Termenung aku di kamar kecilku. Yang berhiaskan poster-poster pemain NBA kenamaan semacam Peter Gasol, Dwayn Wade, Kobe Bryan, dan lainnya. Pikiranku melayang di antara helai-helai jaring laba-laba yang terselip di sudut kamar.
“Bagaimana mungkin cintaku yang begitu besar kau meletakkan pada celah sempit antara kau dan dia?” Tanyaku.
“Lalu bagaimana dengan kau yang menghilang disaat aku benar-benar membutuhkanmu? Kemana perginya rasa cinta yang awalnya begitu aku banggakan? Kemana hilangnya rasa sayang yang dahulu begitu aku dambakan?” Tanyanya balik.
“Aku sayang kamu sejak kamu disitu. Tapi sekarang kamu tuh gak tau kayak apa aku sayang sama kamu. Kamu tuk gak pernah....” Tegasku dengan nada yang menginggi.
“Itu dia masalahnya, Gas. Aku gak pernah benar-benar tahu” Potongnya dengan nada yang tak kalah keras.
“Aku nunggu, Gas. Nunggu. Tapi akhirnya aku sadar satu hal. Kamu gak pernah benar-benar cinta sama aku” Sambungnya dengan nada yang kian melirih.
“Baik. Mungkin tak ada penyelam yang bisa menyelami dalamnya cintaku padamu. Dan tak ada pendaki yang mampu mengukur tingginya kerinduanku padamu. Sekarang, kau pilih aku atau dia!” aku coba beri penawaran.
“Sekarang, aku udah mutusin. Aku gak akan milih siapa-siapa. Kayaknya lebih baik aku sendiri sekarang. Dan aku juga gak mau sakit lagi” Jawabnya sambil meneteskan derai air mata.
Kata-kata itu terus membayangiku. Ya, itu adalah sepenggal kejadian di siang tadi. Ketika aku pulang ke tanah air dan bermaksud menemui kekasih hatiku. Namun yang kudapati ia tengah bersama seorang pria yang pada akhirnya aku tahu bahwa pria itu hanyalah temannya saja.
Aku baru mengetahui hal itu ketika Rindi datang dengan marah-marah kerumahku.
“Bagas, apa-apaan kamu. Setelah sekian lama kamu pergi ninggalin April, dan kamu pulang hanya membawa amarah bodohmu itu saja” Bentaknya yang membuatku kian tak mengerti.
“Kamu bicara apa?” Aku kebingungan.
“Pria yang kamu lihat bersama April itu hanyalah temannya saja. Dan kau tahu, pria bernama Ari itu gay. Jadi tak mungkin dia berpacaran dengan April” ucapnya dengan nada yang tak menurun.
Panjang lebar Rindi menjelaskan kehidupan April setelah kepergianku. Ia menceritakan bagaimana terpuruknya April setelah kepergianku itu. Ditambah lagi aku pergi tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Bahkan aku yang tidak bisa dihubungi sama sekali karna kehidupan asramaku yang sangat ketat kian membuatnya merasa dikhianati. Penjelasan Rindi pun membuatku merasa bersalah.
Tiga tahun yang lalu aku mendapatkan beasiswa untuk belajar diluar negeri. Kabar gembira itu aku terima tiga jam sebelum aku berangkat. Karena hal itu aku tak sempat untuk menemui April. Dan setelah sampai di asrama, semua perlengkapan pribadi langsung disita oleh pengurus asrama, termasuk juga handphoneku.
Kini aku hanya bisa terdiam. Memandangi semut-semut yang berbaris saling bertabrakan yang tak pernah hidup sendiri. Juga memandangi cicak yang bersiaga untuk menangkap seekor nyamuk yang hinggap di dinding. Tepat disamping fotoku dan April dengan pecahan kaca dan bingkai yang kembali ku susun bagai permainan puzzle.
Ku pandangi foto yang sebelumnya berserakan di lantai itu. Sejenak ku pandang foto itu, beribu kenangan indah bersama April terlintas dibenakku. Kian ku pandang wajah itu, kian terhirislah jantung hatiku. Seolah April yang ku simpan dalam hatiku tengah mengamuk merobek-robek setiap sudut organ terpentingku.
“Tak mungkin aku hanya berdiam diri di sini sementara ada seorang gadis yang tengah merintih oleh perbuatanku” Begitu gumamku.
Aku beranjak dari tempat tidur berselimut lambang LA Lakers-ku. Jaket putih bercorak kotak-kotak langsung kusandang. Sesaat kemudian aku telah berada di atas motorku yang sudah tiga tahun tak aku tunggangi. Raungan motor itu memecah kesunyian senja. Dan akupun bergegas menuju rumah April dan meninggalkan helm kesayanganku tergantung di sudut garasi.
“Malam-malam egini pasti tak ada polisi yang bertugas” Begitu pikirku.
Diujung jalan, terdapat taman yang biasanya menjadi tempat Aku dan April menghabiskan senja di sore hari. Sambil terus mengendara, aku pandangi setiap sisi taman itu. Yang muncul dibenakku adalah saat dimana Aku dan April benar-benar menghitung keliling taman itu dengan langkah kaki kami. Uniknya keliling taman itu adalah 1404 kaki, serasi dengan tanggal aku bertemu April di hari ulang tahunnya, 14 April 2007.
Sesaat kemudian kupalingkan wajahku dari taman itu. Menjadi sangat mengejutkan ketika kulihat didepanku ada motor lain dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dengan seluruh kemampuanku, aku mencoba untuk menghindarinya.
Nyaris saja kendaraan itu bertabrakan denganku. Namun aku tak menghentikan laju motorku. Aku memperhatikan dari kaca spionku, dan kulihat keramaian tepat di sekitar tempat aku menghindari motor itu. Aku berpikir sepertinya kendaraan itu telah menabrak orang lain.
Beberapa saat berlalu, kini aku telah sampai didepan gerbang sebuah rumah yang cukup megah. Aku mengetuk pintu pagar berwarna hijau itu. Namun sepertinya tak ada yang mendengar. Aku perhatikan Satpam penjaga rumah itu tengah asyik bermain catur dengan tukang kebun. Maka aku berinisiatif untuk langsung masuk saja.
Aku tersenyum kepada kedua penjaga rumah itu. Sejenak ia memperhatikanku yang tengah menutup pintu gerbang itu, sesaat kemudian ia kembali asyik bermain catur. Aku berpikir setidaknya itu adalah isyarat bahwa ia mengizinkanku masuk.
Di sebuah kursi halaman rumah itu aku melihat seorang wanita yang tengah duduk terpaku. Wanita dengan baju berwarna biru langit itu terlihat begitu indah diantara bunga-bunga yang kian layu. Dari kejauhan aku tatap matanya yang lembab. Mata itu tengah menatap bintang kecil dilangit yang secara perlahan mulai menunjukkan dirinya.
“April” aku coba menyapanya.
Namun tak ada sahutan. Seolah jiwanya telah dibawa oleh bintang-bintang itu.
“April” aku kembali mencoba menyapanya.
Dan ia belum menjawab sapaan lembutku itu. Semula aku berpikir bahwa ia sudah tak ingin lagi bertemu denganku, terlebih untuk berbicara denganku.
“Tuhan, jika hari ini harus menjadi hari terakhirku bertemu dengannya, aku ikhlaskan hal itu. Namun lunakkanlah hatinya untuk berbicara denganku” do’aku dalam hati.
“April” Sapaku lagi.
Perlahan ia menoleh sambil berusaha menghapus air mata yang telah membanjiri segenap kelopak matanya. Seolah ia mendengar do’a yang baru saja aku ucapkan.
“Ternyata kau. Untuk apa lagi kau menemuiku?” Tanyanya dengan nada yang goyah.
Ia berdiri dan berusaha pergi meninggalkan ku yang berdiri dengan detak jantung yang kurasakan seperti ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Aku meraih tangannya dengan harapan ia tak akan pergi meninggalkanku.
“Tahukah kau, di setiap jengkal jarak aku meninggalkanmu telah ku sematkan sebuah kata cinta. Tahukah kau, disetiap detik aku jauh darimu disetiap aliran darahku selalu merindukanmu. Tahukah kau...” Ungkapku.
“Lalu seberapa kau tahu setiap hembus nafasku yang terselip pada tali temali selalu menanyakanmu? Seberapa kau tahu setiap tetes darah yang menetes dari lenganku selalu menantimu? Seberapa kau tahu cepatnya otakku berpikir yang berlomba dengan aliran peluru membelah udara selalu mengharap secepat itulah kau akan menemuiku?” Ucapnya menyela kata-kataku.
Aku terdiam, tak sanggup menjawab ungkapan isi hatinya yang tersirat pada ucapannya yang kian bergetar dengan suara yang keras itu. Teringat ku pada ucapan Rindi bahwa April beberapa kali mencoba mengakhiri hidupnya. Dan kini aku mendengar sendiri dari mulut April tentang hal itu.
Sejenak aku menatap ke arah kedua penjaga rumah yang tadinya bermain catur itu. Merekapun menatap kearah kami berdua, namun kemudian kembali bermain catur karena takut dimarahi oleh tuan rumahnya yang berada dihadapanku. Dari gerakan bibirnya seolah mereka menanyakan apa yang terjadi pada nyonya kecilnya hingga menangis seperti itu.
Aku mencoba mengangkat wajahku memberanikan diri menatap mata April yang kembali basah oleh air mata. Aku menyadari bahwa ribuan kata yang ku rangkai tak akan mampu membuka ruang maaf dihati Arpil. Aku menarik tangan april yang sedari tadi aku genggam, dan memeluk tubuhnya. Aku berharap bahwa pelukan ini akan menyampaikan setiap kerinduan, cinta dan kasih sayang yang terselip dihatiku kepada hati April yang ku khawatirkan telah membeku.
Dan, benar saja. April terhanyut dan terbuai dalam pelukan itu. Ia begitu memahami setiap pelukanku yang mewakili setiap kata yang ingin ku ungkapkan. Dan ia memaafkanku.
“Apakah negeri seberang telah membuat tubuh dan hatimu menjadi dingin dan membeku?” Tanyanya dengan tubuh yang gemetar seolah merasakan rasa dingin yang teramat sangat dalam pelukanku.
Belum sempat aku menjawabnya, ia melepaskan pelukan panjang itu seiring adanya suara dari dalam rumah yang memanggilnya.
“April, Ada telepon dari Rindi” Suara itu memecah keheningan.
April segera mengusap air matanya sambil bergegas masuk kedalam rumah. Sambil memberikan senyuman, ia menarik tanganku mengajakku masuk.
“Aku tunggu disini saja” Ucapku sesampainya didepan pintu.
“Halo, April” Suara ditelpon itu terdengar sangat tergesa-gesa.
“Iya. Ada apa, Rin?” Tanya April dengan suara yang tak lagi bergetar.
“Bagas. Dia kecelakaan. Dia tabrakan motor di dekat taman di ujung jalan rumahnya” Ucap Rindi
“Ach. Kamu jangan bercanda. Bagas sekarang sedang ada dirumahku. Aku baru saja berbincang dengannya” Ucap April.
Aku yang mendengar kabar itu sangat terkejut. Aku teringat pada kecelakaan saat aku tengah menuju rumah April. Kemudian aku segera menuju lokasi kecelakaan itu tanpa berpamitan pada April. Mungkin pergi tanpa berpamitan telah menjadi kebiasaan terburukku.
Aku berjalan melewati kedua penjaga rumah itu. Dengan isyarat menundukkan kepala, aku berpamitan kepada mereka berdua dengan harapan jika April mencariku, mereka bisa memberitahu kepada April bahwa aku telah pergi. Namun keduanya kembali asyik bermain catur seolah tak memperdulikan kepergianku.
Sementara itu April masih bingung dengan penjelasan Rindi. Ia benar-benar tak mengerti. Baru saja ia bertemu dan berpelukan mesra dengan Bagas. Namun disaat yang sama ia mengetahui bahwa orang yang ia peluk telah mengalami kecelakaan.
April menutup telponnya dan pergi keluar untuk menemuiku. Namun, ia tak mendapatiku ditempat aku berdiri sebelumnya. Ia menanyakan kepada penjaga rumah yang harusnya dari tadi melihat Bagas. Namun penjaga itu tidak mengetahui pria yang dimaksud oleh April.
Maka April masuk kerumahnya dan kembali menghubungi Rindi.
“Rin, apa benar yang kau katakan tadi? Lalu dimana Bagas sekarang?” Tanya April panik.
“Aku sekarang ada dirumah Bagas” Terang Rindi.
“Aku segera kesana” Ucap April memotong pembicaraan.
April segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas menuju rumahku. Pikirannya benar-benar berkecamuk. Ia benar-benar bingung, bagaimana mungkin Bagas mengalami kecelakaan sedangkan Bagas tengah bersamanya. Lalu perginya Bagas secara tiba-tiba dari rumahnya membuatnya bertambah panik.
Sementara itu, aku telah sampai di tempat di mana kecelakaan itu terjadi. Aku melihat darah hampir membasahi jalanan sempit itu. Sisa-sisa kecelakaan masih berserakan ditempat itu. Aku melihat motorku telah terbaring di samping jalan itu.
Hal itupun membuatku bingung. Jika itu benar motorku, lalu bagaimana aku bisa sampai kerumah April. Aku mendekat kearah motor yang telah ringsek itu. Dan benar juga, itu benar-benar motorku. Lalu aku melihat sekeliling berusaha mencari kendaraan yang kugunakan kerumah April. Namun aku tak menemuinya. Maka akupun bergegas berlari menuju rumahku.
Dari kejauhan aku melihat keramaian dirumah mungilku itu. Aku kian mendekat dengan wajah ingin tahu sembari menegur sapa orang-orang yang aku temui. Namun mereka tak menjawabku, seolah mereka tak melihatku sama sekali didalam kedukaannya.
Aku mencoba masuk kedalam rumah diantara keramaian orang dengan isak tangisnya. Di tengah keramaian itu aku melihat sesosok tubuh yang terbaring kaku. Beberapa orang mengafaninya, sementara yang lainnya membacakan ayat-ayat Al-qur’an dengan linangan air mata dipipinya.
Aku berusaha mengenali sosok itu. Dan aku sangat terkejut ketika mendapati wajah itu adalah wajahku. Aku berusaha tak mempercayai bahwa aku telah tiada. Toh, aku berada di sini menyaksikan keramaian ini.
Belum usai keterkejutanku, aku menatap mobil berwarna jingga yang berhenti dihalaman rumahku. Seorang wanita yang tak lain adalah April dengan tergesa-gesa turun dari mobil itu dan segera masuk kedalam rumah.
April segera menghampiri aku yang terbaring di sisi ibuku dan beberapa teman terbaikku. Ia segera membuka kain yang menutupi jasad itu. Sesaat ia terdiam dan tak mempercayai apa yang ia lihat. Kemudian ia tertunduk lemah yang menunjukkan ketidak kuasaannya menerima hal ini. Ia pun mendapatiku yang telah pergi selamanya.
Rindi dan ibuku membawanya kedalam kamar untuk mengistirahatkannya. Aku berusaha memanggil Rindi dan ibuku, namun keduanya tak mendengarkan.
“April, kau harus terima kenyataan ini” ucap Rindi setelah April siuman.
“Bagaimana mungkin ini terjadi? Baru satu jam yang lalu aku bersama Bagas” Ucap April.
“April, tapi Bagas mengalami kecelakaan dua jam yang lalu. Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal bisa menemuimu” Ucap Rindi berusaha menegarkan.
Aku hanya terdiam diluar kamar. Aku menatap tanganku yang kian terlihat transparan. Begitupun dengan sekujur tubuhku. Kini aku menyadari bahwa aku memang benar-benar telah tiada.
Korban keelakaan itu benar-benar aku. Kecepatan motor itu sangat tinggi, ditambah lagi dengan aku yang tak fokus pada jalanan. Sehingga mengakibatkan aku tak punya waktu yang cukup untuk mengelak dari keelakaan itu.
Ban motorku beradu dengan motor dihadapanku. Aku terpental beberapa meter dan tewas ditempat. Pun begitu dengan pengendara motor lainnya. Namun ia sedikit lebih beruntung. Ia memakai helm sehingga menghindarkannya dari benturan.
“April” Ibuku yang tiba-tiba masuk menyapa April.
”Ibu menemukan ini dimeja kamar Bagas. Sepertinya ia menulis ini untukmu” Sambung Ibuku.
Benar, dalam kesendirianku sebelum pergi ke rumah April, aku merangkai kata demi kata dalam ayunan pena yang menari diatas kertas berwarna putih itu.
Rindi pergi meninggalkan Arpil sendiri di kamar itu. Menunjukkan bahwa ia memberikan kesempatan bagi April untuk sepuasnya membaca surat terakhir dari Bagas itu.
April,
Aku tak tahu alasan Tuhan mempertemukan kita.
Aku pun tak tahu alasan aku mencintaimu.
Terlebih alasan bagiku untuk hidup tanpa dirimu.
Dan Akupun tak tahu alasan Tuhan memisahkan kita
Karna itu,
Jika seandainya Tuhan harus mengakhiri kebersamaan ini.
Aku ikhlaskan hal itu.
Karna aku tak tahu alasan yang tepat untuk menolaknya.
Hanya do’aku.
Di ujung nafasku, izinkan aku memelukmu
Dan menyebut namamu sebelum nama-Nya.
Akupun masuk kedalam kamar, menatap April yang berlinang air mata. Ia berdiri seolah menyadari kehadiranku. Aku bergegas menuju kearahnya dan segera memeluknya. Diapun terdiam seperti merasakan pelukan itu.
Tubuhku kian terkikis oleh waktu, sepertinya Tuhan benar-benar memberikan batasan waktu bagiku untuk bertemu dengan April. Hingga dikesempatan terakhirku memeluknya, aku membisikkan sesuatu di telinga April.
“April, Aku mencintaimu. Biarkan Tuhan mempertemukan kita pada kehidupan yang lain” Ucapku lirih.
Seiring berakhirnya kata-kata itu, Akupun benar-benar menghilang. Yang tersisa hanyalah sosok tubuh yang terbaring diruang tamu yang tak lama lagi akan termakan oleh tanah.