BAB II

E

mpat Minggu sudah Afiksi bersekolah di SMA Negeri Musi Rawas. Sedikit pengalaman baru telah ia terima, berbagai ilmu baru telah ia pelajari, dan lingkungan baru yang lebih sejuk dibandingkan kota tempat tinggalnya yang lalu. Banyak orang yang telah ia kenal, dan tak sedikit pula siswa-siswa yang bermaksud untuk mendekatinya, lebih dekat dari seorang teman. Ya, walaupun baru satu bulan ia bersekolah disana, namun pesonanya telah menyinari hati siswa-siswa sejak pandangan pertama.

Treeeeeeeeeeeetttttttttt........Treeeeeeeeeeeeeeettttttttt.....

Bunyi bel sekolah membuat ramai suasana ditiap kelas, Tak terkecuali kelas XI IPA 2. Lengkingan bel istirahat itu mengisyaratkan semua siswa-siswi untuk segera keluar kelas, menuju tempat yang selalu ramai ketika jam istirahat tiba, kantin. Afiksi bersama Widya dan Tiara, teman yang duduk di depannya pun tak menyia-nyiakan waktu istirahat ini. Mereka pergi ke kantin, setidaknya untuk melepaskan dahaga selama pelajaran Fisika yang memang sedikit menyita tenaga dan pikiran.

“Hai Afiksi???” Sapa seseorang yang tiba-tiba duduk di samping Afiksi.

“Ech, Hai Rama.” Jawab Afiksi sedikit terkejut.

“Pulang nanti aku antar ya!?” tawar Rama.

“Aku tak mau merepotkanmu, apalagi nanti kamu kan harus mengantar Nita pulang” Jawab Afiksi.

“Kok jadi bahas tentang dia sih? Aku dengan dia tuch gak ada apa-apa, dia emang suka ama aku, tapi aku tak memperdulikannya” Sanggah Rama.

“Iya nih Rama, pacar sudah segudang juga, masih mau aja deketin cewek lain, ntar aku bilangain Indah loh” Ujar Widya yang tiba-tiba ikut mengobrol.

Rama adalah salah satu dari banyak siswa yang terus berusaha mendekati Afiksi. Berbagai cara dilakukan oleh siswa-siswa selama 1 bulan ini untuk mendapatkan hati Afiksi. Ada yang memberikan puisi setiap pagi, menyelipkan bunga dimeja Afiksi, membentuk kelompok belajar bersama Afiksi, hingga yang langsung mendekatinya seperti Rama, sang Playboy Sekolah putra anggota DPRD.

Rasanya memang tak aneh jika siswa-siswa itu rela meninggalkan pacar-pacar mereka demi mendapatkan hati Afiksi. Afiksi adalah wanita yang cantik, baik, cerdas, dan menarik. Setidaknya begitu pendapat mereka tentang Afiksi.

Namun, ada seseorang yang membuat Afiksi merasa kagum. Andra, Ketu Kelas yang juga seorang Ketua OSIS di SMA itu. Seorang yang cerdas, juga memiliki penampilan yang sangat jauh lebih menarik jika dibandingkan dengan Rama. Keahliannya bermain basket juga telah membuat banyak siswi bergabung dalam Tim Basket. Bukan hanya untuk belajar bermain basket, tapi juga berusaha untuk selalu dekat dengannya.

Sejauh ini memang Andra lah yang tak ingin ikut dalam aktivitas teman-temannya untuk mendapatkan Afiksi. Mungkin kesibukan telah menguras banyak waktunya, sehingga ia tak punya lagi waktu untuk memikirkan tentang Afiksi. Sekarangpun Andra bersama Nofri dan Rio sibuk menyiapkan proposal pelaksanaan lomba antar kelas untuk diajukan ke Kepala Sekolah.

“Andra, kamu tahu kan Afiksi, siswi baru dikelasmu itu?” tanya Rio.

“Ya, aku tahu. Kenapa?” Jawab Andra.

“Wah! Dia itu cewek tercantik yang pernah aku lihat. Kalo Sandra Dewi sih, masih belum apa-apa” Puji Rio.

“Bener tuh, Aku juga sependapat sama Rio. Kamu punya Nomor Hapenya gak, An?” Sambung Nofri.

“Gak ada tuch” Jawab Andra singkat.

“Kamu kelihatan gak ada respon sama cewek secantik itu, atau jangan-jangan kamu gak suka cewek lagi” tanya Rio pada Andra.

“Ya, ku akui dia orangnya cantik, menarik, pintar, hanya saja aku gak mau kewajibanku jadi berantakan hanya karena seorang cewek” Jawab Andra dengan pasti.

“Baiklah, kita pegang omongan kamu. Kalo sampe kamu ketahuan suka sama dia, kamu harus traktir kita, setuju” Tantang Nopri.

“Oke. I agree with you” Jawab Andra.

Bel masuk kini telah berbunyi, semua siswa kembali menuju kelasnya masing-masing. Afiksi dan teman-temannya sedikit mempercepat langkah. Pelajaran yang akan mereka hadapi berikutnya adalah Kimia. Mereka tahu betul karakter guru pembimbing mereka yang satu itu, sehingga mereka tak mau terlambat satu menitpun karena tak mau mendapat hukuman membersihkan ruang kelas lagi.

Di dalam kelas, beberapa siswa telah siap di tempat duduknya. Sedang siswa lainnya terlihat jelas masih berjalan sambil ngobrol santai melintasi lapangan basket. Dewan guru juga telah keluar dari kantornya, menuju ruang kelas untuk melaksanakan kewajiban mengajarnya.

Afiksi menuju tempat duduknya, bangku kedua dari belakang. Meja belajarnya tak terlalu bersih, coretan memenuhi tiap sisi meja itu. Tertulis jelas puluhan nama siswa yang merupakan nama siswa yang sebelumbya duduk ditempat itu, ataupun tulisan kata-kata mutiara dari kakak kelasnya yang telah tamat. Tulisan itu tak lagi membuat Afiksi heran, selama satu bulan ini, tiap harinya ia telah melihat tulisan-tulisan itu.

Namun kini Afiksi sedikit terperanjat melihat sesuatu di bangku tempat duduknya. Sebuah surat berwarna merah jambu, berhias pita warna merah hati, dan tertulis indah nama Pina Afiksi pada kolom nama orang yang dituju oleh surat itu. Seringkali Afiksi menerima surat kaleng. Namun surat itu diterimanya pada pagi hari, bukan seusai istirahat seperti ini. Ditambah lagi kali ini surat itu tertulis nama pengirimnya, berbeda dengan yang sering ia terima sebelumnya.

Dibukanya ikatan pita merah hati itu. Ia tak lagi membaca isi surat itu. Karena selama satu bulan ini ia telah banyak membaca berbagai surat cinta dan puisi-puisi indah. Ia hanya penasaran dengan siapa yang kali ini memberikannya surat itu. Di bagian akhir surat itu tertulis sebuah nama, nama yang selama ini ia kagumi, Andra.

Kini ia mulai tertarik untuk membaca isi dari surat merah jambu itu. Tinta berwarna biru, dengan rangkaian tulisan tangan bertahta di sepucuk kertas itu. Terukir jelas kata kata dalam surat itu :

Dear Afiksi.

Ku tak tahu, kata apa yang harus aku tulis di atas kertas ini. Bahkan sejuta kata dalam kamus telah aku pilih, namun tetap tak mampu mengungkapkan penilaianku tentang dirimu.

Kerlipan bintang dari matamu, membuat malam-malamku sunyi tanpa melihatmu. Sinar wajahmu bagai rembulan membuat malam-malamku begitu kelam tanpa hadirmu. Sejuk kata-katamu membuatku terlalu terhanyut dalam mimpi-mimpiku.

Hanya kata-kata berwujud lukisan pena yang mampu wakilkan hatiku. Karena ku tak terlalu kuat untuk menatap indah matamu. Ku tak terlalu perkasa untuk berada disampingmu. Ku tak terlalu hebat untuk ucapkan kata-kata dihadapmu.

Ia terperanjat. Apakah surat ini benar-benar dari Andra? Untuk apa Andra mengirim surat itu? Mengapa ia tidak menyerahkannya langsung? Hal-hal itulah yang kini membayangi pikirannya.

“Hei Afiksi....Hei, itu Pak Guru sudah datang” Kejut Tiara.

Afiksi tersadar dari lamunannya. Tanpa ia sadari Pak Tito, Guru mata pelajaran Kimia telah berdiri didepan kelas. Afiksi duduk sambil tetap memikirkan tentang surat tersebut. Berpuluh pertanyaan menggelayut di pikirannya. Ia tetap bingung, benarkah Andra yang mengirimkan surat itu.

Pak Tito memulai pelajarannya pada hari itu. Namun bayang-bayang tentang surat itu masih mengganggu Afiksi. Diperhatikannya Andra yang duduk di bangku paling depan tengah mengikuti dengan serius pelajaran pada siang yang terik itu. Terlihat tak ada reaksi apapun dari Andra. Ataukah Andra terlihat sedikit malu-malu karena mengetahui bahwa surat itu telah dibaca olehnya. Namun tidak demikian yang dia lihat. Andra terlihat begitu santai, yang terlihat hanyalah sikap kesungguhan belajar yang seperti biasa dia tunjukkan.

“Mungkin ini hanya pekerjaan orang-orang iseng yang mengatasnamakan Andra. Namun, dilihat dari tulisannya, sangat jelas berbeda dari surat-surat yang ia terima sebelumnya” Begitu pikirnya.

“Jika benar surat ini dari Andra, lalu apa yang akan Andra lakukan berikutnya. Apakah ia akan mengungkapkannya langsung? Ataukah dia akan tetap tak berani untuk berkata langsung padaku? Huh..dasar Andra, mengapa kamu membuatku bingung seperti ini”Gumamnya.

“Afiksi....Afiksi....”

Terdengar suara pak Tito membangunkan Afiksi dari lamunannya.

“Apa yang sedang kamu pikirkan? Apakah kurang sehat?” Tanya pak Tito.

“Maaf pak, saya kurang konsentrasi” Jawab Afiksi.

“Hei Afiksi. Kamu dari tadi melamunkan apa? Pak Tito dari tadi merhatiin kamu tuh?” Tanya Widya.

“Gak tahu nih, aku lagi gak konsentrasi hari ini” Jawab Afiksi.

“Afiksi, Coba kamu kerjakan soal nomor 2” Suruh pak Tito.

“Baik, Pak”Jawab Afiksi.

Afiksi berjalan menuju papan tulis. Ia sedikit menghela nafas untuk menghilangkan lamunannya. Kemudian Afiksi mulai mengerjakan soal itu dengan tenang. Dalam beberapa menit, soal yang diberikan Pak Tito selesai dikerjannya. Ya, walupun Afiksi tak memperhatikan penjelasan dari Pak Tito, namun Afiksi adalah anak yang pandai. Ia telah mempelajari materi dari Pak Tito satu hari sebelumnya. Sehingga, pada saat ia diminta mengerjakan tugas ia tetap mampu mengerjakannya.

Afiksi membalikkan tubuh untuk kembali ketempat duduknya. Diperhatikannya Andra yang sedang memeriksa jawaban yang ia kerjakan di papan tulis. Sesaat kemudian dilihatnya Andra tersenyum padanya. Hal itu membuatnya tertegun dan terpaku. Ia bertambah bingung, apakah makna senyum yang diberikan oleh Andra itu?

“Baik sekali. Ternyata kamu tetap bisa mengerjakan soal dari Bapak meskipun bapak tahu sejak tadi kamu tidak memperhatikan penjelasan bapak” Puji Pak Tito.

“Tapi, jika kamu sedang tidak sehat. Sebaiknya kamu istirahat saja diruangan UKS” Sambung Pak Tito

“Baik, Pak” Jawabnya singkat.

Afiksi mengambil tasnya, kemudian pergi meninggalkan ruang kelas itu. Ia berpikir bahwa lebih baik ia istirahat terlebih dahulu di ruangan UKS daripada harus terus melamun memperhatikan Andra yang akan berakibat ia dimarahi oleh Pak Tito. Setidaknya ia bisa memikirkan benarkah surat itu dari Andra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed by Animart Powered by Blogger