Silver (lagi)

Pulang ke rumah langsung ambil notebook. Hal ini harus aku abadikan. Aku tak pernah tau seberapa ingatan ini akan bertahan. Cuma satu yang pasti akan selalu aku ingat. Senyummu.

Ya, setelah sekian lama tidak bertemu. Bahkan melihatmu yang terakhir kali aku sudah tak ingat lagi. Akhirnya di sore ini. Hanya bisa menatapmu dari halaman parkir deretan ruko di samping Rumah Bersalin.

Aku melihatmu dari seberang jalan. Meski lama tak bertemu, langsung terlintas di pikirankku bahwa itu benar-benar kamu. Detak jantungku pun mengiyakan. Tak salah lagi. Meski telah terlewat lima puluh meter dari tempatmu berdiri, kuputuskan untuk berhenti dan putar balik. Oh, tidak. Aku hanya akan menunggumu di halaman parkir itu saja. Hanya untuk memastikan bahwa memori dan jantungku masih menyimpan data tentang kamu.

Dan benar saja. Kamu mulai beranjak dari gerobak martabak depan toserba itu. Menaiki sepeda motor bersama pria yang tetap duduk di atas motor mungkin sejak kamu turun.

Aku menyiapkan kamera ponselku. sekedar mengabadikan kejadian langka ini. Ya, untuk bertemu denganmu adalah keajaiban yang harus aku tunggu. Seperti halnya menunggu bintang jatuh.

Tapi tak sempat kusiapkan semuanya. Pria bersamamu menarik gas sepeda motor dengan cukup bringas. Begitu cepat, kau telah siap melintas dihadapanku. Kaca helm ku biarkan terbuka agar kau pun dapat melihatku. 

Dan benar, kamu melihatku. Bagai mendapat sebuah undian, senyummu masih sangat manis kuterima. Aku gugup untuk membalas senyum itu. Bahkan aku lupa apakah aku telah membalas senyummu itu atau tidak.

Tapi entah mengapa, aku merasa ada yang berbeda dengan akhir dari senyummu. Seolah kamu merasa bahwa pria bersamamu melihat bahwa kamu tersenyum ke arahku. Dan kamu takut dia tidak menyukai itu. Mengapa?

Kamu mulai berlalu. Tak lama aku berpikir. Akupun menyalakan mesin kendaraanku. Aku membuntutimu.

Entah apa yang mendasari tindakan itu. Yang pasti aku hanya ingin tetap melihatmu hingga akhirnya aku tak bisa lagi melakukan itu. Ya, aku terus menatapmu dari belakang.

Sekali kamu menoleh ke arahku. aku mengurangi laju. Tak ingin terlalu dekat denganmu. Tak ingin mengganggu agenda jalan-jalan sore kalian. Aku hanya ingin sekedar melihatmu.

Aku memperhatikanmu. Mencari tahu perubahan apa yang ada padamu. Senyummu masih semanis dulu. Mungkin candamu tetap terjaga hingga tak mengurangi kualitas kebahagiaanmu. Postur tubuhmu masih ramping seperti dulu. Tapi sepertinya kamu agak lebih tinggi. :) :p

Oh. Waktu tak berpihak. Simpang tiga lampu merah mengharuskan aku belok ke kanan. Sedangkan kamu tetap lurus menuju arah rumahmu.

Sepanjang jalan, tetap saja terlintas senyum bibirmu. Tanganku lemas. Aku harus memprioritaskan salah satu tangan untuk mengendalikan kendaraanku. Jika keduanya memegang kemudi, aku khawatir tidak akan sanggup. Tangan kananku memegang gas, tangan kiri memegang tangan kanan. Jantungku??? ah, aku hampir tak merasai detaknya.

Tentang pria itu? aku tidak tahu hubungan kalian. dan aku tidak mau tahu.

Lubuklinggau, 21 Desember 2013 17.00 s.d. 18.00

TERSESAT

Aku lalai di jalah hidup
Sehingga aku terperosok di jurang yang dalam
Aku tersesat di jalan yang lurus
Dan kini menunggu menderita

Dan hari ini pula
Kutinggalkan semua angan
Serta meletakkan hati yang amat kecil
Aku berharap keajaiban
Membawaku ke masa kecil kembali

Dan kini mulai terasa
Kelam menghampiri
Aku tak ingin seorang mengikutiku
Yang hanyut dengan kotornya air sungai
Yang tak tahu di mana muaranya

ditulis oleh : Panji Persada

SURAT PEMBACA : IRENE



“Mawar yang ku taburkan semerbak menyelubungi langit sendu. Mendung membawa angin dingin meniup kelopak mawar dengan daun hijaunya. Beberapa helai kelopak kamboja diatas pusara berguguran. Memberikan putih diatas merah mawar yang basah. Titik-titik hujan mulai membumi. Sedikit demi sedikit aku basah lalu pergi.”
Kutipan dari cerpenku yang berjudul yang meraih juara tiga lomba menulis tingkat provinsi Sumatera Selatan. Aku bahagia bukan kepalang. Cerpen pertama yang aku ikutkan dalam sebuah kompetisi menulis langsung meraih juara. Meski hanya juara ketiga.
Aku sangat suka menulis. Sejak SMP aku dan dua orang teman sekelasku, Irene dan Tasya seringkali saling bertukar surat. Membicarakan Pak Suwarno, guru Matematika yang super galak. Menggosipkan Putri yang menjadi “Ratu Gosip” di sekolah. Ataupun curhat tentang Randi, Ketua OSIS yang sangat aku kagumi.
Hingga aku di bangku SMA saat ini pun aku masih suka menulis. Walaupun tidak lagi menulis surat untuk teman-temanku. Karena sejak lulus SMP kami berpisah tanpa tahu alamat masing-masing.
***
“Cerpenmu sangat indah. Aku sangat menyukainya. Aku sangat ingin membaca karya-karyamu lagi. Semoga kita bisa menjadi sahabat, ya. Salam hangat, Irene”
Sebuah surat pembaca kuterima. Wah, rasanya sangat bahagia membaca surat pertama dari pembaca cerpenku. Motivasi untuk menulisku meledak luar biasa.
Akupun menginginkan untuk bersahabat dengan pembacaku. Suratnya langsung ku balas.

BUKAN MANUSIA SETENGAH DEWI



“Kemarin Aku tidak sempat memperkirakan hari ini. Dan hari ini Aku belum sempat berpikir untuk esok. Tapi hari ini Aku teringat hari kemarin. Maka hari ini takkan kubuat mawar menangis. Agar esok Aku dapat mengingat mawar indah hari ini” tulis Mala dalam blognya.
Mala seorang blogger muda. Ya, Dia muda. Dan Dia cantik. Rambut hitamnya panjang bergelombang. Parasnya tak usah diterka-terka, yang jelas dia cantik. Itu saja.
Rotasi waktu membawanya pada terik yang menyengat. Rumah kost-nya tanpa pendingin ruangan - terkadang cicak yang sedang merayappun gosong terbakar. Tapi Mala takkan terpanggang. Seorang pemuda siap menjemputnya. Mengajaknya dating di minggu ceria itu.
“Mala. Aku jemput kamu sekarang ya” pesan masuk di ponsel Mala.
Mala menutup notebook-nya. Ia bergegas mandi. Ya, jangan pernah berharap Mala akan mandi di pagi hari. Ia tidak bisa dipaksa untuk dua hal. Salah satunya dipaksa mandi pagi.
Designed by Animart Powered by Blogger