“VICKINISASI” DALAM BAHASA



Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan penggunaan bahasa “intelektual” yang disebut sebagai “vickinisasi”. Kesalahan pemilihan kata dan penggunaan imbuhan yang kurang tepat oleh publik figur berinisial “VP” dalam sebuah konferensi pers menjadi olok-olok yang telah menyebar luas. Istilah “labil ekonomi, konspirasi hati dan statusisasi” menjadi beberapa kata yang sering digunakan dalam berkomunikasi.
Fenomena ini sebenarnya adalah puncak dari kacaunya penggunaan bahasa dalam masyarakat. Sudah sejak lama Bahasa Indonesia bercampur aduk dengan bahasa-bahasa asing tanpa memperhatikan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Publik figur, Pejabat Negara, Pemuka Agama, Tokoh Masyarakat yang semestinya menjadi panutan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Hal yang sama juga mestinya perlu menjadi perhatian pihak-pihak yang berkutat dengan dunia kepenulisan seperti konseptor, penulis, wartawan dan penerbit.
Bahasa Indonesia sudah ditetapkan sebagai bahasa negara seperti tercantum dalam Pasal 36 Undang-undang Dasar 1945 . Oleh karena itu, semua warga negara Indonesia wajib menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Dalam hal ini bahasa utamanya digunakan untuk melakukan komunikasi antar seseorang dengan orang lainnya. Untuk itu penggunaan bahasa haruslah dimengerti oleh kedua belah pihak. Ketika salah satu pihak menggunakan bahasa yang tidak lazim atau asing bagi orang lain, maka komunikasi tidak akan berjalan dengan baik.
Dalam buku 1001 Kesalahan Berbahasa, Dr. Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa menyampaikan dalam sambutannya bahwa Pemakai bahasa sudah sepatutnya dapat menggunakan kosakata yang dikuasainya dengan tepat. Akibat pemilihan kata yang kurang tepat, kalimat akan menjadi samar-samar bahkan menggelikan.
Untuk kasus “vickinisasi” sendiri, hal yang sangat berpengaruh dalam masyarakat adalah penggunaan akhiran –isasi atau –asi yang rancu. Akhiran –isasi atau –asi tidak hanya digunakan dalam kata statusisasi saja, kini juga bermunculan istilah-istilah baru seperti : harmonisasi, komputerisasi dan lain sebagainya.
Penggunaan akhiran –isasi atau –asi sebenarnya digunakan untuk menggantikan akhiran –ir atau –er yang berasal dari bahasa asing. Seperti kata legalisasi, bukan legalisir. Atau kata koordinasi, bukan koordinir.
Sebagian besar dari kita menganggap legalisir adalah kata yang tepat. Namun E. Zaenal Arifin dan Farid Hadi (2009) menjelaskan bahwa kata legalisir diserap dari bahasa belanda yaitu Legaliseren. Tetapi kelas katanya adalah kata kerja yang berarti mengesahkan atau membenarkan. Jika kata kerja legalisir yang sudah memiliki makna mengesahkan ditambahkan imbuhan me- akan menjadi melegalisir maka arti katanya adalah “memembenarkan” atau “memengesahkan”. Demikian juga jika ditambahkan imbuhan di-, maka akan terbentuk kata dilegalisir yang jika diartikan memiliki makna “dimengesahkan”.
Hal yang sama juga berlaku untuk kata-kata lain seperti: koordinir, lokalisir, mengkoordini, konfrontir, dramatisir dan tolerir. Sedangkan kata yang semestinya adalah : koordinasi, lokalisasi, mengkoordinasi, konfrontasi, dramatisasi  dan toleransi.
Jadi sebenarnya “Vickinisasi” sendiri mengingatkan kita untuk menggunakan akhiran yang tepat untuk serapan bahasa asing. Namun penggunaan akhiran –asi atau –isasi yang berlebihan dalam “vickinisasi” juga tidak baik. Misalnya kalimat “saya tidak ingin mengganggu harmonisasi keluarga mereka”. Alangkah lebih baik jika  menggunakan kalimat “saya tidak ingin mengganggu keharmonisan keluarga mereka”. Atau kalimat “ujian CPNS kini telah dikomputerisasi”. Alangkah baiknya jika kita menggunakan kalimat “ujian CPNS kini telah berbasis komputer”. 
Untuk itu dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tahun ini, marilah kita gunakan momentum “vickinisasi” ini untuk kembali menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia sebagaimana isi Sumpah Pemuda. Jangan sampai “vickinisasi” justru “menjerumuskan” kita pada penggunaan bahasa yang lebih rancu lagi. Istilah-istilah “vickinisasi” cukuplah sebatas olok-olok sesaat saja, masyarakat tidak perlu memunculkan istilah-istilah “vickinisasi” baru yang membuat istilah-istilah ini kian tak terkendali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed by Animart Powered by Blogger