BIDADARI DI MOBIL MERCY

Siang itu terik begitu menyengat. Matahari seolah marah besar pada bumi yang kotor ini. Sengaja dibakarnya bumi ini untuk digantikan dengan planet lainnya. Entah dendam apa yang ada dibenak matahari siang itu.

Aku seorang anak muda kreatif putra kebanggaan bangsa Indonesia, setidaknya begitu kata Ibuku. Aku punya prinsip tak akan pernah bekerja pada orang lain. Bagiku bekerja pada orang lain tak lebih baik dari seorang pesuruh. Dan akupun tak mau bekerja sebagai abdi negara seperti menjadi Pegawai Negeri Sipil. Karena buatku PNS sekarang ini hanya sekedar mementingkan dirinya sendiri. Tak ada PNS yang begitu tulus bekerja sebagai abdi negara.

Tak itu saja, Akupun tak menamatkan sekolahku yang telah berada pada kelas 2 sekolah menengah atas. Jika kita bisa mendapatkan ilmu tanpa bersekolah, kenapa kita harus menghabiskan banyak waktu untuk bersekolah selama belasan tahun. Karena prinsip hidup itulah aku hampir mendapat julukan sebagai pengangguran teladan.

Namun kreatifitasku tak membiarkan hal itu berlalu dengan sia-sia. Kini aku menjadi seorang wiraswastawan sukses. Pengusaha yang memiliki banyak bidang usaha. Di pagi hari aku berjualan koran harian, di siang hari aku berjualan minuman dingin, dan kala malam tiba aku mendorong gerobak kacang rebusku dari keramaian yang satu ke keramaian yang lainnya.

Meski menjalani hidup yang tak bisa dijalani oleh semua orang, namun aku tetap menikmati kehidupanku ini. Karena aku tak pernah mau mengubah prinsip hidupku. Bagiku, dunia pasti berputar. Nasib manusia dari waktu ke waktu pasti akan berubah. Walaupun pada kenyataannya setelah tiga tahun aku menjalani kehidupan seperti ini, tak ada sedikitpun tanda-tanda nasibku akan berubah.

Optimistis menjadi modal utamaku dalam menjalani hidup. Namun ada juga orang yang menganggapnya sebagai kepedean. Terserah orang mau bilang apa. Toh, yang menikmati hidupku ya aku sendiri.

Kini aku tengah menjajakkan asonganku di bawah pohon berringin di tepi jalan. Aku tak ingin membakar kulit halusku di bawah terik matahari itu. Ditambah lagi Asap knalpot yang akan menyesakkan dadaku. Tak pernah terbayangkan olehku jika harus hidup dengan kulit yang terbakar dan sakit asma yang membalut tubuhku.

Disaat aku tengah terbaring bersandar dibatang pohon yang kokoh itu, aku melihat sebuah mobil mercy berhenti tepat beberapa meter di depanku. Aku coba tak memperdulikannya, toh setiap harinya aku melihat banyak sekali mobil mewah yang lalu lalang dijalanan.

Namun mataku terperangah kearah mobil itu ketika kaki mulus keluar dari mobil. Sepasang kaki kini telah berdiri disamping mobil berwarna merah itu. Kuangkat pandanganku dari ujung kakinya hingga ke ujung kepala. Kian terpanahlah aku ketika dapat melihat wajah gadis berbaju merah itu.

“Pakaiannya begitu matching dengan mobilnya” hanya itu yang dapat aku gumamkan.

“Perlahan gadis itu mengayunkan kaki kanannya. Ia berjalan lurus dengan rambut terurai tertiup angin bagai iklan shampo yang biasanya kulihat ditelevisi yang dipajang ditoko. Semerbak keharuman terhanyut oleh terpaan angin yang seolah bermaksud memamerkan keharuman wanita itu. Make up yang aku tahu bernilai sangat mahal terpoles diwajahnya. Nilai mahal itu terpancar melalui tebalnya make up yang ia pakai.

“Bang. Abang. Air mineralnya, satu” Suara lembut membangunkanku dari lamunan.

Hatiku berbunga ketika mengetahui bahwa yang menyapaku adalah gadis yang turun dari mobil mercy itu. Aku mencubit tanganku untuk memastikan bahwa aku tidak bermimpi. Kemudian aku melihat disekelilingku untuk memastikan bahwa aku sedang tidak berada disurga bertemu dengan bidadari yang begitu cantik. Namun yang begitu mengejutkan ternyata semua orang juga terperangah melihat gadis cantik itu. Beberapa orang diantaranya tanpa disadari meneteskan air liur yang hampir membanjiri jalanan itu.

“Abang, air mineralnya dijual nggak” tanyanya lagi.

“Och iya, mbak. Tentu saja dijual” jawabku sedikit terkejut sambil tergesa-gesa memberikan sebotol air mineral.

“Harganya berapa, bang” tanyanya lagi.

“Lima ribu saja, bu” jawabku.

“Waduh, Bang. Jangan panggil Ibu dong. Kayaknya udah tua banget. Panggil saja Rindu” ujarnya sambil merogoh tas.

“Kalo gitu kamu juga jangan panggil aku Abang. Panggil saja aku Reno” Ucapku.

“Kebetulan sekali. Namaku Rindu, dan kamu Reno. Kayaknya adea sesuatu dibalik kebetulan ini” Ucapnya sambil memberikan uang seratus ribu.

Aku terkejut mendengarnya. Tiba-tiba dadaku terasa sesak karena dipenuhi oleh bunga-bunga. Jantungku kempas-kempis tak beraturan. Dan Paru-paruku seolah copot tak sanggup menahan ucapan penuh misteri itu.

“Benarkah ada sesuatu dibalik Kebetuan yang ku buat ini. Jika memang benar, maka aku tak akan beritahu bahwa sebenarnya namaku adalah Joko Subandi Bin Sutedjo (maaf jika ada kesamaan). Biarlah nanti aku akan minta kedua orang tuaku untuk motong kambing lagi biar namaku bisa dipermanenkan jadi Reno” begitu pikirku.

“Abang, kok ngelamun lagi, sih” Ucapnya.

“Wah, Mbak. Uang segitu nggak ada kembaliannya. Uang pas sajalah” Ucapku.

“Saya nggak punya uang kecil. Begini saja dech. Kamu simpan nomor telpon saya. Nanti kalau kamu sudah punya kembaliannya, kamu telpon saya” tawarnya.

Aku makin terdiam. Bagaimana mungkin aku menghubunginya, sedangkan Aku tak punya handphone.

“Echm. Gimana yaa. HP ku sedang dibengkel” Jawabku.

Ia tersenyum mendengarnya. Toh, sejak kapan bengkel bisa servis HP.

“Ya sudah. Kamu pegang HP ini saja. Nanti aku akan hubungi kamu” Ia memberikan Blackberrynya padaku.

“Sekarang aku pergi dulu ya, RenoHPHH. Nanti malam aku hubungin kamu ya. Tambahnya.

“I.. I.. Iy.. Iya” Jawabku terbata-bata.

Bagaimana mungkin aku tidak bicara terbata-bata. Seorang wanita cantik yang turun dari mercy tiba-tiba datang menghampiriku dan membeli barang asonganku. Dan dengan manisnya ia memberikan Hpnya padaku.

Eits. Baru sadar kalo aku tak bisa menggunakan Blackberry. Jangankan handphone berkelas itu, handphone yang biasa dijadikan ganjalan pintu saja aku tak bisa menggunakannya. Aku bergegas ke kiosnya Pak Mardi dia pasti bisa mengajariku menggunakan handphone ini.

Dan benar saja, akhirnya aku bisa juga menggunakan handphone itu. Tentunya dengan perjuangan yang tak mudah. Hanya sekedar untuk nelpon dan sms saja, Pak Mardi harus mengajariku selama empat jam. Bahkan Pak Mardi hampir putus asa. Namun setelah kuberikan tiga bungkus rokok daganganku, Pak Mardi kembali mau mengajariku. Dan akupun pulang dengan hati yang bergembira. Seperti gembiranya Dora yang berhasil menyelesaikan misinya.

Malamnya, aku duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon rambutan depan rumahku. Jari-jariku sibuk menekan tombol-tombol handphone yang baru tadi siang kudapatkan. Tiba-tiba aku terkejut ketika handphone itu berdering. Bahkan hampir saja aku lempar handphone itu ke kolam ikan yang berada disampingku. Itu tak kulakukan ketika aku membaca nama seorang gadis yang muncul dilayar handphone itu.

“Ini handphone bikin kaget. Gimana nih cara nerima telpon” Ujarku.

Aku kebingungan memperhatikan handphone itu. Ku tekan beberapa tombol yang ada.

“Tombol berwarna hijau ini sangat mencurigakan” Ujarku sambil menekan tombol hijau itu.

Sesaat kemudian kudengarkan suara seorang wanita menyapaku dari handphone itu.

“Hello….” Ucapnya.

“Hello….” Ucapku mengikuti kata-katanya.

“Lagi ngapain?” tanyanya.

“Sedang nunggu telpon dari kamu” jawab ku merayu dengan bahasa terbata-bata.

“Besok aku mau ajak kamu jalan-jalan, mau nggak?” Tanyannya.

Sejenak aku berfikir benarkah wanita ini mengajakku jalan-jalan esok hari.

“sebenarnya sih aku ada kegiatan, tapi untuk kamu aku rela batalkan janjiku itu” jawabku. Padahal seisi duniapun tahu bahwa kegiatanku esok hari tak lain hanyalah berjualan asongan seperti biasanya. Dan janji yang aku maksudkan adalah janji bayar hutang diwarung makannya Mak Udah.

“Ya sudah. Besok aku jemput ditempat kita bertemu kemarin jam 9 pagi ya” ujarnya.

“Baiklah. Aku akan ada disana pukul 4 pagi” candaku.

“Ya sudah, sekarang kamu istirahat ya. Selamat malam, sayang. Emmmuuuaaahhh” Dia memberikan sekecup ciuman yang membuat jantungku cenat-cenut.

Suara ditelpon menghilang seiring nada “bip..bip..bip”. Namun aku tetap tertegun tak kuasa menahan gravitasi bumi yang kian berat menarik kakiku. Aku terbaring diatas bangku panjang dibawah pohon itu. Kecupan dari Rindu terus terngiang ditelingaku. Hingga akhirnya ku terlelap diantara nyamuk-nyamuk nakal yang tanpa izin menyedot tiap mililiter darahku.

Kicau burung meriahkan pagi. Suara kokok ayam membangunkanku. Semerbak wangi bunga-bunga menyambutku dipagi itu. Seolah semerbaknya hatiku yang dipenuhi bunga-bunga indah.

Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Aku bergegas menuju kamar mandi. Namun, aku mendapati Yanti yang tak lain adalah kakak iparku sedang mencuci. Akhirnya aku pergi menuju kali. Dengan tanpa alas kaki, akupun mandi dan tak lupa menggosok gigi. Suara siul bibirku bersambut dengan seraknya suaraku bernyanyi. Dan aku selesai mandi tepat tiga puluh menit sebelum waktu kami berjanji.

Aku bergegas menuju rumah dan segera mengenakan baju. Wangi parfum serentak membasahi tubuhku. Tak lupa aku mengenakan celana baru. Semuanya kulakukan hanya untuk bertemu Rindu.

Jam Sembilan berdentang ditelinga. Aku segera menuju ketempat biasa. Dan Rindu telah menunggu disana dengan mobil Mercy warna merahnya. Senyumnya dari jauh telah menyapa. Tak pernah ku rasakan degup jantung yang begitu membara. Bagaimana mungkin seorang loper Koran bisa berkenalan dengan seorang putri orang kaya.

“Wah. Maaf, sudah lama menunggu ya?” Kataku.

“Tidak kok. Masih sepuluh menit lagi dari waktu kita janjian. Aku sengaja datang lebih awal karena aku tak mau membuatmu menunggu” Ujar Rindu.

“Terima kasih untuk hal itu. Kamu terlihat cantik hari ini” Rayuku.

“Kau terlalu memuji” Ujar Rindu lagi.

“Jadi kau mau mengajakku kemana hari ini?” Tanyaku.

“Kamu ikut aku saja. Nanti kamu jua akan tahu” Rindu membuatku penasaran.

Rindu segera mengajakku masuk kedalam mobil mewahnya. Menyisakan orang-orang yang sedari tadi menatap kearah kami. Pesona kecantikan Rindu telah menyihir orang-orang sehingga berdiri mematung bagaikan anak idiot. Dan baru kusadari setalah masuk kedalam mobil, ternyata ada kecelakaan beruntun di dekat kami karena pengendaranya tak berkonsentrasi berkendara menatap kearah Rindu.

Kecantikan itu harusnya hanyalah dimiliki oleh bidadari-bidadari surga. Entah bagaimana kecantikan itu bisa diwarisi oleh seorang anak manusia. Atau justru Rindu adalah anak dari seorang bidadari. Atau justru Rindu adalah bidadari itu sendiri.

Deru mobil meninggalkan keramaian perempatan itu. Rindu mengajakku kesuatu tempat otomotif. Ia bermaksud membelikanku sebuah mobil.

“Bagaimana, adakah mobil yang kamu sukai di sini?” Ujar Rindu.

“Maksudmu?” Tanyaku bingung.

“Aku kasihan melihatmu berjualan ditempat panas. Jadi aku ingin membelikanmu mobil”Ujar Rindu.

Aku hanya menggeleng sambil terperangah. Bagaimana mungkin seorang loper Koran berjualan menggunakan mobil Avanza, Xenia atau Innova. Lagipula aku sedari tadi tak mengaku bahwa sebenarnya aku tak bisa mengendarai mobil. Karena itu sedari tadi aku tak menawarkan diri untuk mengendarai mobilnya.

“Ya sudah. Kamu temani aku ketempat wisata saja ya. Sudah lama aku tak bermain disana” Ujar Rindu.

Akupun hanya menganggukkan kehendaknya. Disana aku melihat Rindu yang begitu ceria menikmati berbagai wahana permainan. Berbeda denganku yang sedari kecil hanya bermain kejar-kejaran disungai atau bermain petak umpet dibalai desa. Terakhir aku bermain permainan semacam itu di pasar malam dekat rumahku. Dan aku langsung demam tiga hari dan muntah-muntah. Karena itu aku menolak menemani Rindu menikmati wahana permainan.

Hari beranjak sore aku bermaksud mengajak Rindu untuk pulang. Meski kulihat ia masih sangat menikmati hari itu, namun aku tak menginginkan ia dimarahi kedua orang tuanya jika pulang malam. Maklum saja, aku selalu dimarahi jika pulang malam, apalagi tak membawa uang setoran.

“Rindu, kita pulang ya. Hari sudah cukup sore” Ucapku.

“Padahal aku sedang menikmati hari ini. Tetapi lain kali kamu harus menemaniku lagi ya.” Pintanya.

“Pasti. Tak mungkin aku menolak permintaan gadis secantik kamu” Aku kembali merayunya.

“Kamu serius tidak mau ku belikan sesuatu” Katanya.

“Tidak perlu. Aku tak mau merepotkanmu. Akukan seorang pria, mana mungkin seorang pria mau menerima pemberian seorang gadis. Suatu saat aku pasti bisa mendapatkannya dengan perjuanganku sendiri” Ucapku.

Ucapanku seolah menunjukkan karakter seorang pria sejati. Namun dalam hatiku merasa sangat sedih. Karena sedari tadi Rindu menawarkan hal-hal yang tak bisa aku gunakan. Bagaimana mungkin ia menawarkan mobil kepada loper Koran. Selain itu ia juga menawarkan aku laptop, jas, handphone blackberry, hingga mengajakku liburan keluar negeri. Jika aku pergi keluar negeri, bagaimana nasib daganganku. Aku pernah satu kali tidak bekerja, dan bosku langsung ingin memecatku. Andai saja Ia menawarkanku rumah atau menawarkanku menjadi suaminya. Tanpa pikir panjang, tentu aku akan menerimanya.

Kami melesat menuju gubukku. Bukan kata kiasan, karena rumahku memang tak ubahnya sebagai gubuk berdinding papan dan kardus. Sepanjang perjalanan ku tatap wajah Rindu yang begitu memancarkan kecantikannya. Kecantikan itu tak luntur sejak kami bertemu di pagi hari tadi. Bahkan selama kami bersama, tak sekalipun aku lihat ia bersolek untuk memperbaiki make upnya. Entah make up apa yang ia gunakan hingga tak sedikitpun debu yang menempel diwajahnya.

Senyum dibibirnyapun tak pernah hilang. Membuatku senantiasa merasa bahagia bila didekatnya. Bagaimana tidak, aku yang selama ini berada dipinggir jalan, sekarang berada didalam mobil mewah bersama gadis tercantik didunia.

Rambutnya terurai indah. Panjang rambutnya seolah menghubungkan pulau jawa dan sumatera. Hitamnya mengambarkan sehatnya rambut yang ia miliki. Bagaikan iklan shampoo yang biasa kulihat di televisi. Bahkan hitamnya mengalahkan hitamnya knalpot yang senantiasa menemaniku dikala berjualan.

Tak lama kemudian mobil berhenti. Aku menyadari bahwa itu bukanlah lorong kearah rumahku. Rindu bermaksud mengajakku makan malam. Ya, setelah makan siang seadanya di tempat wisata tadi, perutku sangat kelaparan. Cacing-cacing diperutku seolah menabuh gendering perang yang memancing cacing-cacing lainnya bangun dari tidur panjang.

“Kita makan maam dulu ya. Aku mau memperkenalkanmu paa kedua orang tuaku” Kata Rindu.

“Apa??? Ta..ta..tapi dengan penampilanku seperti ini…” aku kaget bukan kepalang mendengarnya.

“Tenang saja, orang tuaku datang tiga puluh menit lagi. Dan aku telah menyiapkan busana untuk kita berdua. Jadi kita bisa bersiap-siap terlebih dahulu”. Ujarnya sambil tersenyum menenangkanku.

Ya. Senyumnya benar-benar menenangkan dan menyenangkanku. Tak pernah aku dijamu sedemikian rupa, apalagi oleh gadis secantik dia. Apalagi dia ingin memperkenalkanku kepada orang tuanya. Meski aku tak tau apa maksudnya, namun bisa seperti ini saja aku sudah sangat senang.

Aku selesai membersihkan diri dan mengganti pakaianku. Aku mengenakan jas hitam dengan dasi yang begitu mengikat dileher membuatku merasa tak nyaman. Namun hal itu membuat bahuku bertambah tinggi kurang lebih sepuluh senti. Aku merasa menjadi seorang pejabat sebuah perusahaan ternama seperti yang aku baca dikoran bekas yang menjadi alas dudukku ketika beristirahat berjualan Koran.

Dikamar yang berbeda, aku melihat seorang gadis keluar dari kamar itu. Gadis dengan dress putih, rambut yang bergelombang dan sepatu kaca yang menghias kakinya. Ia bagaikan cinderela yang terbangun dari tidur panjangnya setelah dicium oleh seorang pangeran. Entah yang dicium itu cinderela atau putri salju, aku sudah lupa. Yang pasti kecantikannya kian terpancar dengan bertaburkan kerlip lampu restoran yang syahdu.

Kami berdampingan menuju meja makan. Disana telah menunggu beberapa orang yang tak lain adalah keluarga Rindu. Dari kejauhan tampak senyum menghias bibir mereka yang menatap kearah kami.

Begitu kami mendekat, mereka langsung berdiri untuk memberikan penghormatan kepada kami. Di ujung meja, dua buah kursi telah menanti kami. Pelayan yang berada dibelakang kursi itu menariknya untuk mempersilahkan kami duduk. Kami duduk bersanding bagaikan Raja dan Permaisuri.

Rindu memperkenalkan aku kepada orang-orang yang ada disana. Sambutan merekapun cukup ramah. Kedua orang tuanya menunjukkan wajah yang begitu menyukaiku. Entah apa yang ada dipikiran mereka. Pertanyaan besar menggeayut dipikiranku. Apa reaksi mereka ketika mengetahui aku hanyalah seorang loper Koran.

“Ayah. Ia adalah seorang loper Koran. Aku berkenalan dengannya kemarin” Ujar Rindu.

Hal itu membuatku tersentak. Degup jantungku bagaikan perang dunia ketiga.

“Tentu kamu seorang pekerja keras. Yang aku tahu persaingan dalam penjualan Koran sangat ketat. Ada puluhan bahkan ratusan penjual Koran dijalanan. Butuh strategi pemasaran yang sangat tinggi untuk memenangkan persaingan itu. Saya yakin kamu pasti bisa mempraktekkan strategi pemasaranmu pada perusahaan kita kelak” Ujar ayahnya padaku.

Hal itu membuatku bertambah bingung. Apa benar ayahnya akan menyerahkan jabatan itu kepadaku. Aku sedikitpun tak mengerti tentang pemasaran. Yang aku tahu, jika lampu merah menyala aku menghampiri mobil-mobil itu dan menawarkan koranku. Jika tak ada yang membeli, mungkin aku hanya bisa menggerutu saja. Atau aku ambil batu dan kulempar kaca mobil itu. Setidaknya itu yang akan aku lakukan pada perusahaan lain yang mengalahkan kami ditender.

“Baiklah. Kita mulai saja makan malamnya” Ucap ayah Rindu mempersilahkan.

Kebetulan sekali perutku sudah sangat keroncongan. Ditambah lagi aroma makanan yang sepertinya begitu lezat seolah menarik lidahku untuk segera mencicipinya. Entah telah berapa liter air ludah yang ku telan untuk menahan dahaga ini. Hingga akhirnya Rindu mengambilkan makanan untukku. Kamipun makan dengan teliti, seksama dan bersahaja diiringi gesekan biola yang asing ditelingaku.

Acara makan malam selesai. Sesaat kemudian salah seorang diantara kami berdiri. Tampak bahwa ia akan memandu acara pada malam itu.

“Baiklah, setelah makan malam usai. Sekaranglah saat yang kita nanti-nantikan. Yaitu acara pertunangan. Kepada keduanya kami persilahkan maju kedepan” Ucap orang itu.

Aku hanya duduk terdiam menanti siapakah orang yang akan maju kedepan untuk bertukaran cincin diacara pertunagan ini. Tentu sangatlah menyenangkan andai saja aku bisa mengadakan acara pertunagan seperti itu.

Lamunanku terpecah ketika Rindu menarik tanganku. Ia mengajakku tampil dihadapan orang-orang itu. Aku bingung apa tujuan Rindu menarik tanganku. Setelah aku berdiri, barulah Rindu membisikkan sesuatu padaku.

“Yang akan bertunagan adalah aku dank au” Bisiknya.

Aku hanya bengong. Jiwaku sesaat melesat jau menggapai bulan lalu kembali jatuh kebumi dan melesat lagi ke bintang dan sesaat kembali lagi kebumi. Bingung, bahagia dan berjuta rasa lainnya bercampur dihatiku. Bagaimana mungkin seorang loper Koran bertunangan dengan Bidadari secantik Rindu. Entah apa yang akan diberitakan di Koran esok pagi.

Aku memegang tangan Rindu dan memasukkan cincin emas murni bertahtahkan berlian asli ketangannya. Tepuk tangan dan iringan musik meng hempas kesunyian restoran yang memang disewakan untuk acara malam itu. Setelah itu gantian Rindu yang memasukkan cincin ditanganku. Kembali tepuk tangan dan iringan music menghempas jantungku. Dan suara terompet musik itu begitu dominan memekakkan telingaku.

Pikiranku masih melayang jauh menikmati masa-masa itu. Hingga sekali lagi buny I terompet itu terdengar keras ditelingaku. Allu aku melihat Rindu yang sedari tadi berdiri dihadapanku. Namun aku tak mendapatinya. Aku menoleh kesamping melihat kearah meja makan yang duduk keluarga besar Rindu, dan kupikir Rindu juga telah duduk disana. Namun aku tak mendapatinya. Yang aku lihat justru beretan mobil yang sedari tadi membunyikan klakson dengan kencangnya.

Barulah aku sadari bahwa aku berdiri tepat ditengah-tengah jalan. Dan terompet dari band itu tak lain adalah klakson mobil yang terjebak macet cukup panjang.

“Hei. Mau sampai kapan kau berdiri disana? Sudah tiga kali lampu hijau dan kau sedikitpun belum beranjak satu incipun dari sana. Apa mau menunggu kemacetan ini mengekor sampai ke Bandung?” Ujar salah seorang berteriak dengan lantangnya.

Sorot mata mereka begitu tajam menatapku. Klakson dari mobil-mobil mereka tak henti berbunyi. Barulah kusadari ternyata semua itu hanyalah mimpiku disiang bolong. Aku melangkahkan kakiku kepinggir jalan. Memberikan ruang bagi mobil-mobil itu untuk melaju. Umpatan, cacian dan makian menghujaniku yang berdiri dengan penuh kebingungan, kekecewaan dan penuh rasa bersalah. Hingga seorang temanku sesame loper Koran menghampiriku.

“Menghayal bertemu gadis cantik dan menikah dengannya lagi?” ujarnya.

“Ini yang ketiga kalinya kau menghayalkan hal itu dalam hari ini. Hiduplah bersama kenyataan. Loper Koran seperti kita paling hebat menikah dengan pembantu” Sambungnya.

Yaa. Sepertinya mimpi tetap akan berlalu menjadi mimpi. Namun, aku tetap tak menyerah. Bagiku hidup berawal dari mimpi. Meski karena mimpi itulah aku diusir oleh ibuku karena malas bekerja. Meskipun aku tak dapat menggapai mimpi-mimpi itu, setidaknya aku telah merasakan kebahagiaannya didalam mimpiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed by Animart Powered by Blogger