MELATI DI WAKTU SUBUH



Suara itu kian renta. Bergetar diantara dedaunan beku berlapis embun. Meneriakkan kebesaran Tuhannya bersambung syahadat yang berulang. Aku kenal betul suara itu, yang setahun ini berkumandang di tiap subuh. Tak juga merdu, namun cukup mengganggu untuk memaksa hamba terjaga dan bersujud kepada Tuhannya.
Aku terjaga. Mengutuk parau suara muazin yang telah menghanyutkan keindahan Pantai Panjang, meski hanya dalam mimpi. Ingin rasanya ku cabik ayam-ayam yang menyahut pergantian malaikat dengan kokok liarnya.
Kini aku merenung, menatap langit-langit kamar yang hanya berlapis triplek tak bercat. Mengerutui muazin yang kian melengking tak karuan. Meneriakkan shalat mengajak pada kemenangan. Entah kemenangan apa yang ingin ia capai. Negara ini sudah merdeka, Islam sudah mendunia, Idul fitri setiap tahun.
Terlebih tak pula baik tabiatnya. Aku kenal betul siapa Dia. Dialah preman penguasa pasar terminal atas era 90-an. Pengedar narkoba tak mempan senapan aparat. Seorang Pemalak yang setiap hari mabuk, lupa anak istri jadi melarat. Ia juga yang menyebabkan istrinya tewas akibat persaingan bisnis barang haram.

***
“Bangsat si tua bangka itu. Sekarang aku benar-benar tidak bisa tidur lagi. Dia harus bertanggung jawab jika aku tidak bisa konsentrasi di kampus karena kurang istirahat” Begitu pikirku mengingat aku yang memang baru tidur satu jam yang lalu.
“Tak perlulah dia habiskan suaranya di pagi buta yang bahkan kucingku pun belum beranjak dari tidurnya. Sok mementingkan ibadah daripada istirahat. Bagaimana seseorang bisa beribadah jika kurang tidur. Toh, dengan bekerja setiap hari juga merupakan ibadah” Gerutuanku tetap tak menghentikan seraknya muazin yang kian memudar.
“Allahu akbar. Allahu akbar” pekik muazin kembali mengagungkan kekuasaan Tuhannya. Menegaskan eksistensi manusia sebagai hamba. Melafalkan kebesaran Allah melebihi alam semesta dengan berjuta galaksi.
Namun untuk kalimat ini suaranya tak lagi meninggi. Tak seperti senandung azan sebelumnya yang memekikkan telinga. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang konsisten dengan nada tinggi. Namun untuk satu hal ia masih sama, menyisipkan helaan nafas tuanya pada mikrofon yang sudah usang.
Aku menunggu. Lantunan penutup azan yang meng-esa-kan Tuhanku. Namun tak juga berkumandang dari speaker surau kecil itu.
Apakah mikrofon si tua itu kembali rusak seperti dua hari yang lalu ketika Pak RT meminta warga bergotong royong? Atau kini si tua itu lupa kalimat terakhirnya seperti ia pernah lupa membawa peci kesayangannya kemarin? Namun kini pertanyaan itu dijawab dengan merdu.
“Laila hailallah” Suara yang mengejutkanku. Ternyata si tua itu menyimpan suara emasnya untuk fase terakhir. Aku pun merinding dibuatnya.
Usai azan berkumandang, suara yang sama ternyata belum usai menembus pagi buta. Satu pengumuman membungkusku dalam kebekuan.
“Innalillahi wa inna ilaihiroji’un. Baru saja berpulang ke rahmatullah Sodikin bin Mujakir pada pukul 4.55 WIB”
Tiga kali salam memanggilku dari balik pintu. Aku tetap terbungkus dalam selimut coklat yang sedikit robek di sudutnya. Membeku tak terasa, panaspun tak kuhiraukan. Aku terbujur mendengar kabar si tua bangka akan dikubur.
Sebayaku memaksa masuk, memutar engsel pintu yang tak terkunci. Ia menemuiku dalam pandangan kosong tanpa fokus.
“Kawanku, ayahmu telah meninggal dunia. Kini kau menjadi yatim piatu”.

Lubuklinggau, 11 Agustus 2013. 05.20 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed by Animart Powered by Blogger