Satu letusan menggema
dan pria tua itupun jatuh tersungkur. Aku hanya mampu mengintip di balik tong
sampah. Menghindari lesatan amunisi para penjajah. Sembunyi dari granat-granat
yang betebaran hilir mudik berganti.
Pria tua itu berpaling
ke arahku. Tubuhnya terkelungkup memeluk tanah air. Tubuh tuanya bersimbah
darah. Dari kejauhan ku lihat kilauan di matanya. Perlahan mengaliri pipinya
yang kotor. Tatapan mata yang bersuara memanggilku, meminta pertolongan. Raut
wajahnya menahan kesakitan yang luar biasa. Peluru telak menembus ulu hatinya.
Kini aku berdiri, di antara
dentum yang pekakkan telinga. Beranjak menunduk menghampiri pria tua yang
tersungkur. Aku berdiri tepat di pangkal lorong jalan rambutan, persimpangan
kecil di tengah kota penghasil kopi. Rempah yang menjadi alasan klasik para
pedagang asing mampir ke bumi pertiwi kami.
Keelokan tanah kartini,
berbaris bukit hijau memagari tanah subur nan cantik. Cukuplah pucuk kayu kami
tancapkan ke tanah, tunggulah beberapa bulan maka akan kami dapatkan berkah
yang berlimpah. Cukuplah batu kami lemparkan ke pesisir, tunggulah beberapa
bulan, karang nan rupawan menghiasi lautan. Mungkin kekuasaan alam inilah yang
mereka idamkan. Keindahan dan kesuburan alam yang tidak ada di tanah kelahiran
mereka.
Tak tepat pula jika
dikatakan ratusan tahun pertiwi kami dijajah. Namun benarlah jika silih
berganti para tamu merampas kunci rumah kami. Memaksa masuk ke dapur
mengobrak-abrik isi rumah. Mempecundangi tuan rumah menjadikan budak romusa.
Entah kemana tokoh dongeng
yang seringkali ku dengar ketika beranjak tidur. Ilmu rawarontek yang tetap
dapat hidup meski ditebas berkali-kali. Atau jurus kunyuk melempar buah yang
berkilauan meledakkan pepohonan yang dilewatinya. Tidakkah cukup jurus-jurus
dan kekuatan ajaib itu untuk mengusir mereka?
Kemana pula kerajaan
majapahit yang memayungi panji-panji nusantara. Kapankah berakhirnya kekuasaan
sriwijaya yang menguasai malaka bahkan pesisir afrika?
***
Ku menatap sekeliling
dengan parang yang ku genggam erat. Parang pemberian ayahku.
“Jika pria asing
berdiri dengan senapan membidik kearahmu, maka lepaskanlah golok itu dan
merunduklah. Semoga penjajah itu tak menembakmu. Tapi jika ia tak bersenjata,
tebaskan parangmu ke lehernya. Jika kau takut, cukup pejamkan matamu. Kalaupun
tak mengenainya, setidaknya kau telah berikhtiar.” Pesan ayahku tak jua
timbulkan keberanian dalam hatiku. Aku tetap gemetar ketika melihat granat
wara-wiri di atas kepala. Bahkan aku terkencing di celana ketika ayahku
menggeprak meja karena ibuku yang tak mau di ajak mengungsi.
Aku yang seorang sulung
tak jua mampu menjadi teladan bagi dua orang adik lelakiku – Mungkin lebih
tepat aku katakan kedua almarhum adik lelakiku –. Keduanya tewas digantung
tanpa melalui peradilan setelah keduanya melempari mobil patroli dengan batu
kerikil. Batu kerikil itu tak pula membuat lecet mobil penjajah, namun amarah
tak terpendam para tentara ketika mendengar teriakan “Sekali merdeka tetap
merdeka”. Kalimat yang seringkali kami dengar dari lantangnya suara pejuang.
***
Di sebelah kanan ku
lihat pembela tanah air dengan merah putih pengikat kepala merunduk di belakang
karung pasir. Menunggu pasukan penjajah berhenti menembak. Ketika suara letusan
tak lagi terdengar dari arah musuh. Mereka berdiri, dengan gagah tarik pelatuk
senapan rampasan perang.
Di sebelah kiri,
sekelompok pemuda dengan baju coklat dengan percikan warna merah tua berlindung
di balik gedung. Sebagian dari mereka serentak bergerak maju menuju sebuah
gedung tua bekas hotel yang tak lagi berfungsi. Ketika peluru-peluru
beterbangan dari arah gedung, mereka tiarap dan merayap mencari persembunyian
sambil menembakkan senapan tua di tangan. Ketika musuh sibuk mengisi mesiu,
mereka kembali bergerak mendobrak pintu gedung, merangsek masuk. Suara letusan
kembali terdengar. Entah siapa yang mati.
Aku kembali menatap ke
depan, di ujung lorong seberang sana. Samar-samar ku lihat dua orang bergumul.
Beradu pedang pertahankan nyawa. Ayunan pedang tiba-tiba putuskan leher salah
satunya. Lalu yang bertahan hidup berlari mencari musuh yang lain sambil
berteriak “merdeka”.
Bayangan pemuda itu
hilang, alihkan perhatianku kembali pada pria tua yang kian meringis. Aku
melangkah perlahan. Menghampiri pria tua.
Nafasnya sedu sedan.
Menikmati udara yang kembali mengucur keluar bersama darah yang terus mengalir.
Tangannya gemetar dalam genggamanku. Beberapa kata mungkin ingin ia ucapkan.
Namun getar tubuhnya lebih kencang daripada getar lidahnya.
Akupun gemetar. Dengan
sosok tubuh yang sekarat dipangkuanku. Terlalu banyak yang ingin aku ungkapkan.
Melebihi dari banyaknya nyawa yang hilang dalam peperangan. Terlalu bingung
untuk bertingkah. Seperti seorang bocah yang menatap masa depannya terbujur
berlumur darah.
***
Gemuruh perang belum
nampak usainya. Tak henti ledakan senapan bersahutan. Terkikik berlarian
mengincar tubuh kurus kerontang. Mengoyak daging kisut menembus tulang rapuh.
Selongsong bertebaran.
Dalam keramaian, suara
lantang menyaingi. “Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia. ...”.
Teriakan kemerdekaan
menyahut lantang. Darah kebebasan terukir pada senapan. Lesatkan peluru
kemerdekaan mengusir mundur para penjajah.
Ya. Suara ledakan
perlahan memudar. Tersamar oleh teriak haru kemerdekaan. Pejuang hidup seret
mayat sesama dengan terseok-seok. Kumpulkan mayat di bawah tiang bambu dengan
merah putih melambai tinggi. Lima jari berbaris rapi pada pelipis kanan,
berikan hormat terakhir.
Sedangkan aku masih
terapit di antara gedung tua bercorak merah darah. Hanya mampu mendengar jejak
kaki pengibar merah putih. Berlari kesana kemari. Dan sosok yang terbujur di pangkuanku,
kian diam. Terlelap bersama kemerdekaannya. Tubuhnya yang tak berat ku gendong
di pangkuanku. Kulangkahkan kaki ke arah Matahari yang sepenggalan naik. Beribu
kata yang ingin ku ucap, hanya ku bisikkan lirih. “Ayah, negara kita sudah
merdeka. Mari kita pulang”.
Lubuklinggau, Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar