Tangan
ayah mendarat lagi di pipi Bunda. Mereka kembali bertengkar dengan permasalahan
yang sama. Dengan pertengkaran yang serupa. Dengan kalimat cacian yang tak
beda. Bunda tak pernah mau mengalah, sedangkan ayah terus memaksa. Keduanya
yang tak mau dikatakan keras kepala. Terus bertahan dengan ego.
Ayah
berlalu pergi. Langkahnya tak ragu. Meninggalkan Bunda dengan air mata meraih sofa
di ruang tamu. Bunda terduduk menutup wajahnya yang basah. Sedang aku hanya
mampu mendengar isaknya. Tanganku belum berdaya untuk menghapus air matanya.
Bahkan sekedar untuk mengatakan “Bunda jangan menangis”, aku pun tak sanggup.
Lembut
bunda mengelusku. Tangannya bergetar. Rasa takutnya membuat detak jantungku
kian kencang. Ingin pula ikut menangis bersama Bunda, Namun air mata bunda
telah cukup untuk mewakili tangisku. Hanya rasa benciku yang belum
terlampiaskan. Rasa benci pada seorang pria yang tega membuat wanita cantik ini
meneteskan air mata.
Ya,
Bundaku sangat cantik. Rambutnya panjang menyusuri liuk punggungnya. Parasnya
elok cerminan kesempurnaan ciptaan Tuhan. Mata bulatnya gambaran sosok wanita
cerdas memandang masa depan penuh keyakinan. Betapa tidak seorang eksekutif
muda begitu terpanah olehnya.
Beberapa
kali Bunda bercerita bagaimana ia pertama kali berkenalan dengan ayah. Saat itu
Bunda tengah kuliah tingkat akhir di jurusan Manajemen Bisnis Universitas
Sriwijaya. Sebuah Universitas ternama yang menjadi cita-cita pelajar
se-Sumatera Selatan.
Bunda
yang sedari mengenakan seragam putih merah tak pernah keluar dari peringkat
tiga besar, dengan mudahnya diterima di Universitas tersebut. Meski tawaran
dari Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung dengan segala
beasiswa yang ditawarkan, Bunda tetap memilih Universitas Sriwijaya sebagai
wadahnya menuntut ilmu. Dengan kecerdasannya itu pula, Bunda menjadi Asisten
Dosen Mata Kuliah Pemberdayaan SDM. Dan seorang pria bernama Dr. Gunawan adalah
dosen penanggung jawabnya. Seorang Pria tampan yang kini ku panggil ayah.
Bunda
sering kali pulang cukup larut, ayah dengan senang hati mengantarkannya pulang.
Seringkali Bunda menolak tawaran pulang dari ayah. Bunda lebih memilih naik
angkutan masal Trans Musi.
Suasana
halte ramai seperti biasanya. Bunda merasa khawatir tidak mendapatkan tempat
duduk. Jika bahkan berdiripun sudah tidak bisa, maka terpaksalah Bunda naik
ojek. Suatu hal yang sangat beresiko bagi gadis secantik Bunda. Tapi kali ini Bunda
mendapatkan tempat duduknya. Karena seorang pria telah duduk terlebih dahulu
dengan menyisakan satu tempat duduk untuk Bunda. Aksi romantis yang meluluhkan
hati setiap wanita.
Bunda
juga pernah bercerita bahwa ayah pernah mengungkapkan cinta di depan mahasiswa
saat suasana belajar berlangsung. Tidak dengan setangkai mawar atau sekotak
coklat. Bukan pula dengan puisi ataupun lagu cinta. Tapi dengan spanduk besar
dan seragam cheerleader. Aksi konyol ayah hari itu menjadi awal bagi hubungan
mereka yang lebih intim.
Senyum
Bunda begitu manis ketika menceritakan masa-masa indah itu. Rasa sakit dari
tamparan ayah sesaat terlupakan. Tergambar jelas rasa bahagia Bunda di
masa-masa indah itu. Bahkan dengan mengenangnya pun telah membuat Bunda merasa
sangat bahagia.
***
Senyum
Bunda seketika memudar. Air matanya kembali menetes. Tergurat rasa sakit di
wajahnya. Rasa perih yang teramat sangat. Bahkan hanya dengan menatap matanya,
Orang lain akan tahu bahwa bunda sangat menderita.
Perlahan
Bunda menceritakan padaku masa-masa suram dari hubungan mereka. Ayah yang
hampir setiap malam minggu menemui bunda, kini tak lagi memberikan kabar. Saat
bertemu, bukanlah rindu dak kasih sayang yang terluapkan. Tetapi pertengkaran
yang terjadi.
Bunda
merasa ayah telah berubah. Tak ada lagi aksi konyol yang membuat bunda
menyimpulkan senyum di bibirnya. Tak ada lagi aksi romantis yang membuat pipi
bunda merah merona. Kasih sayang dan kehangatan kian hilang karena mereka telah
lewatkan malam bersama-sama pada satu ranjang.
Hingga
kini ayah dan bunda menjadi pasangan yang tidak halal. Rasa cinta diantara
mereka tidak berlandaskan pada buku nikah dan ijab qabul. Menjadikanku dihujat
dengan nama “anak haram”.
Kehadiranku
dalam kehidupan bunda membuat bunda terusir dari rumah. Kakek dan nenek merasa
malu memiliki cucu sebelum anaknya berdiri di pelaminan. Mereka lebih memilih
untuk tidak melihat bunda lagi daripada mencari orang yang lebih pantas untuk
bertanggung jawab.
Meski
begitu, Bunda sangat menyayangiku. Tak pernah hari terlewati olehku tanpa
belaian hangat dari bunda. Akulah tempat bunda berkeluh kesah. Aku yang
mendengarkan tanpa berkomentar. Sehingga tidak pula menyampaikannya pada orang
lain.
Aku
yang selalu bersama bunda dengan segala yang ia alami. Seperti di hari ini.
Hari dimana untuk kesekian kalinya ayah dan bunda bertengkar. Hari dimana untuk
kesekian kalinya ibu ditampar. Hari dimana untuk pertama kalinya Ibu tahu bahwa
selama ini ayah telah memiliki seorang isteri.
Ya,
ayah telah mengatakan kebenarannya. Kebenaran yang tak pernah bunda bayangkan. Kebenaran
yang tak pernah terlintas dalam angan dan mimpi. Kebenaran yang menjadi alasan
ayah meminta bunda untuk membunuhku.
Ayah
menyesali kekhilafannya di masa yang lalu. Dan ayah tak ingin melakukan
kekhilafan lagi dengan membiarkanku tetap hidup. Sebuah alasan sederhana untuk
menghilangkan nyawa darah dagingnya.
Ayah
adalah orang yang paling tidak menginginkanku terlahir ke dunia. Berulang kali
ayah meminta bunda untuk membunuhku. Namun bunda berkeras melindungi.
Sepertinya
ayah sangat menyayangi isteri sah-nya. Kedua anaknya juga menjadi alasan
baginya untuk tidak meninggalkan isterinya. Terlebih lagi karir yang telah ia
bangun akan sirna karena mertuanyalah yang memberikan semua akses bagi jalan
kesuksesannya. Itulah mengapa ayah tidak menginginkanku. Ayah takut kehadiranku
akan menghapuskan semua yang telah ia jaga selama ini.
***
Ibu
terbaring di sebuah ranjang perawatan. Bukan di rumah sakit. Ibu berbaring di
sebuah ranjang bidan yang melaksanakan praktek aborsi. Ibu akan menggugurkan
kandungannya. Membunuhku.
Aku
yang belum sempat menghela nafas pertamaku. Barulah bernyawa kini harus mati.
Belum sempat orang-orang melihatku sebagai sosok bayi yang masih merah. Kini
aku harus hilang, bahkan dari ingatan mereka.
Selimut
hangat yang membungkusku tercabik oleh tangan-tangan perak tak berperasaan.
Tubuh mungilku terpenggal perlahan. Terpisah satu persatu. Hingga jantungku
berhenti berdetak ketika tangan itu sampai pula merobek dadaku. Jantungku
terkoyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar