U |
dara pagi begitu menusuk. Butir kecil embun pagi membasahi daun-daun hijau. Bunga-bunga terlihat jelas tengah bermekaran. Kupu-kupu terbang riang gembira. Namun, bagi seseorang pagi yang indah itu hanyalah kekelaman. Baginya tak ada kilauan cahaya matahari. Tak ada indahnya syap kupu-kupu.
“Namun keindahan bunga itu berupa kekelaman bagiku” Jawab Afiksi sambil terkejut setelah mendengar suara seorang laki-laki menyapanya.
“Bunga indah bukan karena warnanya. Namun keharuman dan kesejukanlah yang membuat berbeda dengan benda lain yang memiliki warna yang sama dengan warna bunga-bunga itu”
“Andra, apakah itu kamu?” Tanya Afiksi.
Pria itu hanya terdiam. Ia tak ingin membuat Afiksi kecewa karena mengetahui bahwa dirinya bukanlah Andra.
“Aku pergi dulu” Jawab Pria itu.
Kemudian Pria itu langsung pergi meninggalkan Afiksi sendiri di taman bunga itu. Ia menyadari kepergian pria itu. Namun Ia tak mampu menghalangi kepergiannya, karena Afiksi masih tersentak dengan suara itu. Ia berusaha mengingat kembali suara siapakah itu. Suara itu sangatlah mirip dengan suara Andra.
Pria itulah yang membawa Andra dan Afiksi ke rumah sakit. Ia baru saja datang dari luar kota. Saat dalam perjalanan ia melihat kejadian kecelakaan itu. Setelah mengetahui bahwa korbannya adalah Afiksi, ia langsung membawa Andra dan Afiksi kerumah sakit.
Ia juga menghadiri pemakaman Andra. Disana ia bersama Ibu Afiksi yang kemudian mengenalkannya pada Rama. Dan Rama lah yang menceritakan semua hal tentang Andra dan Afiksi.
“Jadi kau kekasih pertama yang diceritakan oleh Afiksi itu?” Kata Rama.
“Ya, nama q Gara. Gara Zulian” Jawab Pria itu.
Gara, wajahnya tak terlalu mirip dengan Andra. Namun, bagi orang yang mengenal dekat keduanya, tentu akan mengatakan bahwa keduanya sangatlah mirip. Caranya berbicara, tersenyum, tatap matanya, dan caranya bersikap sangatlah mirip dengan Andra. Dan hal itulah yang membuat Afiksi jatuh cinta pada Andra.
Meski tak diakuinya, namun kemiripan Andra dengan Gara telah membuat Afiksi jatuh cinta padanya.
Selama ini Andra harus tinggal di kota yang berbeda. Ia adalah keturunan darah biru. Karena itu, ia telah dijodohkan sejak ia masih kecil oleh kedua orang tuanya. Tak ingin Afiksi kecewa, ia pun pergi meninggalkan Afiksi tanpa sepengetahuan Afiksi.
Namun kini ia telah kembali. Wanita yang dijodohkan padanya ternyata juga mencintai orang lain. Karena itu, kedua keluarga itu sepakat untuk membatalkan perjodohan itu. Untuk itu, Gara datang ke kota tempat tinggal Afiksi. Ia berharap bisa kembali melihat cintanya yang sempat tertutup kabut.
“Aku banyak mendengar tentang kau dari Afiksi dan ibunya. Setelah kepergianmu, karena adanya Andra Afiksi telah berhasil melupakanmu. Dan sekarang, baginya Andra adalah orang yang jauh lebih penting dari pada kamu. Aku yakin kamu mengerti maksudku” Terang Rama.
“Tentu saja. Aku datang kesini untuk menebus kesalahanku pada Afiksi di masa lalu. Aku tak akan lagi membuatnya meneteskan air matanya lagi” Kata Gara.
Deru angin mengiringi langkah kaki pengantar jenazah meninggalkan tempat pemakaman Andra. Tetes-tetes air mata kian menjauh dari tempat Andra berbaring untuk selamanya. Taburan bunga diatas gundukan tanah itu menjadi pemberian terakhir dari orang-orang yang begitu menyayangi Andra.
Namun, bagi seseorang Andra masih ada di hatinya. Baginya Andra tak pernah mati. Tidak hanya sebagai kata-kata indah, namun karena ia memang tak pernah mengetahui bahwa orang yang penting dalam hidupnya telah tiada.
Afiksi, kini hanya menjadi seorang gadis buta yang duduk dikursi roda. Tatapan mata indahnya kini hanya terbalut perban putih. Senyum manis kini hanya sedikit saja menghiasi bibir merah mudanya. Dan kata-kata lembutnya kini jarang terdengar karena Andra yang selama ini menjadi teman hidupnya harus digantikan oleh tongkat hitam yang selalu disisinya. Meski ia tak pernah tahu bahwa Andra tak akan pernah kembali untuk menemuinya.
Suatu hari ia pernah datang ke sekolah untuk memberikannya izin tak mengikuti kegiatan belajar mengajar hingga ia sembuh dari kebutaanya. Namun seolah kehadirannya tak diharapkan oleh teman-temannya. Beberapa Siswi seakan menyalahkan Afiksi atas kecelakaan yang menimpa Afiksi dan Andra. Sedangkan siswa-siswa yang dahulu begitu memujanya, kini hanya memandang rendah dirinya.
Perban putih tak hanya menutupi matanya, namun kecantikannya juga tertutup seiring kebutaan itu. Keterbatasan melihat juga membuatnya sulit untuk kembali bersosialisasi dengan siswa-siswi di SMA itu. Ia merasa kecewa karena siswa-siswi itu mau berteman hanya karena kecantikannya.
Namun semua itu berbeda dengan Nita, Rama, Rio, Nopri, Widya dan Tiara tetap setia bersahabat dengannya. Bagi mereka persahabatan bukanlah mengenai raga, namun ikatan jiwa lah yang menjalin persahabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar