Aku duduk di teras
rumah. Menjulurkan kaki ke atas meja dengan segelas teh hangat tepat berada di sebelah
kanan kakiku. Perbukitan indah menghijau di belakang rumah tak kunikmati. Aku
lebih suka memandangi lalu lalang ibu-ibu menghampiri tukang sayur keliling
yang mereka panggil Mang Ujang.
Dari kejauhan ku dengar
pula kikik mereka usai membicarakan Bu Priyo yang menang undian mobil namun
ternyata hanyalah undian bohong dari sebuah produk kopi sachet. Lalu salah seorang mengajak ibu-ibu yang lainnya menunduk
dan berbicara berbisik. Aku lihat matanya melirik ke arah seberang rumahku.
Seorang wanita muda tengah menyiram bunga di pot-pot hitam pekarangan rumahnya.
Siska, yang telah menjadi rahasia umum sebagai wanita simpanan pejabat.
Siska memang sangat
cantik. Tubuhnya pun molek bukan kepalang. Tak heran jika pejabat dengan tiga
isteri sekalipun jatuh hati padanya.
Tapi bukan Siska yang
sepenuhnya menarik perhatianku selama dua minggu ini. Seorang ibu menggendong
anaknya yang setiap pagi melintas di depan rumahku. Anehnya aku tidak pernah
melihat ia menuju ke arah sebaliknya. Seolah dia pergi tanpa pulang, tapi esok
pagi ia pergi lagi.
Aku baru dua minggu
pindah ke komplek perumahan ini. Distributor makanan ringan tempatku bekerja membuka
cabang baru, dan aku ditugaskan untuk menjadi kepala cabang di kota ini. Aku
belum berkeluarga, sehingga tak masalah bagiku jika sesekali di waktu sore hari
aku sedikit nakal menggoda siska yang sedang duduk yoga di dekat kolam renang
samping rumahnya.
“Sudah jam delapan.
Mana ibu itu? Kok belum terlihat”
Baru usai aku bergumam.
Seorang wanita melintas. Ya, seperti biasa, anaknya ia gendong di punggungnya
dengan kain abu-abu yang mulai lusuh sebagai pengikat. Tangan kanannya memegang
sebuah piring. Ia melangkah tergesa-gesa diburu waktu.
Aku berniat menghampirinya.
Namun kakiku menyentuh gelas di atas meja. Aku kaget kepanasan dan mengelap
kakiku dengan lap kaki yang ada di dekat pintu. Ketika melihat ke jalan, ibu
itu sudah tak terlihat lagi. Hanya Mang Ujang yang telihat mendorong gerobaknya
yang mulai kosong.
“Mang ujang” teriakku
menghentikan mang ujang.
“Wanita yang baru saja
lewat, mang ujang kenal?” Tanyaku.
“Oh, itu mbak Darsih.
Tinggal di ujung komplek dekat kuburan. Dia tinggal dengan tiga orang anaknya”
Terang Mang Ujang.
“Suaminya?”
“Suaminya pergi sekitar
setengah tahun yang lalu. Sejak itu setiap hari dia berjualan seriping pisang.
Sudah dulu ya. Saya mau keliling lagi” Tukas Mang Ujang
Seriping pisang adalah
sebutan masyarakat Sumatera Selatan untuk keripik pisang yang digoreng tipis.
Biasanya sebelum di goreng direndam dalam air garam agar lebih gurih. Dan Mbak
Darsih sangat dikenal dengan seriping pisangnya. Karena itu ia seringkali
disebut Darsih Seriping.
Penjelasan Mang Ujang
tak surutkan rasa penasaranku. Aku bergegas mengikuti arah wanita itu berjalan.
Jika aku sedikit berlari kecil, mungkin aku bisa mengejarnya.
Dan benar saja, ia
terlihat di ujung komplek. Berdiri di depan pagar sebuah rumah. Ia menyerahkan
piring ditangannya. Dan seorang ibu tua memindahkan isi piring ke piring yang
lainnya. Lalu mengembalikan piring sambil memberikan uang kepada Mbak Darsih.
Seperti yang dikatakan
Mang Ujang. Sepertinya Mbak Darsih menjual seriping pisang yang dibawanya
kepada ibu tua di rumah itu.
Mbak Darsih mulai
berjalan lagi. Ia tidak berbalik ke arahku. Ia meneruskan langkah kakiknya ke
arah yang sama. Dan aku tetap mengikutinya dari jauh. Kali ini ia kembali
berhenti di sebuah warung kecil. Penjaga warung sepertinya telah hapal dengan
Mbak Darsih. Ia menyerahkan pisang yang masih hijau kepada Mbak Darsih. Tidak
banyak, hanya setengah sisir pisang.
Usai mendapatkan apa
yang ia butuhkan, Mbak Darsih berlalu. Ia berbelok menuju rumahnya. Aku tetap
mengikutinya sambil terus menghubungkan semua hal yang ku lihat di pagi ini.
Cukup jauh berjalan,
akhinya Mbak Darsih sampai di rumahnya. Mungkin lebih layak dikatakan sebuah
pondok. Pondok kecil dipinggir kuburan. Tepat berbatasan dengan pagar komplek
yang bolong di salah satu sisinya. Di sisi yang bolong itulah Mbak Darsih masuk
ke komplek menjual seriping pisangnya.
Seorang anak berumur 10
tahun menghampiri Mbak Darsih. Ia menggendong adiknya yang masih berumur 5
bulan yang sedang terlelap. Mbak Darsih menurunkan anaknya yang berumur 2 tahun
dipunggungnya lalu beralih menggendong anak lainnya yang masih bayi. Mulailah
aku mengerti kehidupan Mbak Darsih yang sebenarnya.
Mbak Darsih ditinggal
suaminya ketika ia hamil tua. Untuk menghidupi dirinya dan ketiga anaknya, ia
berjualan seriping pisang setiap harinya. Tidak dalam jumlah banyak. Uang yang
Ia miliki hanya mampu untuk membeli setengah sisir pisang. Setengah sisir
pisang itu hanya bisa dibuat menjadi sepiring seriping.
Setiap pagi ia menjual
sepiring seriping itu. Separuh hasil penjualannya kembali ia belikan pisang
mentah untuk dijadikan seriping. Separuh yang lainnya ia gunakan untuk membeli
beras dan untuk ia tabungkan untuk membayar biaya persalinan anak ketiganya
yang masih terhutang.
Masyarakat komplek dan
sekitarnya bukan tak iba terhadapnya. Mbak Darsih selalu menolak bantuan dari
siapapun. Ia merasa mampu untuk menghidupi dirinya dan ketiga anaknya. Ia
selalu berkata bahwa suaminya di luar sana sedang bekerja keras untuk menghidupi
keluarganya. Dan ia sangat yakin suaminya akan kembali dengan sejumlah uang
untuk kehidupan keluarganya.
Sepertinya kehidupan
Mbak Darsih akan tetap seperti ini untuk beberapa tahun berikutnya. Menggoreng
seriping pisang di sore hari dan menjualnya di setiap pagi.
“Sepertinya aku akan
makan sepiring seriping pisang setiap pagi” Gumamku sambil melangkah pulang melewati pagar bolong dekat rumah Mbak Darsih.
Lubuklinggau, 6 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar