Disiang itu, matahari tak mau berkompromi untuk memberikan hangatnya. Sinarnya begitu membakar setiap benda dibumi. Cuaca yang tak bersahabat tak membuat sekumpulan remaja mengurungkan niatnya untuk mengelilingi kota kecil itu.
“Dedi, aku tantang kamu. Kita lihat siapa yang lebih cepat sampai ke taman kota.” Ujar Pika sambil melahap buah tomat berwarna merah segar digenggamannya.
“Yang kalah harus mentraktir yang menang, bagaimana.” Jawab Dedi.
“Kalau begitu persiapkanlah kau mengeluarkan isi dompetmu yang tak seberapa itu” Ujar pika.
Keduanya sepakat untuk berlomba balap sepeda hingga taman kota. Teman-teman mereka hanya memberikan semangat bagi keduanya.
Aba-aba telah diberikan dari pinggir lintasan. Sontak kaki Pika dan dedi mengayuh pedal sepedanya hingga melaju kencang. Jarak satu kilometer harus mereka lalui untuk sampai ke garis pinish. Raut kegembiraan terpancar dari keduanya. Mereka berusaha menikmati perlombaan itu dengan saling ejek satu dan lainnya.
Namun kegembiraan tak berlangsung lama. Dedi mendadak menghentikan sepedanya setelah mendengar suara yang begitu keras dibelakangnya. Suara bersambut jeritan kesakitan begitu mengganggu telinganya. Ia berbalik dan mendapati Pika terkapar di tengah jalan.
Langkah kaki Dedi terasa berat melihat temannya berlumuran darah. Sedangkan Pika terus saja menjerit kesakitan sambil memegang kakinya.
“Pika. Apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini?” Ujar Dedi.
Pika tetap mengekspresikan rasa sakitnya dengan jeritan. Ratapan kesakitan berhenti seiring dengan Pika yang tak sadarkan diri karena kehilangan banyak darah. Hal itu membuat Dedi meneteskan air mata. Dedi yang sedang kebingungan segera dikerumuni masyarakat yang berada disekitar tempat itu dan segera membawa Pika ke Rumah sakit terdekat.
Dua hari berlalu, Pika baru sadarkan diri. Ditatapnya wajah orang-orang disekitarnya yang begitu memancarkan rona kecemasan.
“Pika. Kau sudah sadar.” Ujar Ibunya.
Pika hanya diam tak menjawab. Ia menyadari keberadaannya di Rumah sakit dan mencoba mengingat kejadian yang menyebabkan ia berada disana. Ia mencoba bangun dari tempat tidur untuk meyakinkan orang-orang disana bahwa ia baik-baik saja.
Kakinya menyentuh lantai dan seketika itu pula raut wajahnya berubah. Raut wajah yang menunjukkan rasa sakit yang sulit terbendung. Pikapun yang tak sanggup menahan rasa sakit itu terjatuh dilantai. Kontan saja hal itu membuat orang-orang yang berada ditempat itu panik dan membawa pika kembali ke tempat tidur.
Dokter yang segera datang bersama Ayah Pika memeriksa kaki Pika.
“Maaf Pika, meski sulit diterima saya harus memberitahukan hal ini. Untuk sementara kamu tidak bisa menggunakan kaki kananmu. Mungkin butuh beberapa waktu bagimu untuk berjalan lagi seperti biasa” Ujar dokter.
Semuanya tersentak mendengar vonis dokter itu. Buah tomat kegemaran Pika terjatuh dari tangannya. Pika mencoba untuk tak mempercayai hal itu, namun rasa sakit di kakinya tak dapat ia pungkiri bahwa untuk sementara ia benar-benar lumpuh.
Pikirannya membawanya kembali pada masa dimana ia harus mengalami kelumpuhan itu. Pada saat dimana dedi mencoba menyalipnya dan membuat seorang pengendara mobil terkejut dan kehilangan kendali hingga menyerempet sepeda pika. Mungkin hal itu akan ia ingat seumur hidupnya. Hal yg lebih mengecewakan, Dedi dan keluarganya menghilang setelah kejadian itu. Mereka takut dipersalahkan asal kejadian ini.
Hari-hari berlalu dengan cepatnya. Namun semua itu terasa begitu berat bagi pika. Waktu terasa lambat dengan langkah kakinya yg tertatih-tatih. Meski semua orang mengetahu bahwa pika adalah wanita yg kuat dan tegar, namun tidak untuk hal ini. Ia benar benar merasa terpuruk. Ia telah masuk dalam terowongan gelap tanpa sedikitpun harapan untuk mendapatkan cahaya. Setidaknya itulah yg ia rasakan saat ini.
Pika duduk menatap langit di halaman belakang rumahnya. Tak lupa buah tomat kegemarannya menemaninya melewati hari itu. Buah berwarna merah segar itu telah menjadi kesukaannya sejak ia masih kecil. Buah itulah yg selalu diberikan oleh ibunya ketika pika menangis dimasa kecilnya.
Suasana begitu hening. Hingga tiba-tiba sebuah langkah kaki menghampirinya. Seorang pria duduk disamping pika. Dia bernama Radit, seorang anak yg cerdas di sekoah pika namun tersingkirkan dalam pergaulan karena ia hanya mampu berjalan dengan bantuan kaki palsu. Dan hanya pika yang menghargainya selayaknya anak normal lainnya.
“Sudah dua minggu kau tak masuk sekolah. Apa kau tidak takut ketinggalan pelajaran?” Ucap Radit.
“Untuk apa aku sekolah? Untuk mendapat pandangan sinis dari semua orang di sekolah? Untuk mendapatkan belas kasihan dari guru-guru? Seorang sarjanapun tidak akan berguna di masyarakat jika ia cacat” Ucap pika lirih.
“Sekarang aku telah terjatuh dalam lorong gelap tanpa sedikitpun harapan untuk mendapatkan sinar di ujung lorong itu. Aku hanya bisa meringkuk tanpa tahu apa yang harus ku perbuat. Dan hingga kapanpun tak ada satupun tangan yang dapat menggapai dan membawaku keluar dari lorong itu. Hanya di bahu Ibuku saja aku bisa berbagi air mataku ini. Dan hanya di dada Ibuku saja aku bisa sedikit menyandarkan tubuhku yang telah begitu lelah. Dan kau tak akan pernah mengerti apa yang aku rasakan” sambung pika.
Radit hanya memberikan senyum atas keluhan pika itu.
“Kau melupakan sesuatu, Pika. Kau lupa bahwa aku juga cacat. Sama sepertimu, kecelakaan telah merenggut hal yang ku pikir menjadi penentu langkahku untuk menggapai masa depan” Ucap Radit.
Pika tertunduk menatap kakiknya yang terbalut perban. Ia baru teringat bahwa Radit juga seorang yang cacat. Bahkan Radit harus benar-benar kehilangan kakinya setelah diamputasi. Penopang tubuhnya saat ini tak lebih dari sekumpulan logam yang dirakit oleh manusia, tidak seperti kaki pika yang merupakan ciptaan Tuhan dengan sempurna yang masih memiliki kemungkinan untuk sembuh.
“Tapi aku tak sekuat kau, Radit.” Ujar pika.
“Kau ingat saat aku terjatuh di lapangan karena belum terbiasa dengan kaki palsuku? Saat itu semua anak menenatap ke arahku. Yang aku lihat dari mereka saat itu mereka tertawa melihat penderitaanku. Hal itu membuatku merasa tersisihkan, aku merasa sendiri tanpa ada satu orangpun yang ikut merasakan perihnya lukaku. Tetapi kau datang dan memberikan tanganmu. Kau memberiku keyakinan bahwa masa depanku bukan ditentukan oleh kakiku, tetapi oleh hatiku.” Ucap Radit.
“Kau wanita terkuat yang pernah aku kenal, Pika. Aku tunggu kau esok pagi di sekolah” Tambah Radit yang kemudian berlalu pergi.
Pika tersentuh dengan kata-kata Radit. Ia teringat wajah Radit yang kala itu begitu terpuruk. Bagaimana tidak, Radit yang seorang pemain basket tidak akan bisa lagi menyentuh bola basket tanpa kakinya. Namun pika memberikan harapan baru bagi Radit. Pika meyakinkan Radit bahwa hidupnya belum berakhir. Dan kali ini Pika harus melakukan hal yang sama pada dirinya sendiri.
Esok harinya, matahari bersinar cerah seperti biasa. Keramaian begitu tampak di sebuah sekolah. Terlihat anak-anak hilir mudik dengan tas yang dipanggulnya dan beberapa buku ditangan. Bunga-bunga bermekaran ditaman bersamaan dengan kian menetesnya embun pagi dari daun-daun hijau itu.
Mobil berwarna hitam berhenti perlahan didepan gerbang sekolah. Sepasang kaki secara perlahan turun dari mobil itu. Wanita setengah baya membantu seorang gadis cantik mengayunkan langkahnya melewati gerbang megah itu.
Gadis Cantik dengan seragam putih abu-abu itu adalah Pika. Rambutnya terurai dengan cantik. Rona wajahnya menunjukkan kecantikan khas wanita Indonesia. Membuat semua orang melupakan bahwa kaki gadis itu tidak lagi sempurna.
Langkah keduanya tiba-tiba terhenti. Pika menatap teman-temannya berdiri menyambutnya dengan senyum terhangat. Mencairkan bekunya pagi yang dingin itu. Di tengah-tengah mereka Radit berdiri dengan sebuah tongkat ditangannya. Ia berjalan menghampiri Pika dan memberikan tongkat itu untuk Pika.
“Mungkin kami tak akan selalu hadir disampingmu untuk menjadi penopang bagimu. Untuk itulah kami berikan tongkat ini untuk menunjukkan bahwa kami akan selalu berdiri bersamamu.” Ucap Radit.
Senyum Pika mengundang teman-temannya untuk memeluknya. Pelukan di pagi itu menjadi awal atas kembalinya semangat Pika.
Kini pika tak lagi sendiri di dalam lorong gelap. Ia melihat tangan Radit tiba-tiba hadir dihadapannya. Tangan itu tak sendiri, karena ada banyak tangan yang kemudian hadir untuk menuntun pika menuju cahaya di ujung lorong. Cahaya yang selama ini tak ia lihat karena matanya tertutup oleh air mata.
Menakjubkan, persahabatan membuat Pika mengalami kesembuhan dengan lebih cepat. Pika menyadari bahwa selama ini teman-temannya selalu ada disekelilingnya. Mereka adalah orang-orang yang hadir tak hanya saat pika tersenyum.
“Terima kasih Radit.” Ujar Pika dalam hati.