Matahari bersinar cerah siang itu ketika Siska duduk santai diatas ayunan halaman rumahnya. Pandangannya mengembara jauh tak tentu arah. Pikirannya mencoba mengendalikan dimensi ruang dan waktu. Sekilas ia teringat suara ayahnya berbicara melalui telepon tadi pagi.
“Siska, teman ayah punya anak seorang polisi. Ayah tidak bermaksud untuk menjodohkanmu dengan anak teman ayah itu. Tapi ayah hanya ingin kamu berkenalan dengannya. Jika memang kalian cocok, ayah akan sangat senang sekali. Jika tidak, yaa itu terserah kalian” Ujar ayahnya
“Huuuuhhh. Kenapa jadi begini sih. Belum selesai masalahku dengan Rio, sudah datang masalah baru. Sudah tahun 2011 kok masih ada perjodohan-perjodohan seperti ini” Gerutu Siska.
“Apalagi ayah bilang kalo dia akan datang malam ini” Siska bertambah kesal.
Gerutuan Siska ternyata tak banyak membantunya untuk mengurungkan niat ayahnya itu. Dan ia harus mau untuk berkenalan dengan polisi lulusan Akademi Kepolisian itu.
Siska, seorang cantik kembang desa yang tengah menuntut ilmu di perguruan tinggi swasta kota Palembang. Kekasihnya bernama Rio Pratama Putra, pria yang berhasil menambatkan hatinya sejak keduanya masih SMA. Namun kisah kasih itu harus terbatasi oleh jarak antara pulau Sumatera dan pulau Jawa.
Sayangnya kisah cinta Siska tak sesederhana yang ia bayangkan. Selain harus memilih antara Rio dan polisi bernama Raka yang akan dijodohkan padanya, ia pun telah menaruh simpati pada teman yang ia kenal sejak masuk dunia perkuliahan. Ialah Alif, seseorang yang begitu perhatian dan mengisi ruang hatinya sejak ditinggalkan Rio.
Matahari beranjak dari tingginya. Senja sampaikan jingganya pada birunya bumi. Siska bersiap-siap menyambut tamu istimewanya malam ini. Tak banyak hal spesial yang akan ia tunjukkan pada tamunya itu. Setidaknya ia tak akan tampil lebih cantik daripada yang ia tunjukkan pada Rio ataupun Alif.
Belum usai ia menata rambutnya ketika suara pintu terketuk mengagetkannya.
“Pasti orang itu” Duganya.
Ia beranjak membuka pintu. Dibukanya pintu dan tampaklah seorang dengan tubuh berdiri tegap berambut cepak. Tak diragukan lagi itulah tampilan seorang polisi muda yang memiliki prospek karir yang cemerlang. Senyumnya menyapa dengan manis, bersambut seuntai senyum Siska yang terperangah.
Siska tak mengajak tamunya itu masuk. Menjadi hal tabu baginya jika mengajak orang yang baru ia kenal masuk kedalam rumah. Akhirnya kedua duduk santai di kursi yang tertata rapi diteras rumah bertemankan rembulan yang siap mengawasi mereka hingga larut menjelang.
“Hai. Aku Raka. mungkin ayahmu sudah sedikit memperkenalkanku padamu” Sapa Raka.
“Ia. Ayah bilang kau baru dua tahun lulus dari akademi kepolisian” Ujar Siska.
Obrolan berawal hangat. Namun kehangatan itu tak dinikmati oleh Siska. Ia tak merasa nyaman dengan sikap Raka yang terkesan tidak sopan dimata Siska. Raka selalu mencoba duduk dekat dengan Siska. Dan hal itu membuat Siska merasa tak nyaman.
Ditambah lagi dengan sikap Raka yang sedari awal hanya membicarakan tentang dirinya sendiri. Harusnya hal itu dapat dimaklumi karena bukan hal mudah untuk diterima dan lulus dari akademi kepolisian. Namun itu membuat Siska merasa tak dihargai.
“Raka. Terima kasih atas kesediaanmu mengenalku. Aku menghargai itu. Namun ada hal yang perlu kau tahu. Aku sudah punya pacar. Sekarang ia sedang kuliah di Bandung. Dan aku sangat menyayanginya” Ujar Siska.
“Lalu bagaimana dengan niat kedua orang tua kita yang akan menjodohkan kita? Tidakkah kau menghargai keputusan mereka?” Tanya Raka.
“Aku memahami hal itu, dan bukan satu kali ini orang tuaku memperkenalakn anak temannya padaku. Begini saja, seandainya kau tak berniat mempermainkanku, cobalah kau curi hatiku, mungkin dengan begitu kita bias meneruskannya. Namun jika tidak, lebih baik kau lepaskan aku dari sekarang” Tawar Siska.
“Ternyata kau wanita yang cukup berkarakter. Aku suka dengan hal itu. Entah hal yang kebetulan atau tidak, aku juga mempunyai seseorang yang sedang menungguku. Dengan begitu sepertinya kita sepakat untuk tidak melanjutkan perjodohan ini. Aku akan jelaskan dengan baik-baik kepada orang tuaku dan orang tuamu” Jelas Raka.
“Terima kasih, Raka. Kau pria yang baik. dan wanita yang jauh lebih baik berhak mendampingimu” Ucap Siska mengakhiri perbincangan malam itu.
Malam kian larut. Rembulan kian menerangi malam yang dingin itu. Bintang-bintang pun berkerlipan. Rakapun pamit untuk pulang. Dan hal itu membuat Siska merasa senang. Helaan nafasnya menghantarkan Raka mengayunkan langkah demi langkah kaki.
“Huh. Akhirnya usai sudah untuk malam ini. Semoga tak ada hari esok seperti hari ini” Gumam Siska.
“Orangnya sih tampan. Andai aku tidak bersama Rio saat ini, mungkin saja hal yang berbeda akan terjadi. Tapi ya sudahlah. Aku mengistirahatkan tubuhku dulu untuk kuliah esok” Tambah Siska.
Sekecup sayang pada foto Rio melelapkan matanya. Seurai dongeng cintanya dengan Rio senantiasa membayangi tidurnya. Kerinduan yang mendalam pasca berpisahnya kedua insan ini menyisakan rindu yang teramat sangat. Setidaknya rindu itu akan menyesakkan jiwanya hingga ia bertemu dengan Alif esok hari.
***
Matahari menyapa pagi dengan sinar khasnya. Kehangatan menghapuskan dinginnya malam yang membekukan hati tiap insan. Kicau burung bersambut kokok ayam pecahkan heningnya bunga yang bermekaran. Di ujung jalan aktifitas manusia awali hari ini. Sementara itu, di sebuah rumah yang tak layak dibilang megah, sesosok wanita beranjak melangkahkan kakinya. Rambutnya terurai melambangkan kemuliaan kecantikan seorang wanita. Pesona anggun wajah khas wanita Indonesia menggambarkan kesetiaan, keramahan dan kesantunan menyerasikan busana yang kian menawan hati.
Ditepian jalan seorang pria duduk diatas motor menatap jam yang membalut lengan kirinya. Wajah gelisah menutupi kearifannya. Sesaat seorang wanita dengan tergesa-gesa menghampirinya.
“Hei. Sudah lama nunggu ya?” Tanya Siska.
“Cukup lama untuk menunggu tuan putri bersolek” Sindir Alif.
“Maaf, semalam aku tidur larut malam. Ada tamu menyebalkan yang datang kerumahku malam tadi” Jelas Siska.
“Echm. Ada tidak ada tamu bukannya kau selalu terlambat” Cela Alif.
“Hei. Kita mau berangkat atau menunggu sampai kau puas mengejekku” Ujar Siska.
Seperti biasanya Alif menjemput Siska sebelum berangkat ke kampus. Dan seperti biasanya pula, Siska membuat Alif menunggu hingga tak jarang keduanya tidak diperkenankan masuk kelas karena terlambat.
Kini keduanya melaju melintasi tiap meter kota kecil itu. Deru kendaraan bersambut deru kendaraan lainnya. Bumi kian panas karena menumpuknya karbon di ozon yang kian menipis. Udara segar tak menjadi asa yang pasti bagi masyarakat yang kian maju.
Siska melepaskan tangannya yang sedari tadi melingkari pinggang Alif. Keduanya turun dan bergegas menuju ruang kelasnya di lantai dua. Namun, sesampainya mereka dikelas, mereka tak mendapati teman-temannya yang sedang belajar. Hanya beberapa anak yang berkumpul dan berbincang ringan diselangkan dengan gelak tawa para pemuda-pemudi penerus bangsa itu.
“Hei. Tuh Raja dan Ratu telat sudah datang” celetuk salah seorang teman Siska.
“Tapi kalian beruntung. Si dosen killer gak masuk. Anaknya sedang sakit” Ujar yang lainnya.
“Huh, Untung saja. Bisa-bisa tepat tujuh kali aku dilarang masuk mata kuliahnya” ujar Alif menghela nafas sambil meletakkan tasnya diatas kursi.
“Alif, aku mau ngobrol sesuatu nih sama kamu” bisik Siska pada Alif sambil menarik tangannya.
Keduanya berbincang didepan kelas berpagar tinggi tak kurang dari satu meter itu. Sambil menatap para mahasiswa yang lalu lalang dilapangan basket di tengah kampus itu, Siska menceritakan tentang apa yang sedang melanda hatinya saat ini.
“Alif, malam tadi ada tamu datang kerumahku. Dia seorang polisi anak teman ayahku. Seperti pria-pria sebelumnya. Dia adalah orang yang ayah perkenalkan padaku untuk dijodohkan padaku” Ungkap Siska
“Lalu, kamu kembali mengusirnya?” Tanya Alif.
“Awalnya dia memang tidak menyenangkan. Tapi setidaknya dia cukup sopan daripada orang-orang yang sebelumnya” Terang Siska.
“Lalu, kau terima utnuk dijodohkan dengannya?” Tanya Alif lagi.
“Aku masih menunggu Rio. Kau tahu itu kan” Jawab Siska
“Jadi sampai sekarang kau belum bisa menerima bahwa Rio sudah tidak lagi di sisimu” Ujar Alif.
“Rio berkata bahwa ia pasti kembali. Dan aku telah berjanji untuk menunggunya. Kau tidak mau kan melihatku menjadi seorang yang ingkar janji. Lagipula………” ungkap Siska.
Belum sempat Siska menyelesaikan kalimatnya, handphone Alif bordering menyela pembicaraan mereka. Alif menerima telpon itu dan sedikit menjauh dari Siska. Senyum Alif menggambarkan rasa bahagianya berbincang dengan lawan bicaranya di telpon itu. Dan hal itu membuat Siska merasa diacuhkan. Telah seringkali Siska merasa cemburu dengan sikap Alif itu. Meskipun saat ini ia masih mengharapkan Rio kembali ke sisinya.
“Lagipula, dalam sepiku engkau selalu datang member aku kekuatan untuk tetap bertahan, Alif” Siska bergumam menyambung kalimatnya.
“Alif, ketulusanmu itu telah memaksaku. Memakuku pada tembok kebimbangan. Senyum itu memenjarakanku. Terperangkap pada keseimbangan hati dan perasaan. Membekukan eritrisot pada tiap bilik jantungku. Melipat arteri dan jalur vena. Namamu mengukir abadi pada otak kiriku. Hambatkan kaki untuk melangkah. Batasi hati untuk memilih. Ditiap cinta itu aku menanti sebuah tulus kemesraan. Sebutir oksigen untuk bernafas, berikan kesejukan pada kelenjar air mata. Diantara hangat ini ingin kutitipkan kepingan hatiku. Ku harap akan kau simpan atau justru akan kau rekatkan” Ujar Siska yang teru menata kearah Alif.
“Atas kecemburun ini aku hanya bisa mengatakan bahwa aku benci kamu, Alif” sambung Siska.
“Dan untuk Rio, aku tetap menunggumu meskipun aku tak yakin apakah aku satu-satunya cintamu” tambah Siska.
Siska masuk ke ruang kelas dengan perasaan yang tak tentu. Ia bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Ia ragu dengan keputusan yang harus ia tentukan. Seorang yang jauh disana ia nantikan dengan penuh harap setelah ikatan yang mereka sebut pacaran mengikat keduanya untuk tidak mencintai pria ataupun wanita yang lain. Dan disini, Ia telah mengagumi pria yang lain. Ialah sosok pria yang berhasil mengobati luka hati Siska. Sehingga Siska punya alasan untuk terus bertahan. Namun orang yang sama telah membuatnya terpukul dengan menyaksikannya riang berbincang dengan lawan bicara ditelpon yang pernah dijelaskan Alif sebagai mantan pacarnya.
“Aku terjebak untuk memilih antara hati dan perasaan. Rio yang telah membawa pergi hatiku hingga ku luluh dan tidak ada alasan untuk berhenti mengharapkannya. Dan Alif telah menawanku dengan kearifan dan kebijaksanaannya. Dan dialah yang mengobati luka perasaanku hingga akupun tak punya alas an kuat untuk tak mengaguminya bahkan mencintainya. Namun pada akhirnya keduanya telah membuatku luka. Aku hanya mampu mengharapkan kisahku abadi. Memimpikan anganku sejati. Aku terperangkap dalam rasa yang tak tentu, terusir dari singgasana bahagia. Ketika jeritanku riada terdengar, ungkapan hatipun hanya deruan. Aku terhempas dalam logika tak tentu, terjerumus pada lubang ketidakpastian. Mampukah aku menanti jawaban tak pasti, menunggu seribu lagu dalam sembilu, khayalkan kasta itu berpangku rindu dan peluk hanyat terhanyut dalam kasih” Pikir Siska.
“Hei. Maaf aku harus menerima telpon dulu” Alif membangunkan Siska dari lamunannya.
“Oh. Bukan masalah” Jawab Siska.
“Dosen tidak masuk, kita keluar saja, yuk. Aku mau membicarakan sesuatu” ujar Alif.
“Tentang apa?” Tanya Siska.
“Kau hanya cukup ikut aku saja” Ujar Alif.
Alif mengajak Siska pergi meninggalkan kampus. Mereka pergi menuju taman kota.
Alif menggenggam tangan Siska dengan lembut. Jemari-jemarinya membuat aliran darah Siska semakin cepat. Beribu pertanyaan muncul dibenaknya tentang apa yang akan diutarakan oleh Alif di siang itu. Hijaunya pepohonan dan gemericik bunyi air mancur menjadi saksi atas apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian.
“Siska, hampir satu tahun aku mengenalmu. Dan ada setitik denyutan asing pada jantungku. Aku coba mengabaikannya. Namun setiap menatap matamu, denyutan itu menghambat jalur pernafasanku. Aku coba mempelajari denyutan itu, dan akhirnya aku menyedari bahwa mungkin kaupun mengalami hal yang sama” Ucap Alif.
Hal itu membuat denyut jantung Siska makin tak beraturan. Ia hanya mampu terperangkap dalam retina mata Alif yang terus memandangnya.
“Namun, aku menyadari kau dan aku tak sama. Kau telah bersama Rio, dan aku tak ingin berada diantara kalian. Orang yang menelponku tadi adalah Rio. Aku memintanya pulang untukmu. Dan tidak lama lagi ia akan datang kemari” sambung Alif.
Hal itu membuat Siska tersentak. Membuatnya bertambah kagum pada Alif karena ketulusannya. Kakinya seolah tak sanggup menahan berat tubuhnya. Ia tak berdaya dengan apa yang telah dilakukan Alif. Entah ia harus senang atau justru menangis dengan kembalinya Rio kesisinya.
Deru suara mobil menghampiri mereka. Seorang pria tinggi 180 berkulit putih turun dari mobil itu. Sedikit senyumnya mencoba menyapa Alif dan Siska yang tak melepas genggaman tangannya.
“Itu pangeranmu sudah datang. Sekarang kau tidak akan lagi dipanggil Ratu Telat. Sekarang kau akan dipanggil Ratu Bahagia karena pangeran yang kau nantikan telah kembali dari perang panjangnya” ujar Alif pada Siska.
“Aku tak mengerti apa yang ada dipikiranmu. Tapi terima kasih ata semua yang telah kau lakukan” jawab Siska.
“Selamat datang kembali di kerajaanmu, Rio” ujar Alif pada Rio sambil mengulurkan tangannya. Dan itu membuat genggaman tangannya pada Siska terlepas.
Siska merasa tak kuasa menahan genggaman itu untuk tetap berada pada jemarinya. Kehadiran Rio tak membawanya untuk merasakan kembali cinta yang dulu pernah ia rasakan.
“Terima kasih, Alif. Kau telah menjaga permaisuriku. Entah apa yang harus kulakukan untuk membalasnya” ujar Rio pada Alif.
“Cukup dengan kau menjaga permata ini agar tidak kusam apalagi dicuri orang” balas Alif.
“Kau selalu bisa membalik kata-kataku dengan kata-kata yang lebih manis, Alif. Baiklah sekarang aku akan mengajak Siska pergi dulu. Kau tidak apa-apa kan?” Kata Rio.
“Tentu saja. Kau tau apa yang akan aku lakukan. Semoga kalian bahagia” Kata Alif.
Alif menyerahkan tangan Siska kepada Rio. Siska sedari tadi hanya berdiam diri tak tahu apa yang dilakukannya. Ia bagaikan putri salju tertidur yang belum mendapati pangeran menyadarkannya dari tidur panjang. Rio menerima tangan itu dan menggandengnya ke mobil berwarna biru itu.
Rio membukakan pintu dan mempersilahkan Siska masuk. Setelah Riopun masuk barulah Siska mengetahui bahwa kini Alifpun akan pergi meninggalkannya.
“Tidakkah kau mengucapkan selamat jalan pada Alif?” Tanya Rio.
Siska terkejut mendengarnya. Ia bingung tentang apa yang dimaksudkan oleh Rio. Ia segera turun dari mobil dan berlari kearah Alif yang berdiri menatap mobil itu.
Ayunan tangan Siska mendarat telak pada pipi kiri Alif. Alif tak kuasa menahan tamparan itu. Ia hanya tersenyum melihat Siska yang mulai menitikkan air mata. Tangan Alif menghampiri wajah Siska dan menahan air matanya agar tidak jatuh tepat dibawah dagu Siska.
“Kau mau pergi kemana?” Tanya Siska sambil terisak.
“Aku mendapat beasiswa di luar kota. Ayahku pun mendapat promosi jabatan pada kota yang sama” jawab Alif.
“Jadi kau tak akan kembali lagi. Lalu untuk apa kau meminta Rio pulang jika akhirnya kau harus pergi. Untuk apa kau ucapkan kata-kata manis itu yang telah membuat seluruh tubuhku bergetar. Untuk apa ketulusan yang kau berikan selama ini jika pada akhirnya harus engkau jadikan gunting untuk melukaiku. Untuk apa kau hadir dalam hidupku jika hanya sesaat lalu kau pergi lagi” Suara Siska meninggi.
Alif tak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ia menggerakkan tangannya pada bahu Siska dan menariknya kepangkuannya.
“Buat ku selalu tersenyum dengan canda tawamu. Biarkanku buka semua cinta yang lama terpendam. Maafkan bila ku tak bisa menjaga dekapan hangat ini. Maafkan jika ku tak sanggup berikan cinta selamanya. Ingin ku selalu bersamamu dengan sejuta cintaku. Berharap adanya dirimu untuk bisa mencintaiku. Namun maafkan aku jika tak selamanya bersamamu. Dan maafkan aku jika hal ini menjadi yang terakhir yang mampu kuberikan. Maka maafkan aku yang tak mampu menjadi kebaikan terabadi. Hingga maaf ini terpatri pada visualisasi, dan hilang oleh kristalisasi, hingga terlahir kembali bersama reinkarnasi, maka ketahuilah selama itu aku menyayangimu” Kata Alif.
Seiring itu, dilepaskan dekapannya pada tubuh Siska. Ia berjalan menuju motornya yang terparkir pada sisi taman itu. Ditinggalkannya Siska tetap berdiri ditempat ia melepaskan pelukannya. Tubuh Siska kian melemah. Gravitasi bumi kian menarik tubuhnya untuk terjatuh. Namun Rio yang sedari tadi berada didalam mobil menahan tubuhnya untuk tetap berdiri. Keduanya menatap kepergian Alif dari tempat itu. Kian jauh tubuh Alif dari pandangan mereka, kian meneteslah airmata Siska menyirami rerumputan yang ia injak.
Malam harinya Alif berangkat menuju bandara. Kepergiannya diantarkan oleh beberapa teman kuliahnya dan tak ketinggalan Rio. Kini ia akan pergi beberapa ribu kilometer dari kota yang telah membesarkannya. Dan kepergiannya yang lama menyisakan seorang gadis dengan luka yang kembali terkoyak.
Siska tak ikut mengantarkan kepergian Alif. Luka yang ia derita tak ingin dibuatnya bertambah parah dengan melepas kepergian orang yang ia sayang. Siska hanya mampu terbaring lemah didalam kamarnya. Ia tetap tak mendapati jawaban atas keraguannya untuk memilih hati dan perasaan. Pada akhirnya perasaannya kepada seseorang telah menjadi bumerang dan melukai hatinya. Namun Rio telah kembali untuk membalut luka itu. Akankah Rio mampu merekatkan kepingan hati itu, atau justru menghanyutkan hati itu, waktu yang akan menjawabnya.