Tangan
ayah mendarat lagi di pipi Bunda. Mereka kembali bertengkar dengan permasalahan
yang sama. Dengan pertengkaran yang serupa. Dengan kalimat cacian yang tak
beda. Bunda tak pernah mau mengalah, sedangkan ayah terus memaksa. Keduanya
yang tak mau dikatakan keras kepala. Terus bertahan dengan ego.
Ayah
berlalu pergi. Langkahnya tak ragu. Meninggalkan Bunda dengan air mata meraih sofa
di ruang tamu. Bunda terduduk menutup wajahnya yang basah. Sedang aku hanya
mampu mendengar isaknya. Tanganku belum berdaya untuk menghapus air matanya.
Bahkan sekedar untuk mengatakan “Bunda jangan menangis”, aku pun tak sanggup.
Lembut
bunda mengelusku. Tangannya bergetar. Rasa takutnya membuat detak jantungku
kian kencang. Ingin pula ikut menangis bersama Bunda, Namun air mata bunda
telah cukup untuk mewakili tangisku. Hanya rasa benciku yang belum
terlampiaskan. Rasa benci pada seorang pria yang tega membuat wanita cantik ini
meneteskan air mata.
Ya,
Bundaku sangat cantik. Rambutnya panjang menyusuri liuk punggungnya. Parasnya
elok cerminan kesempurnaan ciptaan Tuhan. Mata bulatnya gambaran sosok wanita
cerdas memandang masa depan penuh keyakinan. Betapa tidak seorang eksekutif
muda begitu terpanah olehnya.
Beberapa
kali Bunda bercerita bagaimana ia pertama kali berkenalan dengan ayah. Saat itu
Bunda tengah kuliah tingkat akhir di jurusan Manajemen Bisnis Universitas
Sriwijaya. Sebuah Universitas ternama yang menjadi cita-cita pelajar
se-Sumatera Selatan.