SUMBER BENCANAKAH “REDENOOOOMINASI"

Pemerintah berencana menyederhanakan nilai mata uang (redenominasi) yang akan dimulai pada 2014 hingga 2022. Hal itu seiring dengan semakin membaiknya perekonomian Indonesia.

Namun, sikap pro-kontra tidak bisa dihindari. Mulai dari persoalan sejauh mana pentingnya menyederhanakan nilai rupiah, biaya sosialisasi, hingga kesiapan masyarakat menerima kebijakan tersebut.

Apa sih redenomiasi rupiah? Inti dari redenomiasi rupiah adalah penyederhanaan nilai mata uang atau dengan kata lain pengurangan nilai mata uang, tetapi tidak mengurangi nilai tukar dari mata uang yang dikurangi tersebut. Sebagai contoh Nilai Mata Uang Rupiah Rp. 1.000,- (seribu rupiah) nantinya akan menjadi Rp. 1,- (satu) rupiah saja, Rp. 10.000,- akan menjadi Rp. 10,- (intinya nilai mata uang sekarang dikurangi dengan tiga digit nominal).


Dilihat dari pengertiannya, Redenominasi berbeda dengan Sanering. Redenominasi Rupiah adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.

Sedangkan Sanering Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun. Sehingga masyarakat tidak perlu khawatir terhadap daya beli masyarakat terhadap barang yang diinginkan.

Menurut Pemerintah yang penulis kutip dari equator-news.com bahwa alasan redenominasi setidaknya ada 3 (tiga) hal yaitu : 1. Pecahan uang terlalu besar menimbulkan ketidakefisienan dan kenyamanan dalam bertransaksi. 2. Mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan kawasan ASEAN. 3. Nilai uang yang terlalu besar mencerminkan negara mengalami inflasi yang tinggi atau ekonominya kurang baik.

Kemudian redenominasi ini bertujuan supaya masyarakat semakin mudah. Selain itu juga, masyarakat kita semakin bangga. Secara psikologis, mata uang kita lebih kredibel.

Secara teori, redenominasi tidak akan memberikan efek negatif terhadap perekonomian. Pelaku ekonomi adalah manusia yang tindakannya tidak sepenuhnya bersifat rasional karena adanya pengaruh emosi sehingga respon terhadap kebijakan redenominasi ini tidak bisa kita asumsikan 100% bersifat rasional. Ketakutan akan adanya kemungkinan inflasi akan menyebabkan orang akan cenderung memegang barang, terutama yang nilainya tahan terhadap inflasi. Sebagai contoh adalah emas. Tentu saja hal ini bisa berdampak buruk terhadap laju pertumbuhan ekonomi karena berpotensi mengurangi konsumsi. Apabila terjadi penukaran rupiah ke mata uang lain yang lebih kuat, maka akan terjadi penurunan nilai rupiah terhadap mata uang lain.

Dampak lainnya yang perlu diperhatikan dengan cermat adalah adanya potensi pembulatan harga ke atas dengan alasan untuk mempermudah transaksi. Sebagai contoh, harga cabai per kilogram semula Rp. 8.700 setelah diredenominasi maka akan bernilai Rp. 8,7. Dengan angka tersebut maka kecenderungan pedagang akan membulatkan harga cabai tersebut menjadi Rp. 9. Tentu saja secara luas, praktik ini akan mempertinggi tingkat inflasi.

Selain itu juga harus diperhitungkan kemungkinan inflasi sebagai akibat banyaknya uang yang beredar di masyarakat. Hal ini akan terjadi selama masa transisi dimana BI akan mengeluarkan sejumlah uang baru sementara uang lama belum ditarik.

Lalu bagaimana dengan efek redenominasi ini terhadap bursa saham? Selain kita akan dapat membeli saham dengan harga lebih ’murah’, para pelaku pasar akan bersikap negatif karena secara umum mereka menghendaki kestabilan ekonomi. Walaupun redenominasi seperti telah dipaparkan sebelumnya secara teori tidak menganggu aktivitas ekonomi, namun dampak psikologis yang ditimbulkannya terhadap masyarakat akan cukup mengkhawatirkan pelaku pasar.

Untuk menekan dampak negatif redenominasi tersebut, setidaknya ada empat syarat yang harus dilakukan agar redenominasi ini sukses yaitu inflasi yang rendah dan stabil, adanya jaminan stabilitas harga, kondisi perekonomian yang stabil, dan didasarkan atas kebutuhan riil masyarakat atau adanya dukungan pemahaman masyarakat.

Kekhawatiran adanya pembulatan harga barang di pasar domestik, bisa diantisipasi dengan penggunaan uang pecahan sen. Pecahan ini dilakukan agar pembulatan tidak terlalu tajam.

Jika kita lihat dari segi inflasi, tahun ini inflasi sudah rendah, tetapi perlu dipertimbangkan apakah angka inflasi yang rendah saat ini bisa dipertahankan berkelanjutan ke depan. Selain itu negara kita juga menghadapi risiko krisis dan resesi ekonomi global tahun depan yang perlu diwaspadai ketika menjalankan kebijakan ini.

Menerapkan program redenominasi, dukungan publik sangat penting karena Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dengan sebaran geografis yang luas. Faktor-faktor tersebut tentunya tidak sama dengan negara-negara lain yang telah menjalankan kebijakan serupa seperti Zimbabwe.

Zimbabwe adalah salah satu negara yang cukup agresif melakukan redenominasi mata uangnya. Tercatat dalam 4 tahun terakhir, akibat hiper inflasi, Zimbabwe telah 3 kali melakukan redenominasi mata uangnya. Kesalahan utama Zimbabwe adalah melakukan redenominasi ketika inflasi sangat tinggi sehingga redenominasi semakin memperkuat efek inflasi tersebut.

Redenominasi tidak hanya dilakukan oleh negara yang nominal mata uangnya cukup besar. Salah satu contohnya adalah redenominasi mata uang anggota Uni Eropa ketika meredenominasi mata uangnya menjadi Euro. Dalam hal ini, rasio konversinya bisa kurang dari satu. Satu Euro setara dengan 40,3 francs Belgia saat itu.

Maka jika dilihat dari uraian tersebut, Masyarakat tidak perlu khawatir terhadap dampak buruk redenominasi rupiah. Karena Redenominasi akan dilakukan secara bertahap mulai dari pengenalan nominal baru, masa transisi, hingga penarikan mata uang lama.

Penulis secara pribadi mendukung adanya program redenominasi tersebut. Karena program ini tidak akan berdampak buruk dengan kondisi Indonesia saat ini. Mengingat inflasi negara ini beberapa tahun terakhir terbilang cukup rendah. Ditambah lagi menurut saya Masyarakat sudah cukup cerdas dan siap untuk sebuah perubahan. Dengan dukungan media informasi dan komunikasi yang kian meluas, rasanya sosialisasi program redenominasi dapat tercapai lebih cepat dari yang ditargetkan yaitu pada tahun 2022.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed by Animart Powered by Blogger