“Kemarin Aku tidak
sempat memperkirakan hari ini. Dan hari ini Aku belum sempat berpikir untuk
esok. Tapi hari ini Aku teringat hari kemarin. Maka hari ini takkan kubuat
mawar menangis. Agar esok Aku dapat mengingat mawar indah hari ini” tulis Mala
dalam blognya.
Mala seorang
blogger muda. Ya, Dia muda. Dan Dia cantik. Rambut hitamnya panjang
bergelombang. Parasnya tak usah diterka-terka, yang jelas dia cantik. Itu saja.
Rotasi waktu
membawanya pada terik yang menyengat. Rumah kost-nya tanpa pendingin ruangan -
terkadang cicak yang sedang merayappun gosong terbakar. Tapi Mala takkan
terpanggang. Seorang pemuda siap menjemputnya. Mengajaknya dating di minggu ceria itu.
“Mala. Aku jemput
kamu sekarang ya” pesan masuk di ponsel Mala.
Mala menutup notebook-nya. Ia bergegas mandi. Ya,
jangan pernah berharap Mala akan mandi di pagi hari. Ia tidak bisa dipaksa
untuk dua hal. Salah satunya dipaksa mandi pagi.
Hari tetap terik. Langit sepi dari mahluknya
yang merajai angkasa. Bunga-bunga? Warnanya tetap merona indah. Tapi jangan
harap wanginya akan semerbak. Mala hanya suka menanamnya. Tapi ia tak pandai
merawat. Filosipi yang ia bangun dari hal itu “Meski tanpa bantuan dari
manusia, tanaman tetap mendapat jaminan rejeki dari penciptanya. Begitu jugga
manusia”. Hal yang cukup menarik untuk menutupi sikap cueknya.
Tok..tok..tok..
Bel pintu
berbunyi. Ya, suara bel pintu memang tidak seperti itu. Itu lebih mirip suara
ketukan pintu dari seseorang yang sedang sariawan. Tapi, sudahlah. Seorang
pemuda sudah berdiri di depan rumah kost Mala. Kasihan pemuda itu berdiri
terlalu lama jika penulis harus membahas ketukan pintu terlebih dahulu.
Mala belum usai
dengan persiapannya. Ia tidak ingin terlihat kurang sempurna di mata sang
gebetan. Touch up pipi kiri-kanan. Perona bibir menggaris lekuk bibir seksinya.
Dan ia bergegas keluar kamar menyambut sang pangeran yang masih menunggu.
“Ups. Mala, kamu
lupa melepas roll rambutmu”. Suara
penulis menggema di telinga Mala.
Mala kembali ke
kamar melepas roll rambut merah
jambunya.
“Sorry ya, udah buat loe nunggu lama”
“Untuk seorang
dewi, penantian akan menjelma menjadi rindu yang begitu manis”
Ah! Sang pemuda
begitu pandai merayu. Pujiannya hanya setipis kulit ari dengan kebohongan.
Mungkin hanya karena ia belum tahu kebiasaan dewi yang ia sanjungkan. Kira-kira
Dewi dari khayangan sebelah mana yang malas mandi.
“Jadi loe mau
ajak gue kemana nih?” Mala bertanya dengan tanggapan “ya” untuk setiap jawaban.
“Kita makan di
restoran apung ya. Gimana?”
***
Komala Dewi – Jika
ada kesamaan nama, tempat dan kejadian itu hanya kebetulan semata. Gadis ini
telah membuat seorang pemuda begitu terpana karenanya. Bukan cinta pada
pandangan pertama. Karena keduanya telah berteman cukup lama. Berbagi kisah dalam
curhat colongan telah membuat mereka sama-sama mengetahui karakter
masing-masing.
Namun keduanya
belum terikat pada status berpacaran. Sang pemuda masih berusaha meyakinkan
diri bahwa Mala adalah dewi yang ia nantikan selama ini. Sedang Mala adalah penganut
aliran emansipasi wanita dengan pengecualian. Ia mengakui wanita bisa melakukan
segala hal yang dilakukan pria kecuali untuk menyatakan cinta lebih dahulu.
Tapi kisah
jomblo kedua insan akan berganti kisah sepasang insan pada hari ini. Sang
pemuda akan menyatakan cintanya.
Ia telah siapkan
semuanya. Sebuah restoran yang terapung di atas Sungai Musi dengan dekorasi
warna merah cerah. Sepasang lilin meski matahari bersinar terik siang itu. Satu
set makan siang yang romantis.
“Mala, Aku memandangmu
sebagai sosok separuh dewi. Karena kau tidak hanya sekedar dewi yang membuat
pelangi dalam hidupku. Kau juga seorang putri yang membuat setiap ksatria
berlomba dengan panah terbaiknya. Kau juga seorang bidadari bagi para penghuni
syurga. Dan lebih dari itu, Aku memandangmu sebagai sosok seorang Ibu bagi
anak-anakku.”
Mala terdiam.
Tangannya tak mampu bergerak dari genggaman kedua tangan sang pemuda.
Tatapannya kosong entah kemana. Ah, dia sudah berlatih untuk kondisi seperti
ini sejak lam. Tapi saat keromantisan ini benar-benar terjadi ia tak mampu
mengendalikan diri.
“Maaf, mbak. Ini
makanan yang sudah di pesan” Seorang waiter menyela.
Makanan
disajikan pada meja segi empat yang telah bertahtakan lilin yang menyala sendu.
Bukan untuk menerangi. Hanya sekedar pengusir lalat yang mungkin akan
mengganggu keromantisan.
Mala belum
menjawab pernyataan pemuda di hadapannya. Tapi sajian di depan mereka telah
mengundang untuk dinikmati. Keduanya menyantapnya. Sajian hidangan laut dan
sungai Musi.
Mala mohon diri
untuk pergi ke kamar mandi. Namun beberapa lama Mala tak kembali. Seorang
waiters mendatangi mejanya dan mengabari sang pemuda bahwa Mala jatuh pingsan
di kamar mandi dan tengah dirawat di ruang manager restoran.
Ya, Mala
pingsan. Bukan karena pernyataan pemuda idamannya yang belum ia jawab “iya”.
Bukan pula karena terjatuh di kamar mandi seperti Nikita Willy. Tetapi makanan
yang ada di hadapannya. Mala tidak suka makan ikan.
Namun tidak
mungkin Mala menolak semua yang sudah disiapkan dengan begitu sempurna. Ia mengetahui
begitu sulit untuk menyiapkan mental mengungkapkan cinta pada orang yang
disukai. Karena selama ini begitu pula yang Mala rasakan.
Begitulah Mala.
Ia bukan manusia setengah dewi yang begitu menawan tanpa rasa benci. Setidaknya
Ia benci pada Ikan.
Dan kini Mala
tetaplah bukan manusia setengah dewi. Tapi seorang pemuda akan mencintainya
bagai dewi.
Lubuklinggau, 4
Desember 2013
Keren..
BalasHapusItu ajha dech..