Begitu mudahnya kalian menggantikan seseorang dengan orang yang berbeda. Apakah kalian tak pernah memikirkan perasaanku?” Ucap Afiksi.
“Saat itu, Andra adalah orang yang paling penting dalam hidupmu. Kami tak yakin kau akan kuat jika mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Karena itulah aku bersedia menggantikan Andra selama kau mengalami kebutaan” Tambah Gara.
“Andra adalah orang yang terpenting dalam hidupku. Saat itu, sekarang dan selamanya. Rama, sekarang kau tunjukkan aku dimana makam Andra” Ajak Afiksi.
“Afiksi. Dahulu kau pernah berkata bahwa siapapun aku, kau akan membalas semuanya dengan cara menjadi pendampingku. Kini aku menagih janjimu itu” Ucap Gara.
“Aku mengucapkan hal itu karena aku berpikir bahwa kau bukanlah kau. Apalagi kau juga buta. Aku pernah merasakan kebutaan. Maka tak mungkin aku menjadi pendampingmu” Jawab Afiksi.
Afiskipun segera berlalu bersama Rama. Dengan bercucuran airmata yang masih mengalir di pipinya, mereka pergi menuju tempat pemakaman Andra. Seakan airmata itu tak akan kering setelah ia mengetahui bahwa Andra telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.
Gara menyadari kepergian Afiksi. Ia tak dapat berbuat apa-apa. Kebutaanya membuatnya tak mampu menghalangi Afiksi. Hatinya terkoyak mendengar kata-kata Afiksi. Ia merasa sedih tak mampu meyakinkan Afiski mengenai janji yang telah diucapkannya dahulu.
****
Afiksi mengurung dirinya di dalam kamar. Rasa sesal dan kesal memuncak di pikirannya, karena ia tak pernah mengetahui bahwa Andra telah pergi meninggalkannya. Bahkan orang yang sangat tak ingin dia temuilah yang menemaninya selama ia mengalami kebutaan yang ternyata saat ini juga mengalami kebutaan.
Rasa amarahpun mendidih dihatinya. Ia tak habis pikir kenapa teman-temannya menyembunyikan fakta yang sebenarnya dari dirinya. Meski iapun berusaha mengerti bahwa teman-temannya hanya menginginkan hal terbaik untuk dirinya.
Rama datang menemui Afiksi untuk menjelaskan apa yang terjadi. Sejenak Afiksi tak menerima kedatangan Rama. Namun keingintahuan Afiksi mengenai hal yang sebenarnya membuatnya bersedia untuk berbincang-bincang dengan Rama.
Secara mendetil Rama menceritakan fakta-fakta sejak Afiksi dan Andra mengalami kecelakaan, kemudian Gara datang sebagai sosok pahlawan hingga pada Akhirnya Afiksi kembali dapat melihat.
Afiksi adalah seorang wanita yang kuat. Ia tak ingin lama-lama terpuruk dalam kesedihan. Cerita dari Rama membuatnya menyadari bahwa kembali hadirnya Gara sangat penting baginya saat itu. Meski luka yang ia rasa kali ini tak akan pernah sembuh. Ia menyadari bahwa kesedihannya tak akan bisa membangkitkan Andra dari tidur panjangnya.
Setelah beberapa hari berkurung diri di dalam kamar, ia memutuskan untuk menemui Gara di rumah sakit. Ia kembali mengharapkan konfirmasi dari Gara tentang apa yang terjadi.
Sesampai di Rumah Sakit, seorang perawat menghampiri Afiksi.
“Mbak Afiksi Ya? Mau menemui Gara kan?” Tanyanya.
“Ya. Ada Apa?” Afiksi Balik Tanya.
“Gara sudah tidak dirawat disini lagi. Dia hanya menitipkan surat ini untuk kamu” Jelas perawat itu.
“Apa yang terjadi? Kenapa ia tidak lagi dirawat disini?” Tanya Afiksi.
“Ia tak meninggalkan kata-kata apapun selain surat ini” Jawab perawat.
Afiski terdiam. Ia harus kembali harus kehilangan seeorang yang menjadi hal penting dalam hidupnya. Setelah kepergian Gara, Andra hadir menjadi cahaya baru dalam hidupnya. Disaat Andra pergi, Gara kembali hadir sebagai udara hangat bagi malam kelamnya. Dan kini iapun harus kembali kehilangan Gara. Hanya sepucuk surat bersampul amplop biru berhias bunga Lili yang menjadi pengganti semua itu.
Lalu kemanakah Gara pergi? Apakah isi surat itu? Akankah Afiksi kembali bertemu dengan Gara?
Semua pertanyaan itu akan terjawab pada Bab terakhir novel ini. Jadi, nantikanlah.
Bersambung.....................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar