aya selaku penulis bernama lengkap Edo Chandra, lahir di Lubuklinggau tanggal 27 Mei 1992. Saya memiliki hobby bermain basket. Bagi saya basket adalah hidup. Karena dari basket itulah saya mengenal teman2 yang begitu hebat. Tak hanya dalam bermain basket, namun juga hebat dalam menjalin persahabatan, pergaulan, hingga pendidikan.
Kemampuan menulis tak serta merta sebagai buah dari iseng2. Karena sebelum menulis Novel ini, saya telah menciptakan banyak puisi baik untuk koleksi pribadi maupun yang saya gunakan untuk mengikuti lomba dan pentas seni.
Karya terhebat saya adalah Puisi yang berjudul “Ayat-ayat Cinta”. Puisi itu saya ciptakan sebagai pengiring lagu Ayat-ayat cinta pada salah satu acara sekolah. Pada acara sekolah itulah puisi saya didengarkan oleh ratusan orang. Tak hanya dari kalangan pelajar, namun juga wali murid dan pejabat pemerintahan.
Ide menulis novel perdana ini bermula dari kebosanan saya pada aktivitas kerja yang itu-itu saja. Setelah menerbitkan novel perdana ini, terbesit dihati saya untuk menerbitkan kembali novel2 berikutnya. Meski belum maksimal, namun saya cukup puas dengan hasil novel ini.
Seorang wanita mengirimkan pesan singkat pada saya. Seperti remaja2 biasanya pesan itu berisikan permintaan untuk berkenalan. Hanya dengan sedikit rasa curiga, saya sampaikan nama saya meski sebenarnya ia telah mengetahui siapa saya. Dan wanita itupun menyebutkan bahwa namanya adalah Vina Afiksi. Bermula dari hal itulah saya mengangkat nama Afiksi tersebut menjadi tokoh utama dalam novel ini.
Rasa penasaran saya untuk mengetahui siapa Afiksi sebenarnya muncul. Analisa saya menunjukkan bahwa Afiksi mungkin adalah adik tingkat saya di Sekolah. Hal itu sangat mungkin karena saya menjadi siswa nomor satu di sekolah (Ketua OSIS). Tak perlu menunggu lama, salah satu adik tingkat yang di introgasi menyampaikan siapa Afiksi sebenarnya.
Meski nama Afiksi itu hanyalah nama samaran, namun wanita itu benar2 nyata. Saya menemui Afiksi pada saat Masa Orientasi Sekolah (MOS) dimulai. Meski sedikit rasa dendam muncul di hati, namun dia telah membuatku terpanah. Beberapa detik waktu terhenti ketika aku tertegun menatapnya. Dan sampai sekarang, dia menjadi orang yang cukup spesial bagiku.
Nama Andra muncul sebagai metamorfosa dari nama penulis, yaitu Edo Chandra. Nama itu muncul ketika salah satu temanku, Rindi Sartika mengusulkan nama Andra dikenakan pada kostum Basketku. Aku tak terlalu biasa membuat nama2 panggilan, namun Rindi wanita yang cukup hebat bagiku. Kekagumanku padanya membuatku mempertahankan nama pemberiannya yang tak sengaja itu.
Nama tokoh lainnya juga diambil dari nama2 teman dekatku yang bisa aku samarkan. * Reni Yunita menjadi Nita. * Rupiawan Pramari menjadi Rama. * Iskandar Nopriansyah menjadi Nopri. * Arieo Roza Saputra menjadi Rio. * Aprias Metiara menjadi Tiara. * Novia Widya Wati menjadi Widya. * Ade Sugara menjadi Gara. Sedangkan beberapa nama teman2ku lainnya tak masuk dalam novel ini karena cukup sulit disamarkan.
Suasana SMA Negeri 2 Muara Beliti menjadi setting tempat dalam novel ini. Tempat itu sangat bersejarah bagiku. Karena disanalah aku menemukan hidup yang sebenarnya. Di sanalah aku menemukan sahabat2 terbaik. Di sana juga aku mengalami sekelumit kisah cinta. Di sana aku menemukan gambaran jalan hidupku dimasa depan. Dan di sana juga aku menemukan permasalahan rumit yang harus aku selesaikan.
Tak hanya tempatnya yang bersejarah, orang2 yang berkecimpung di dalamnya pun menjadi sangat spesial. Hingga beberapa suasana pun ku tulis dalam novel ini. Salah satu Guru Pembimbing, ku cantumkan namanya pada novel ini. Dialah Ibu Musharofah, Guru Pembimbing pelajaran Bahasa Indonesia.
Selain itu, objek wisata Watervang juga menjadi setting tempat dalam novel ini. Alasan utama tentu karena aku bertempat tinggal di kawasan itu. Alsaan lainnya, tempat itu cukup menjadi penenang ketika sedikit kegundahan muncul dihatiku. Menatap jingganya langit biru di sore hari menjadi pengobat hati yang sangat manjur.
Inilah Novel perdanaku yang ku persembahkan untuk sahabat2ku, Almamater sekolahku, dan orang2 yang terus memberikan support dan kepercayaan padaku.
Mungkin Novel ini belum sempurna. Namun hal itu menjadi simbolisasi, bahwa meski kita semua tak sempurna tetapi ketidak sempurnaan itu menjadi warna indah yang selalu menghiasi langit hidupku.
fiksi masih terpaku. Ia tak tahu harus berbuat apa. Sepucuk surat ditangannya tergenggam kuat menyebabkan sampul surat itu sedikit rusak.
Sejenak kemudian Afiksi pulang kerumahnnya. Namun air mata yang biasanya menetes karena kepergian seseorang, tak mengalir di pipinya. Yang ia rasa saat itu hanya rasa sedih karena tak dapat mendapatkan konfirmasi langsung dari Gara.
Sesampai dirumah, barulah dibukanya surat itu. Dengan cara seksama dibacanya surat bertinta hitam itu.
Dear Afiksi
Aku tahu kau akan mencariku. Namun aku tak bisa menemuimu. Untuk saat ini, juga selamanya.
Tetesan airmataku di kertas ini mungkin telah mengering saat kau membaca surat ini. Tetesan airmata itu adalah tetesan airmata kekecewaan dan kebahagiaan.
Dahulu kau pernah berjanji kau akan membalas semua pengorbananku dengan cara menjadi pendampingku. Sejenak aku gembira mendengar kata-kata indahmu. Namun kau tak menepati janji itu hanya karena aku bukan dia dan aku dalam keadaan buta. Aku sangat kecewa atas semua itu.
Namun aku tetap tersenyum dalam kesendirian dan kebutaan ini. Karena meskipun aku jauh, namun bagian dari tubuhku akan tetap dan selalu bersamamu. Akupun berbahagia karena kau kembali bisa melihat indahnya dunia dengan mata pemberianku.
Kini Afiksi benar-benar tersentak. Ia baru mengetahui siapa yang sebenarnya mendonorkan mata padanya. Namun orang yang sangat berjasa itu pun kini telah meninggalkannya. Dan Afiksi hanya mampu terduduk menangis.
Dalam tangisnya ia tetap berpikir bagaimana caranya untuk bisa menemui Gara. Dan Ia teringat pada Rama yang selalu mengetahui detil tentang kehidupannya. Ia berharap Rama bisa memberikan jawaban keberadaan Gara. Maka dengan segera Ia menuju ke rumah Rama.
“Rama, Kau tahu dimana Gara?” Tanya Afiksi.
Rama yang terkejut dengan kedatangan Afiski tiba-tiba masih kebingungan dan tak harus menjawab apa.
“Bukankah Gara berada di Rumah Sakit” Jawab Rama.
“Dia telah pergi dari rumah sakit, dan dia hanya meninggalkan surat ini” Ucap Afiksi dalam sambil menangis.
“Lalu mengapa kau tak menceritakan padaku bahwa dialah yang telah mendonorkan mata ini?” Sambung Afiksi Lagi..
“Maafkan aku Afiksi. Aku telah berjanji pada Gara untuk tak menceritakan hal ini pada dirimu. Dan tentang kepergian Gara aku benar-benar tak mengetahuinya” Jelas Rama.
Afiksi tersandar pada sofa coklat bermotif bunga. Air matanya kembali menetes. Ramapun hanya terdiam berdiri di hadapan Afiksi. Rama tak tahu harus berbuat apa. Tatapan matanya masuk ke dalam mata Afiksi, seolah ia begitu merasakan kesedihan terdalam dari Afiksi. Sedikit ia merasakan penyesalan atas apa yang telah ia lakukan. Ia tak tahu apakah yang dilakukannya benar atau salah.
*********
Akhir dari sebuah kisah cinta hanya akan mengakibatkan dua hal yang akan terjadi pada saat bersamaan. Kebahagiaan dan kesedihan. Dua insan yang menang akan bahagia, namun disaat yang sama orang yang ditinggalkan karena kekalahan akan merasakan kesedihan.
Begitupun dengan Afiksi dan teman-temannya. Setelah kejadian itu Afiksi tak lagi menemukan pria yang bisa mengobati luka di hatinya. Ia tak ingin mengalami rasa sakit kehilangan orang yang ia sayangi untuk ketiga kalinya.
Pada beberapa Tahun kemudian Afiksi bukan lagi sebagai sosok anak remaja tujuh belasan. Kini ia menjelma sebagai sosok seorang pemimpin perusahaan. Namun begitu, wajah cantik Afiksi tak luntur dibawa umur. Senyum manisnya tetap merekah di antara anak buahnya. Sikap ramahnya tak berganti kesombongan meski jabatan tinggi tergenggam ditangannya.
Sementara itu Rama dan Nita telah membangun sebuah rumah tangga yang bahagia. Mengantar seorang anak laki-laki berumur lima tahun ke sekolah menjadi aktifitas Rama di tiap paginya.
Rio telah berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang Pilot. Begitupun Nopri yang berambisi menjadi seorang Polisi.
“Mama Afiksi..........” teriak seorang anak.
Afiksi menoleh dan menyambut kedatangan anak laki-laki itu dengan senyuman yang penuh kerinduan.
“Hei.. Andra apa kabar? Mama traktir kamu es krim, apa kau suka?” Tanya Afiksi pada anak itu.
“Suka sekali” Jawab anak itu dengan gembiranya.
Ya, anak itu bernama Andra. Putra tampan pasangan Rama dan Nita. Nama itu adalah pemberian dari Afiksi. Anak itulah yang selama ini menemani Afiksi dalam kesendiriannya. Anak itulah yang menjadi kekasihnya saat ini, yang menghiasi malamnya yang kelam. Menghangatkan tidurnya yang dingin. Anak itu sama berharganya dengan Andra ataupun Gara meski keduanya sulit untuk tergantikan di hati Afiski. Karena hal itulah hingga kini Afiksi tetap setia dalam kesendirian disaat teman-teman dekatnya telah melangsungkan pernikahan.
Afiksi, Rama, Nita dan Andra kecil duduk di taman sambil menikmati es krim di tangan.
“Afiksi, apakah kau tak terpikirkan untuk menikah?” Tanya Rama.
“Ku tak punya alasan untuk menikah” Jawab Afiksi.
“Tapi Afiksi, kau perlu seorang pendamping hidup yang bisa membahagiakanmu” Timpal Nita.
“Kalian semua adalah pendamping hidupku. Aku lebih bahagia melihat cinta yang nyata pada diri kalian semua dari pada menikmati cinta yang tak terlihat pada diriku sendiri. Ditambah lagi aku punya teman kecilku ini yang selalu memberikan senyum terbaiknya untukku” Kata Afiksi.
“Kami tak selalu berada di sisimu, Afiksi. Dan tak selamanya pula Andra kecil bisa membuatmu tersenyum” Ucap Rama.
“Aku tak ingin melakukan kesalahan yang sama untuk ketiga kalinya dan kehilangan orang yang kusayang untuk ketiga kalinya pula. Aku terlalu takut untuk jatuh. Karena ku tahu bahwa yang namanya jatuh selalu menyakitkan. Begitu pula jatuh cinta. Aku ingin tetap berdiri tegak seperti ini” Terang Afiksi.
“Kami berjanji tak akan pernah meninggalkanmu sendiri Afiksi” Ucap Tiara yang tiba-tiba datang dari belakang bersama Widya, Rio dan Nopri.
“Angin apa yang membawa kalian semua datang kemari?” Tanya Afiksi yang seolah bingung atas kehadiran mereka semua.
“Ibu Direktur, kau terlalu sibuk hingga lupa dengan hari ulang tahunmu sendiri” Ucap Widya.
“Seperti Tahun-tahun yang lalu, kami semua hadir disini untuk merayakannya” Tambah Rio.
Rona kegembiraan begitu terpancar diwajah Afiksi. Meski dalam kesibukan, teman-temannya tetap hadir membawakan kebahagiaan pada setiap hari ulang tahunnya.
Ia begitu menikmati kebahagiaan itu. Meski tak ada kekasih disampingnya, namun sahabat-sahabatnya melebihi saudara baginya. Sahabatnya tak selalu hadir dalam tiap suka maupun duka, namun sahabat-sahabatnya hadir mengubah duka menjadi suka. Mengganti kesedihan menjadi kegembiraan.
Afiksi meninggal dunia pada usia 35 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk wanita seperti Afiksi. Ketika ia meninggal, hanya dokter pribadinya yang mengetahui penyebab yang sebenarnya.
Sebelum meninggal, Afiksi berpesan kepada teman-temannya.
“Jika suatu saat aku meninggalkan kalian semua. Aku tak ingin setetespun air mata jatuh dari mata kalian. Selama bersama kalian tak pernah sekalipun kalian memberikan airmata padaku, kalian selalu memberikan senyuman padaku. Dan aku ingin hal itu selalu kalian lakukan hingga aku pergi” Ucap Afiksi lirih.
Satu bulan setelah pesan itu disampaikan, Afiksi pergi meninggalkan sahabat-sahabatnya untuk selamannya. Sesuai pesan itu, tak setetespun airmata jatuh di hari pemakaman Afiksi. Teman-teman Afiksi pun menyadari beban kehidupan berat yang ditanggung oleh Afiksi. Mereka berpikir setidaknya Afiksi bisa beristirahat dengan tenang setelah lelah menghadapi kehidupan yang begitu rumit.
“Selamat jalan Afiksi. Wanita terindah, senyummu terukir dihati kami”
***************
Itulah kisah dari seorang gadis cantik bernama Afiksi. Sekilas terlihat bahwa karena cinta kebahagiaan hanya hadir sesaat dalam hidup manusia. Namun jika kita mampu menatap cinta yang sebenarnya, begitu banyak cinta disekitar kita yang selalu memberikan kebahabagiaan.
Cinta pada kekasih hanyalah cinta tak terlihat yang akan menjadikan buta terhadap apa yang tengah dan akan terjadi. Dan cinta yang terpatri dalam bentuk persahabatanlah yang menjadi cinta yang nyata. Yang akan menjadikan penikmatnya hidup dan mengerti tentang apa yang telah, tengah dan akan terjadi.
Ndah dunia mampu ia rasakan kembali. Alunan tangkai bunga yang tertiup angin seolah mengajaknya menari. Namun wanita itu hanya duduk terpaku menatap itu semua. Entah apa yang direnungkannya.
“Mata ini terlalu berharga untuk diberikan padaku. Siapakah orang yang rela memberikan matanya ini hanya untuk memberikan kebahagiannya padaku?” Pikir Afiksi.
Pikiran itulah yang terus menggelayuti pikiran Afiksi. Ia tak pernah mengetahui siapa yang telah mendonorkan mata indah padanya itu. Terkadang ia merasa menyesal karena telah menggunakan organ yang berharga milik orang lain.
Suara kursi roda yang bergesekan dengan lantai melintas dibelakangnya. Ia telah sangat hapal dengan lengkingan suara kursi roda itu. Karena pada beberapa waktu yang lalu iapun telah duduk diatasnya.
Perlahan ia menoleh kearah melintasnya kursi roda itu. Seorang pria yang umurnya tak terpaut jauh dari Afiksi duduk diatas kursi roda itu. Matanya terbalut perban putih, mirip dengan balutan perban Afiski saat Ia buta. Seorang suster cantik mendorong kursi roda itu menuju ruang perawatan.
Afiksi merasa tersentak. Bukan hanya rasa iba yang membuatnya terkejut. Namun, karena ia mengenali pria itu. Pria yang dahulu pernah berada disampingnya.
Hentakan langkah kaki beberapa orang menuju kearah Afiksi. Dan sapaan dari salah satunya menyadarkan Afiksi dari lamunannya.
“Hei Afiksi. Apa yang kau lamunkan?” Tanya Nita.
“Apakah itu benar-benar dia?” Tanya Afiksi.
“Dia siapa? Tidak ada siapa-siapa disini. Sudahlah lupakan saja. Kami kesini mau mengajakmu pulang” Kata Nita lagi.
“Baiklah” Ucap Afiksi singkat.
Afiksi tak menjelaskan apa yang baru saja dilihatnya. Ia tak ingin meyakinkan dirinya bahwa pria itu adalah orang yang ia kenal. Seolah, meski ia mengenal orang itu, namun ia tak ingin mengingatnya.
Keesokan harinya, Afiski memutuskan untuk kembali ke Rumah Sakit itu. Ketika berjalan di koridor, kembali ia melihat Pria yang dilihatnya kemarin. Meski berat, perlahan ia dekati Pria yang tengah duduk di bangku taman itu.
“Gara, Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Afiksi.
Ya, pria itu adalah Gara. Orang yang selama ini menemani Afiksi dalam kebutaan. Namun, keadaan yang terlihat kini sangat mengejutkan. Gara ternyata juga mengalami kebutaan.
“Kamu siapa? Sepertinya suara ini tak asing bagiku” Tanya Gara.
“Aku Afiksi” Jawab Afiski.
“Afiksi. Apakah kau telah bisa kembali melihat?” Tanya Gara lagi.
“Bagaimana kau tahu bahwa aku mengalami kebutaan?” Tanya Afiksi.
“Apakah Rama belum menceritakan padamu?” Tanya Gara lagi.
“Tentang apa? Apa yang mereka sembunyikan dariku?” Desak Afiksi.
Berondongan pertanyaan dari Afiksi menyudutkan Gara. Semua itu membuat Gara bingung. Ia tak tahu apakah harus menjelaskannya atau tidak.
Menunggu jawaban dari Gara yang menurut Afiksi terlalu lama, membuat Afiksi tak sabar dan pergi meniggalkan Gara. Ia bermaksud menanyakan langsung pada Rama.
“Kalau begitu aku akan pergi menanyakannya pada Rama” Ucap Afiksi.
“Kau tak perlu pergi kemana-mana. Aku sudah ada disini” Ucap seseorang yang muncul dari belakang Afiksi.
“Rama. Baguslah kau ada disini. Kau mempunyai tanggung jawab untuk menceritakan semuanya padaku” Desak Afiski.
“Apa yang ingin kau tahu?” Tanya Rama.
“Dimana Andra?” Tanya Afiski.
“Saat kalian mengalami kecelakaan, Andra meninggal dunia” Jelas Rama
Deraian airmata Afiksi perlahan menetes dari matanya. Airmata yang bagaikan butiran berlian itu menangisi seorang yang begitu berharga baginya, sama berharganya dengan berlian indah yang melilit dijarinya sebagai sebuah cincin.
“Jika Andra meninggal, lalu siapa yang menemaniku selama ini?” Tanyanya tak percaya.
“Pada hari yang sama, Gara datang. Dialah yang menggantikan Andra untuk menjagamu” Ucap Rama.
“Begitu mudahnya kalian menggantikan seseorang dengan orang yang berbeda. Apakah kalian tak pernah memikirkan perasaanku?” Ucap Afiksi.
“Saat itu, Andra adalah orang yang paling penting dalam hidupmu. Kami tak yakin kau akan kuat jika mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Karena itulah aku bersedia menggantikan Andra selama kau mengalami kebutaan” Tambah Gara.
“Andra adalah orang yang terpenting dalam hidupku. Saat itu, sekarang dan selamanya. Rama, sekarang kau tunjukkan aku dimana makam Andra” Ajak Afiksi.
“Afiksi. Dahulu kau pernah berkata bahwa siapapun aku, kau akan membalas semuanya dengan cara menjadi pendampingku. Kini aku menagih janjimu itu” Ucap Gara.
“Aku mengucapkan hal itu karena aku berpikir bahwa kau bukanlah kau. Apalagi kau juga buta. Aku pernah merasakan kebutaan. Maka tak mungkin aku menjadi pendampingmu” Jawab Afiksi.
Afiskipun segera berlalu bersama Rama. Dengan bercucuran airmata yang masih mengalir di pipinya, mereka pergi menuju tempat pemakaman Andra. Seakan airmata itu tak akan kering setelah ia mengetahui bahwa Andra telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.
Gara menyadari kepergian Afiksi. Ia tak dapat berbuat apa-apa. Kebutaanya membuatnya tak mampu menghalangi Afiksi. Hatinya terkoyak mendengar kata-kata Afiksi. Ia merasa sedih tak mampu meyakinkan Afiski mengenai janji yang telah diucapkannya dahulu.
****
Afiksi mengurung dirinya di dalam kamar. Rasa sesal dan kesal memuncak di pikirannya, karena ia tak pernah mengetahui bahwa Andra telah pergi meninggalkannya. Bahkan orang yang sangat tak ingin dia temuilah yang menemaninya selama ia mengalami kebutaan yang ternyata saat ini juga mengalami kebutaan.
Rasa amarahpun mendidih dihatinya. Ia tak habis pikir kenapa teman-temannya menyembunyikan fakta yang sebenarnya dari dirinya. Meski iapun berusaha mengerti bahwa teman-temannya hanya menginginkan hal terbaik untuk dirinya.
Rama datang menemui Afiksi untuk menjelaskan apa yang terjadi. Sejenak Afiksi tak menerima kedatangan Rama. Namun keingintahuan Afiksi mengenai hal yang sebenarnya membuatnya bersedia untuk berbincang-bincang dengan Rama.
Secara mendetil Rama menceritakan fakta-fakta sejak Afiksi dan Andra mengalami kecelakaan, kemudian Gara datang sebagai sosok pahlawan hingga pada Akhirnya Afiksi kembali dapat melihat.
Afiksi adalah seorang wanita yang kuat. Ia tak ingin lama-lama terpuruk dalam kesedihan. Cerita dari Rama membuatnya menyadari bahwa kembali hadirnya Gara sangat penting baginya saat itu. Meski luka yang ia rasa kali ini tak akan pernah sembuh. Ia menyadari bahwa kesedihannya tak akan bisa membangkitkan Andra dari tidur panjangnya.
Setelah beberapa hari berkurung diri di dalam kamar, ia memutuskan untuk menemui Gara di rumah sakit. Ia kembali mengharapkan konfirmasi dari Gara tentang apa yang terjadi.
Sesampai di Rumah Sakit, seorang perawat menghampiri Afiksi.
“Mbak Afiksi Ya? Mau menemui Gara kan?” Tanyanya.
“Ya. Ada Apa?” Afiksi Balik Tanya.
“Gara sudah tidak dirawat disini lagi. Dia hanya menitipkan surat ini untuk kamu” Jelas perawat itu.
“Apa yang terjadi? Kenapa ia tidak lagi dirawat disini?” Tanya Afiksi.
“Ia tak meninggalkan kata-kata apapun selain surat ini” Jawab perawat.
Afiski terdiam. Ia harus kembali harus kehilangan seeorang yang menjadi hal penting dalam hidupnya. Setelah kepergian Gara, Andra hadir menjadi cahaya baru dalam hidupnya. Disaat Andra pergi, Gara kembali hadir sebagai udara hangat bagi malam kelamnya. Dan kini iapun harus kembali kehilangan Gara. Hanya sepucuk surat bersampul amplop biru berhias bunga Lili yang menjadi pengganti semua itu.
Lalu kemanakah Gara pergi? Apakah isi surat itu? Akankah Afiksi kembali bertemu dengan Gara?
Semua pertanyaan itu akan terjawab pada Bab terakhir novel ini. Jadi, nantikanlah.
iat hati memetik bintang, apa daya tangan tak sampai. Mungkin ungkapan itulah yang sesuai dengan keadaan Afiksi saat ini. Disaat ia tengah bahagia mendapatkan kabar akan melakukan cangkok mata, namun harus dibatalkan karena orang yang dimaksud telah terlebih dahulu meninggal dunia.
Meski tak ditunjukkannya raut wajah kesedihannya, namun orang-orang terdekatnya mengerti rasa kekecewaan di hati Afiksi.
“Afiksi, Maafkan kami karena tak memastikan terlebih dahulu keberadaan pendonor tersebut” Kata salah satu keluarga Afiksi.
“Kalian tidak perlu bersedih. Aku yakin suatu ketika aku akan bisa meihat lagi. Hanya saja tidak sekarang” Ucap Afiksi berusaha menenangkan.
“Kami akan kembali mencari informasi tentang pendonor lainya” Ucap Rama.
“Kalian tidak perlu memaksakan diri” Kata Afiksi.
Kesedihan sedikit terobati melihat Afiksi yang begitu tabah menjalani semua ujian ini. Bagi wanita lain, kecantikan yang tertutup oleh kebutaan tentulah menjadi ujian terberat dalam hidup. Namun, semua hal itu tidak berlaku untuk Afiksi. Sungguh kemulian hati sang bidadari yang terpancar pada diri Afiksi
Siang berlalu tanpa hasil positif. Pulang ke Musi Rawaspun tak akan mungkin. Akhirnya mereka semua memutuskan untuk menginap di sebuah hotel di kota itu.
Gara menemani Afiksi makan malam. Setelah itu keduanya duduk di taman hotel menikmati dinginnya malam sebuah ibukota provinsi. Deru hilir mudik kendaraan memekik ditelinga. Asap-asap kendaraan mendekorasi setiap sudut jalan kota.
“Afiksi, apa kau tidak apa-apa?” Tanya Gara.
“Aku baik-baik saja” Jawab Afiksi.
“Meski kau berusaha menutupi itu semua, namun aku merasakan kekecewaan dalam hatimu itu” Tambah Gara.
“Manusia merasakan kekecewaan itu adalah hal yang normal sebagai mahluk sempurna. Namun, aku tetap yakin akan ada hikmah besar dari ini semua” Ucap Afiksi.
“Aku bersumpah, kau akan bisa kembali melihat gemerlapnya dunia” Ucap Gara dalam hatinya.
Sebuah janji yang diucapkan laki-laki adalah harga diri. Bagi laki-laki, tak ada hal membanggakan selain menepati janji yang telah terucap. Entah cara apa yang terpikirkan oleh Gara hingga ia dapat berjanji bahkan bersumpah memberikan cahaya pada mata Afiksi.
Esok harinya mereka kembali pulang ke kota tempat tinggalnya. Membawa sebuah asa yang telah patah. terbungkus oleh sedikit deraian airmata. Berawal dari suka cita, berakhir dengan tanpa canda tawa.
****
Langit gelap menyelimuti malam yang dingin. Berseteru sepasang cicak di dinding putih memperebutkan seekor nyamuk. Suara kicau burung hantu menyemarakkan pesta bintang dilangit yang kelam.
Seorang gadis berdiri di balkon lantai dua sebuah rumah megah. Kepalanya menengadah ke langit dan bibir tipisnya berikan senyuman pada bulan sabit. Ingin membalas, rembulan sebarkan beberapa titik kehangatan hingga menerobos cela-cela ranting kecil.
Hentakan sepatu seiring derap langkah kaki seorang laki-laki yang berjalan menyusuri tangga marmer putih menuju lantai dua. Hingga akhirnya langkah kaki itu terhenti beberapa meter di dekat gadis itu. Kemudian secara perlahan langkah kaki itu kembali berayun menuju balkon berhias tirai warna merah jambu yang terikat di dinding.
Digenggamnya tangan gadis itu seiring sapan ringan.
“Afiksi. Sudah malam, kau belum tidur?” Tanya Gara.
Seolah telah menyadari kedatangan laki-laki itu. Sang gadis tak terkejut dengan genggaman dan suara sapaan itu.
“Mata hatiku yang ingin melihat rembulan membuat mataku yang selalu terpejam tak bisa terlelap” Jawab Afiksi.
“Namun kau tetap harus menjaga kesehatanmu. Hangat rembulan tak akan mampu menutupi dinginnya udara malam” Ucap Gara.
“Kau pun belum tidur” Kata Afiksi.
“Echm.... Aku ke sini untuk melihat keadaanmu sekaligus memberikan kabar bahagia untukmu” Kata Gara.
“Kabar Apa? Apakah sepenting itu hingga kau harus datang malam ini?” Tanya Afiksi.
“Tiga hari lagi matamu akan dioperasi. Dan kita tak perlu keluar kota. Karena pendonornya ada di kota ini” Jawab Gara.
“Andra, Aku bahagia dengan keadaanku seperti ini. Aku tak ingin kalian kembali kecewa seandainya cangkok mata ini kembali gagal” Kata Afiksi.
Seakan kalimat itu menghentikan waktu. Keduanya tak lagi mengucapkan kata-kata apapun. Namun tatap mata Gara tak terlepas dari perban putih yang menutupi mata Afiksi.
“Untuk kali ini aku yakinkan bahwa kau pasti akan bisa kembali melihat. Setelah itu ku harap kau bersedia menepati janjimu dahulu” Pungkas Gara.
“Aku hanyalah manusia biasa yang mempunyai kewajiban menepati janji” Afiksi meyakinkan.
Langkah kaki Gara menghantarkan Afiksi menuju tempat pembaringannya. Sebuah kecupan hangat dikening Afiksi menjadi lambang perpisahan mereka malam itu. Atau mungkin untuk selamanya.
Setelah malam itu, Gara tak lagi menemui Afiksi. Bahkan hingga hari ketiga. Hari dimana mata Afiksi harus dioperasi. Namun Afiksi tetap bersikap tenang. Ia yakin bahwa Gara yang dianggapnya sebagai Andra mempunyai alasan logis hingga tak dapat mengantarkannya menjalankan operasi pencangkokan mata.
Operasi berlangsung lancar. Beberapa teman Afiksi yang terus menunggu hingga proses operasi selesai mengucapkan syukur. Kini mereka hanya tinggal menunggu hasil akhir dari operasi itu. Hari dimana perban itu dibuka. Dan melihat sinar dari lingkaran bola mata Afiksi.
Kini hari-hari tak lagi dilewati dengan kesedihan. Namun harap-harap cemas tetap menggelayuti pikiran Afiksi dan orang-orang terdekatnya. Mereka berpikir bagaimana seandainya operasi tersebut tak membuahkan hasil yang diharapkan.
“Rama, sudah tiga hari sejak aku menjalani pencangkokan mata. Namun, sampai sekarang aku belum mengetahui siapa orang yang telah rela memberikan bola matanya untukku” Tanya Afiksi pada Rama.
Ia sudah menduga bahwa Afiksi pasti akan menanyakan hal ini. Namun, jawaban terbaik belum didapatkan olehnya. Seandainya Afiksi mengetahui siapa yang telah memberikan matanya, bagaimana jika Afiksi ingin bertemu dengan orang itu. Rama sengaja menyembunyikan jawaban atas semua pertanyaan dari Afiksi.
“Kau tak perlu memikirkan hal itu. Yang perlu kau pikirkan hanyalah kesiapan mentalmu menghadapi hari pelepasan perban dua hari lagi” Jawab Rama.
“Sudah lebih dari satu minggu Andra tak menemuiku. Bahkan pada saat aku menjalani operasi, ia pun tak datang. Apa kau tahu kemana dia pergi?” Tanya Afiksi Lagi.
Kembali Rama tersentak oleh pertanyaan Afiksi. Entah apa yang dipikirkan oleh Rama hingga ia tak ingin memberitahukan hal yang sebenarnya pada Afiksi. Apakah Rama takut seandainya Afiksi telah mampu melihat dan mengetahui bahwa Andra yang menemaninya selama ia buta adalah Gara? Dan apakah menghilangnya Gara juga terkait dengan hal itu? Hanya Rama dan Nita yang mengetahui itu semua. Bahkan keluarga Afiksi yang super sibuk tak punya waktu untuk mengetahui hal yang sebenarnya.
Dua hari berlalu terlalu cepat. Afiksi belum siap untuk kembali melihat. Belum kembalinya Andra membuat ia tak berani untuk kembali merasakan keiindahan seisi jagat. Namun, protokoler kedokteran harus tetap berjalan. Perban di mata Afiksi harus dibuka pagi itu.
“Dok, bolehkah ditunda beberapa jam lagi? Masih ada orang yang harus kutunggu” Ucap Afiksi.
“Jika terlalu siang, khawatirnya matamu tak siap untuk menangkap sinar matahari yang terlalu banyak” Jawab Dokter.
“Afiksi, yakinlah. Andra pasti akan datang” Ucap Rama menenangkan.
Satu hal yang sangat berat bagi Afiksi. Ia bingung siapa orang yang harus menjadi orang pertama yang melihat dan dilihatnya saat pertama kali ia kembali membuka mata. Ibunya tentu saja sibuk dengan pekerjaannya. Hanya perawat pribadi Afiksi yang mewakili kehadiran sang Ibunda. Sedangkan Andra, tak akan pernah kembali hadir di hadapannya. Karena yang selama ini menemaninya selama ia tak mampu melihat adalah Gara.
Perlahan, lilitan perban putih itu dilepaskan. Degupan jantung kian cepat seiring kian menipisnya lilitan perban yang mengelilingi matanya. Hingga akhirnya terlihat sepasang perban yang menutupi sepasang mata Afiksi.
“Sekarang kamu buka mata kamu secara perlahan” Ucap Dokter.
Terlihat jelas wajah gugup dari orang-orang yang hadir di ruangan itu. Mereka semua menanti reaksi apakah yang akan diperlihatkan oleh Afiksi ketika pertama kali membuka mata.
Perlahan Afiksi membuka matanya. Sinar bola mata berwarna coklat memancar dari sepasang mata itu. Kembali terlihatlah kecantikan Afiksi yang selama ini tertutup oleh kelamnya pandangan Afiksi. Bibir manisnya pun perlahan bergerak berusaha ucapkan kata.
“Aku bisa melihat” Ucap Afiksi.
Satu kalimat dari Afiksi itu membuat sumringah semua orang yang hadir. Serentak meski tak bersamaan mereka ucapkan syukur kepada Tuhan atas nikmat-Nya yang kembali diberikan kepada Afiksi.
Namun, rona bahagia hanya sedikit terpancar dari wajah Afiksi. Dia masih gundah dengan tidak hadirnya Andra di ruangan itu.
Lalu bagaimanakah cara Rama dan kawan-kawan memberitahukan hal yang sebenarnya mengenai Andra kepad Afiksi? Dan mengapakah Gara juga tak hadir pada saat yang membahagiakan itu?