Beberapa hari yang lalu media sempat diramaikan
oleh berita pembantaian etnis rohingya. Namun hanya dalam beberapa hari saja,
pemberitaan tersebut memudar. Pemberitaan di media kini kembali didominasi oleh
kasus korupsi pengadaan simulator SIM di
Mabes Polri. Atau berita gagalanya kontingen Indonesia meraih emas pada
Olimpiade London 2012.
Tak hanya pemberitaan
yang meredup, namun juga perhatian Pemerintah Indonesia terhadap permasalahan ini
juga patut dipertanyakan. Ketiadaan sikap media dan Pemerintah Indonesia
menyiratkan bahwa bangsa Indonesia tidak peduli terhadap tragedi kemanusiaan
ini. Bahkan beberapa Media Eropa menyebutkan sebuah ironi, terjadinya
diskriminasi terhadap minoritas Musilim Rohingya yang terjadi di ASEAN dengan
populasi Muslim terbesar di dunia.
Beberapa Media Eropa menyebutkan sebuah
Ironi, terjadinya diskriminasi terhadap minoritas Muslim Rohingya yang terjadi
di ASEAN dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Indonesia dinilai hanya bisa
berdoa atas kejadian ini dan tidak ada protes dan sikap yang jelas dari Susilo
Bambang Yudhoyono terhadap tragedi pembantaian dan Pembakaran Muslim Rohingya
oleh Junta Myanmar, 26 Juli 2012.
Sebuah Ironi yang tidak masuk akal, Diskriminasi
terburuk di dunia menghabisi Etnis Muslim terjadi di Asia Tenggara, rumah bagi
penduduk Muslim terbesar di dunia demikian berita yang dilansir AFP. AFP
menilai aneh ketika terjadi pembantaian terhadap etnis Muslim yang tidak
berperikamunisiaan di Myanmar, tetapi para pemimpin Muslim di negara-negara
lain di kawasan ASEAN tidak menggunakan pengaruh mereka, bahkan Indonesia
sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar hanya bisa menonton foto-foto di Facebook
dan Youtube saja. Karena semua Televisi di Indonesia hanya sedikit memberitakan
tentang pembantaian tersebut.
Surat Kabar The New Light of Myanmar
edisi 4 Juni 2012 memberitakan bahwa pembantaian ini dimulai dari insiden penyerangan
bus yang menewaskan 10 orang muslim di persimpangan Thandwe-Taunggup.
Penyerangan ini sendiri dilatarbelakangi oleh perampokan disertai pembunuhan seorang
gadis Buddha bernama Ma Thida Htwe di Desa Kyauknimaw Yanbe yang diduga
dilakukan oleh tiga orang pemuda muslim.
Konflik sejak insiden sepuluh orang
Muslim terbunuh terus memanas di kawasan Arrakan, Burma, muslim Rohingya
menjadi sasaran. Seperti dilansir media Al-Jazeera, Hal ini dipicu juga oleh
bibit perseteruan yang sudah terpendam lama, yaitu perseteruan antara kelompok
etnis Rohingya yang Muslim dan etnis lokal yang beragama Buddha. Rohingya tidak
mendapat pengakuan oleh pemerintah setempat. Ditambah lagi agama yang berbeda.
Dari laporan berbagai berita sampai saat ini sejak insiden tersebut sudah
terjadi tragedi pembantaian etnis Rohingya (yang notabene beragama Islam) lebih
dari 6000 orang.
Menurut
PBB, Rohingya merupakan etnis minoritas yang mayoritas beragama Muslim
yang paling menderita di dunia. Mereka tidak diizinkan bersekolah dan tidak
mendapatkan hak tanah di negara itu, karena dianggap sebagai pengungsu ilegal
dari Bangladesh. Padahal etnis ini sudah lama tinggal di wilayah itu jauh
sebelum negara ini merdeka.
Pemerintah Myanmar seperti membiarkan
pembantaian itu, bahkan sementara seolah menjadi sekutu bagi etnis Arakan. Seolah
ada ”kesadaran nasional” bahwa Rohingya bukan asli Myanmar dan harus kembali ke
tanah leluhurnya. Kontras dalam websitenya kontras.com menyatakan telah menemukan
indikasi bahwa Pemerintah Myanmar melakukan diskriminasi yang sangat sistematis
terhadap Rohingya, khususnya dibawah Undang-Undang Tahun 1982 tentang
kewarganegaraan yang menolak kewarganegaraan Muslim Rohingya dan pembiaran
tanpa adanya perlindungan dan kepastian hukum. Beragam laporan dan pemberitaan
dari berbagai sumber yang selama ini memberi perhatian terhadap isu ini, secara
garis besar menyatakan bahwa penjaga perbatasan pemerintah Myanmar diduga kuat
terlibat dalam sejumlah tindak kekerasan, berupa; pelecehan, penyiksaan dan
tindakan kekerasan yang terus berulang.
Merespon persoalan tersebut di atas,
Presiden Myanmar, Thein Sein, belum lama ini menyatakan kepada media bahwa
“Burma akan bertanggungjawab untuk persoalan Rohingya, namun Thein Shein
menegaskan “sama sekali tidak mungkin untuk mengakui penyerahan persoalan
Rohingya kepada PBB. Selanjutnya Thein Sein justru menunjukan kesediaannya jika
didapati negara ketiga yang bersedia mengambil etnik Rohingya sebagai warga
negara adalah solusi yang masuk akal”. Sungguh ironis ketika seorang pemimpin
negara bermaksud untuk membuang rakyatnya ke negara lain.
Kebangkitan gerakan oposisi nasional
oleh Aung San Suu Kyi dan partainya pun tak bersinergi dengan gerakan-gerakan
persamaan hak yang senantiasa mereka dengungkan. Bahkan, untuk kasus Rohingya,
tokoh demokrasi itu tak mengeluarkan ”komentar yang mengganggu” pemerintahan
junta militer. Suu Kyi masih berpikir ulang merespons isu sensitif itu, meski
partainya telah memiliki posisi yang cukup kuat pasca pemilu legislatif.
Rohingya
dan Indonesia
Konflik sosial selalu meninggalkan bekas
dan luka yang mendalam. Hal ini harus menjadi pelajaran bagi masyarakat
Indonesia, apalagi pada masa lalu konflik sosial yang serupa pernah terjadi dan
meninggalkan trauma yang sangat mendalam. Korban yang meninggal, cacat dan
kehilangan dari segi materi sebagai produk dari konflik harus diwaspadai dan
sejatinya harus dihindari, mengingat Potensi konflik di Indonesia masih sangat
terbuka, khususnya yang berkaitan dengan sentimen suku, ras, agama dan antar
golongan. Oleh karenanya potensi konflik dengan kekayaan dan keragaman yang ada
di negara ini harus menjadi perhatian serius dari semua pihak.
Indonesia bukan tidak pernah mengalami
kasus seperti yang terjadi di Myanmar. Kasus Ambon dan Poso yang telah berakhir
beberapa tahun yang lalu menjadi sisi kelam perjalanan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Bahkan selama puluhan tahun dibawah kediktatoran militer Presiden Soeharto,
sangat dikecam karena banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia secara
terang-terangan.
Namun, kasus yang menimpa etnis Rohingya
sedikit berbeda dengan kasus bentrokan antar agama yang pernah terjadi di Ambon
dan Poso. Atau kasus yang menimpa penganut Ahmadiyah beberapa waktu lalu,
dimana tidak ada niatan bangsa Indonesia untuk menyingkirkan penganutnya.
Kalaupun ada konflik antara penganut Ahmadiyah lawan pengikut Islam lainnya,
itu semata-mata merupakan konflik horizontal bukan vertikal antara negara
melawan kelompok-kelompok tertentu.
Kasus Rohingya lebih mirip dengan nasib
etnis Bosnia-Herzegovina menghadapi Serbia. Dimana ada upaya etnich cleaning dari penguasa dan etnis mayoritas. Bahkan kurikulim
pendidikan di Myanmar mengajarkan bahwa sejarah Myanmar tidak mengenal etnis
Rohingya.
Maka sangat jelas bahwa kasus Rohingya
bukanlah sekedar konflik horizontal antar masyarakat yang disebabkan kasus
perampokan ataupun perbedaan agama. Namun telah menjadi kasus Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang dilakukan Pemerintah terhadap rakyatnya.
Sejauh ini pengungsi Rohingya menghadapi
dilema besar. Ancaman pembunuhan dari dalam negeri dan penolakan suaka dari
luar negeri. Mestinya dalam hal ini, negara tujuan pengungsian seperti
Indonesia, Bangladesh dan Thailand harus menghormati dan menempatkan Konvensi
Internasional Untuk Pengungsi tahun 1951, sebagai acuan utama untuk berurusan
dengan pengungsi Rohingya. Bahkan secara tegas pasal 33 konvensi tersebut
menyebutkan tentnag larangan untuk memulangkan paksa pengungsi yang nyata-nyata
menghadapi ancaman pembunuhan, kekerasan, penyiksaan dan tindakan kecam lainnya.
Sebagai negara besar di Asia Tenggara,
Indonesia harusnya memiliki pengaruh besar untuk menghentikan tindakan
kekerasan di Myanmar. Ditambah lagi posisi Indonesia sebagai negara muslim
terbesar di dunia. Sangatlah tidak bijak bagi kepala negara Indonesia yang hanya
menyatakan “khawatir” terhadap tragedi Rohingya. Apalagi justru tidak
menunjukkan sikap empatik dalam menangani pengungsi Rohingya.
Pada level yang lebih tinggi, ASEAN dan
PBB haruslah bersikap progresif dalam menyelesaikan kasus Rohingya. Meskipun
kepemimpinan ASEAN saat ini dipegang oleh Myanmar, namun anggota ASEAN, terlebih
Indonesia sebagai pemrakarsa berdirinya ASEAN dapat menuntut Myanmar keluar
dari Organisasi terbesar di asia tenggara itu. Sedangkan PBB dengan kekuasaannya
bukan tidak mungkin menjatuhkan sanksi politik kepada Myanmar atau bahkan
memecat Myanmar dari keanggotaan PBB.